Tampilkan postingan dengan label panas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label panas. Tampilkan semua postingan

Friend or Fiend - Chapter 5

Satu Dunia, Beratus Kisah, Beribu Cerita
Megatron21story






~~ 5 ~~





Sosok Reni yang berdiri angkuh di dekat pintu masuk atap, kini memandangku dengan tajam.
Ia menyeringai begitu lebar. Seakan puas dengan keadaanku yang putus asa dan gemetar.


Aku kini berdiri cukup jauh dari sosok Reni. Mungkin kira-kira sepuluh meter jauhnya.
Tringgg...
Sebuah SMS kembali masuk ke layar handphoneku. SMS dari Tomi.
‘Jangan lihat matanya Nay....’


Entah apakah aku begitu bodoh atau lugu. Ketika aku membaca SMS itu, sontak aku menoleh ke arah Reni. Perasaan campur aduk antara takut, khawatir, ngeri, dan ingin tahu, kini berperang di dalam pikiranku.


“Hhhhhhhhhhh.......” leherku bagai tercekik, aku tak bisa mengambil napas saat tubuhku tiba-tiba tersentak kaget. Reni kini tepat berada di hadapanku. Tubuhnya melayang tak berpijakan. Tubuhku masih gemetar. Aku tak dapat bernapas walau hanya untuk bertahan hidup.


Jarak antara aku dan Reni saat ini tidak sampai satu meter.
Tubuhnya yang tanpa kepala melayang-layang di udara, sementara kepalanya sendiri kini ia genggam dengan kedua tangannya. Rambutnya yang hitam menjuntai kini telihat laksana tirai gelap yang akan mengakhiri panggung sandiwara dalam hidupku.


Reni mengulurkan kepala dalam genggaman tangannya ke hadapan wajahku.
“Nay.............” ucapnya. Saat itulah aku berusaha menutup mata semampuku. Namun, mata Reni yang merah menyala seakan memancing rasa ingin tahu dalam hati ini. Aku terbelalak ngeri saat cahaya kemerahan mulai berpendar menyilaukan.


“AAAAAAARRRRGHHHH....” aku memekik saat pandangan mata kami bertemu. Mataku pedih, sakit sekali rasanya.


Saat itu, bagai sebuah pedang mengoyak tubuhku.
Sakit sekali, bagai tercabik-cabik, mataku seakan terbakar. Aku mengejan kuat, bibirku yang bergetar kini terkatup rapat. Aku berusaha sekuat tenaga untuk menahan rasa sakit ini.


Pandangan mataku mulai kabur. Semuanya menghitam. Aku masih mengerang menahan sakit dengan kedua telapak tangan kutangkupkan di wajahku.
Darah di seluruh kepalaku seakan mengalir turun. Wajahku kini pucat, nyaris bisa disamakan dengan orang mati.


Reni mengangkat sebelah tangannya.
Telapak tangan itu tepat ia arahkan ke dadaku.


Wuuuuuuuuuufffff...........
Tanpa sebuah pukulan atau sentuhan, Reni membuat tubuhku terlempar ke belakang.
Zraaakkk.....gluduk...gluduk.... aku terpental cukup jauh.
Siku dan lututku kini terasa sakit, perih karena luka lecet akibat berbenturan dengan lantai atap yang kasar.


“Nnngghhh.....” aku mengerang.
Aku berusaha bangkit setelah jatuh bergulung-gulung beberapa meter.
Pandangan mataku kembali. Perlahan aku bisa melihat semuanya dengan jelas.
Sempat aku berpikir bahwa ajalku sudah akan datang menjemput, namun aku baik-baik saja. Hanya beberapa luka ringan yang kuderita di siku dan lututku.


Kupandangi telapak tanganku sejenak, seluruhnya masih normal. Aku kini dapat bergerak bebas.
Hanya satu yang berbeda. Cahaya bulan merah itu sudah tidak nampak lagi. Yang menerangi tempatku bersimpuh sekarang adalah cahaya perak yang temaram.


Aku menoleh kembali ke arah Reni.
Di sana sosok Reni sudah berubah menjadi Reni yang kukenal. Kepalanya tak lagi terpisah, tubuhnya tak lagi berlumuran darah. Di sana, Reni berdiri dengan gaun putih transparan seraya mencekik leher seseorang yang berusaha meronta untuk melepaskan diri.


“Lepasin dasar pelacur.......” hardik sosok yang dicekik oleh Reni.
“Ngak akan gue biarin lu bertindak semau lu Tom.... udah cukup apa yang lu lakuin ke gue” ucap Reni.


’T-Tom????’


Pikiranku melayang jauh. Lututku masih terlalu lemas untuk berdiri.
Aku ingat betul raut wajah orang itu. Dia adalah Tomi, teman baruku.
Aku tak akan pernah melupakan wajah yang telah membuatku ketakutan setengah mati.


Tapi sebenarnya ada apa ini? Bagaimana Tomi bisa sampai di sini? Dari mana ia datang? Bagaimana bisa Reni mengenal sosoknya.


“Nay........ lu ngak apa-apa kan?” tanya sosok Reni. Ia kini memandang lurus ke arahku dengan sebuah senyum tulus. Senyum yang telah lama kukenal. Senyum itulah yang selalu berhasil membuat kegundahanku angkat kaki.


“R-Renn.....?” tanyaku ragu-ragu. Tanpa sadar air mataku kembali mengalir.
Aku sungguh kebingungan mencerna seluruh kejadian ini. Beberapa saat yang lalu, Reni sedang memburuku. Ia ingin membunuhku sama seperti apa yang ia lakukan pada Bu Shinta dan anak-anaknya.
Tapi kini senyum tulusnya sungguh tak berbohong. Aku kenal betul senyum itu.


Reni berpaling dariku.
Matanya yang teduh senada dengan senyum tulus itu berubah tajam mengerikan. Bibir Reni menyeringai lebar hingga nyaris menyentuh kedua telinganya. Ia kini menatap Tomi yang sedang meronta merasakan cekikan pada lehernya. Tomi menggenggam pergelangan tangan Reni kuat-kuat.


“Nay.... to...long...” suara Tomi terdengar begitu pelan dan terbata-bata. Tenaganya mulai habis.
Kakinya yang sempat meronta-ronta kini mulai diam perlahan.


“Bagaimana Tom.... sebentar lagi lo bakal kehilangan kekuatan, lo akan terbakar di neraka. Di sana lo bisa menyesali tindakan lo yang ngak berperikemanusiaan” ucap Reni.


“Ren....JANGAAANN.....” aku memekik.
Seketika itu Reni menoleh, masih dengan tatapan tajam seperti ia menatap Tomi.
“Apa maksud lo Nay?”
“Apa yang lo lakuin? Tomi itu temen gue... dia yang udah bantu gue... dia yang.....”


“DIA BANTU LO KARENA MAU KEPERAWANAN LO...” suara Reni meninggi.
Aku tersentak kaget. Belum pernah selama aku mengenal Reni, ia membentakku. Reni adalah sahabat yang baik, tutur katanya lembut, jika ia membentakku demikian keras, pastilah ada alasannya.
“Dia sengaja bikin lo dipecat Nay.... dengan begitu dia bisa bikin lo berhutang sama dia”


“A-apa maksud lo Ren? Apa maksud semua ini.... “ aku mulai frustasi.
Di sana, kulihat raut wajah Reni berubah gundah.
Reni melambaikan tangannya. Mengisyaratkan agar aku mendekati mereka.


Rasa takut yang sempat menguasaiku perlahan hilang. Kendati aku belum bisa mempercayai Reni sepenuhnya, setidaknya aku tahu dari sorot matanya bahwa Reni tidak akan menyakitiku.


“Bajingan ini.... dia yang udah ngebunuh gue Nay, lo harus tau....” ucap Reni. “gue udah balas dendam... gue bunuh dia dengan cara serupa. Tapi sama kayak gue, dia gentayangan. Bedanya, kalo gue udah sepenuhnya jadi roh karena dibunuh manusia, dia masih setengah roh karena dibunuh oleh roh” lanjutnya.


“Dia punya satu tujuan sebelum benar-benar mati.... dia mau renggut keperawanan lo Nay”


Deg...Deg...Deg...
Jantungku berdebar cepat. Pandangan mata ingin tahu yang kutunjukkan kini berubah khawatir.
Bukan karena takut, namun karena mendengar kata-kata Reni yang baru saja ia ucapkan.


Sontak aku menyilangkan tangan di dada menutupi kedua payudaraku dan bergerak mundur satu langkah.
Mungkinkah Tomi yang selama ini menjadi teman ngobrolku bukanlah manusia?
“T-tapi.... dia udah nolong gue Ren...” aku menundukkan wajahku.


Kuakui, aku menyesal telah menerima bantuan Tomi. Jika benar bahwa dirinya yang telah membunuh Reni, maka aku tak akan pernah memaafkannya. Namun di lain sisi, aku kini berhutang budi kepadanya.
Aku bimbang, haruskah aku membiarkan Tomi dilenyapkan. Aku tidak tega.


“Jangan anggap diri lo hutang budi sama dia Nay... dia yang udah jadi penyebab lo di pecat. Selama ini dia terus nempel di badan lo, nikmatin aroma tubuh lo.” Lanjut Reni. “sekarang dia ngak akan bertahan lama” Reni kembali memandang wajah Tomi yang menderita dalam cekikannya.


“Ren....” ucapku lirih.
Reni kembali menoleh ke arahku.
“Kenapa dia ngebunuh lo?”


Entah apakah aku menanyakan hal itu dengan nada yang salah. Reni kini menundukkan wajahnya.



~Megatron21~



POV Reni
********


“Accchhhh... terus Tom.....” aku melenguh ketika penis Tomi dengan brutal dihujamkan ke dalam liang vaginaku. Aku dan Tomi, kini sedang bersetubuh dalam posisi women on top.


Payudaraku yang berayun liar tak dapat berlama-lama terbebas. Tomi segera meraih dan mengulum puting susuku seperti seorang musafir yang tersesat di padang gurun gersang.


“Mhhhh... toket lo bener-bener mantep Ren...” ucap Tomi dalam pergumulan kami.
“Nggghhhh.....aahhh...ahhhh.....” aku tak menyahuti racauannya. Tubuhku kini bergerak naik turun dengan sendirinya, kendati aku sedang berlakon sebagai sang pelayan, namun aku sangat menikmati persetubuhan kami.


Sex adalah sumber kehidupanku. Dari sanalah aku menggantungkan hidup dan mencari nafkah.
Tomi adalah salah satu dari banyak klienku yang rata-rata adalah pengusaha kelas atas. Umurnya belum menginjak kepala tiga. Bisa dibilang Tomi adalah pemuda yang sedang ranum-ranumnya.


“Mmmm..sslurpp..mmmhhh..” Tomi menarik tubuhku merebah, lalu melumat bibirku. Ohh, ia sangat haus akan kenikmatan.
Disela gerakan pinggulku yang masih intens bergerak naik turun, aku memainkan lidahku di dalam rongga mulut Tomi.


Tomi memang pemuda tampan dengan hasrat sex yang selalu meluap-luap.
Kendati ia memiliki seorang kekasih, namun Tomi rutin menggunakan jasaku seminggu dua kali.
‘Cewe gua memeknya ngak seenak lo Ren’ begitu ucapnya.


“Mmmmhh...... mmmmhh....” aku mendesah, meresapi kenikmatan saat rongga vaginaku terisi penuh oleh penisnya yang mengacung tegak.


Slep....Slep....Slep.....
Dengan kedua tangannya, Tomi meraih bongkahan pantatku dan sesekali menamparnya.
Splakk....Splakkk.... ohh, aku suka diperlakukan seperti itu. Tiap tamparan pada bokongku membuat kulit di sana memerah. Perih, namun sebanding dengan derajat kenikmatan yang kian meninggi.


“Ohhhh..... gila.... emang memek seorang pro....aaaahhhhh....“ racauan kotor, dan terkadang makian kerap kudengar dilantunkan oleh Tomi. “Pereeek... anjing, enak banget memek lo Ren.....”


“Hhhhggghh.... Oohhhh, i-yaahh.... gue pelacur... gue budak sex lo Tom.... Ahhh...Ahhh....”
Hujaman demi hujaman membuat vaginaku kian berkedut. Cairan licin di dalam rongga itu sudah cukup banyak untuk membantu Tomi mempercepat gerakannya.


Tepat di hadapan wajahku, kulihat Tomi tersenyum senang.
Hidung kami yang mancung kini beradu saat kami saling menjulurkan lidah. Daging tak bertulang dengan liur membasahinya, masing-masing lidah kami kini saling bertaut.
Sluurppp....Sluurpppp 
Aku suka, aku sungguh tergila-gila mengulum lidah pasangan mainku. Rasanya, sensasi basahnya, oohh.


Plok...plokkk...plookk...ploookk...
Tusukan penis yang dilancarkan Tomi semakin brutal. Ia kini mencengkeram pinggangku untuk menahan tubuh ini tetap diam. Sementara itu, ia menggerakkan tubuhnya naik turun dengan cepat sehingga penis sepanjang 17cm itu melesak dalam menerobos mulut rahimku.


Jujur, agak sakit rasanya jika ia menusukkan penis hingga sedalam itu.
Aku harus mengakhiri permainan ini sebelum vaginaku mengalami cidera.


“Akkkhhh...Akkkhhh........ enak banget kontol lo Tom...Akkkkhhhh...terus....”
Kalimat itu bukan kukatakan karena kenikmatan yang kurasa. Kalimat itu adalah jurus andalanku. Aku kerap mengucapkannya jika sudah bosan dengan permainan yang membuatku lelah.


“Nnnngghhh...aaaaaahhhhhhhhhh...aaaAAAhhhhHHHHH...” tubuh Tomi menegang.
Penisnya berdenyut-denyut di dalam vaginaku. Tak lama setelahnya, sperma hangat itu menyembur membasahi dinding rahimku.


“Ohhhh...shit.. gua kena lu kibulin lagi” ucap Tomi.
“Hihihi... lagian lama banget sih, gue udah capek tau” ucapku beralasan.
Sebagai seorang pelayan, memuaskan klien adalah tanggung jawabku. Aku tidak bisa mengatakan sejujurnya bahwa vaginaku terasa cukup sakit saat ia menghujamkan penisnya sedemikian dalam.


Ya, itu bukanlah pertama kali aku melakukannya pada Tomi. Hasrat seksualnya yang menggebu telah kumanfaatkan dengan baik. Jika aku diam tak bersuara, permainan kami bisa berlangsung hingga tiga jam lamanya. Namun dengan sedikit racauan nakal, aku mampu membuat Tomi tumbang seketika.


“Ahhh.... long time kali ini mantep.....” ucap Tomi. Ia berbaring di ranjang tempat kami melakukan perzinahan, sementara tangan kanannya kini sedang menggapai laci meja untuk mengambil sesuatu.
Seperti biasa, setelah Tomi puas dengan pelayananku, ia memberikan sebuah amplop cokelat tebal berisi uang. Aku terbiasa tidak menghitungnya, begitu mengintip ada lima bundel uang di sana, aku segera memasukkannya ke dalam tas.


“Thank you hon.... kalo butuh service atau ganti oli, lo tau harus hubungin siapa” ucapku sambil melempar sebuah senyum nakal pada Tomi. Pakaian-pakaianku masih berserakan di lantai. Dengan tubuh bugil tanpa busana, aku memungut pakaian itu satu persatu dan mengenakannya kembali.


Cling...
Saat itulah sebuah SMS yang mengawali tragedi ini masuk ke dalam handphoneku.
Aku meraih handphone dan membuka isi SMS itu. Tanpa kusadari, Tomi sudah melilitkan tangannya di pinggangku.


“Siapa itu Ren??” tanya Tomi saat melihat fotoku berdua dengan Naya yang kupajang sebagai wallpaper.
“Ohh... ini Naya, sahabat gue” jawabku
“Wow... berapa DC-nya?”


Mendengar perkataan Tomi yang merendahkan Naya, aku segera melepaskan rangkulan Tomi.
“Dia bukan cewe murahan kayak gue yang mau tidur sama semua cowo... dia masih perawan” ucapku ketus. Kupandangi wajah Tomi dengan sorot mata tegas, tanda bahwa aku tidak menyukai ucapannya tadi.
“Yailah... begitu aja marah Ren. Gue berani bayar mahal kok kalo dia emang masih virgin. Lagian kan belom tentu dia ngak mau, emang lo udah nanya sama dia?”


“Sorry Tom... buat yang itu gue ngak bisa bantu...” aku melenggang pergi menuju pintu masuk kamar hotel.
“Oh ya..?? coba kita lihat dulu ya.... hmmm... di mana benda itu” gumam Tomi. Ia sepertinya sedang mencari-cari sesuatu.


“Ahh.... ini dia” kini selembar buku cek sudah berada di genggaman tangan Tomi.
Ia mengambil sebuah pena lalu mulai menulis di atas selembar cek, dan merobeknya sebelum diberikan kepadaku.


“Ini dua puluh lima juta buat lo, kalo lo bisa ngeyakinin dia buat tidur sama gua...” ucap Tomi seraya menyodorkan cek itu kepadaku “dan bilang sama temen lo, gua bakal beli kesucian dia seharga lima puluh juta”


Deg...Deg...Deg...
Jantungku berdebar kencang, mataku membelalak kaget. Bukan karena menerima cek pemberian Tomi, namun karena mendengar nominal yang bersedia Tomi bayarkan untuk menikmati tubuh perawan Naya. Langkahku yang tadinya mantap, kini terhenti tepat sebelum tanganku meraih handle pintu.


“Gimana Ren? Lo tau bener gimana gua.... gua selalu dapetin apa yang gua mau”
Aku menoleh ke belakang dan memandang raut wajah Tomi yang tersenyum sinis.


’Naya..... gimana keadaan dia sekarang ya?’ batinku.
Pertanyaan itu sangat beralasan. Ibunda Naya baru saja meninggal satu bulan lalu. Naya pastilah sangat membutuhkan uang saat ini.


“oke.. gue coba” jawabku.


Sepulangnya aku dari sana, aku segera menghubungi Naya.
Aku tau, kemungkinan besar Naya akan menolak. Namun sejak awal niatku baik. Aku ingin meringankan bebannya saat ini. Hidup seorang diri di tengah ibukota Jakarta bukanlah hal mudah. Terlebih sejak ibunya meninggal. Kudengar tabungannya sudah habis untuk mengurus prosesi pemakaman.


Namun ketika aku meneleponnya, Naya menolak dengan halus.
Aku tau itu, sangat tau. Naya di didik dengan baik oleh ibunya yang memiliki pandangan agama yang kolot. Karenanya, Naya menjadi pribadi yang santun dan taat pada ajaran agamanya. Ia tak pernah menyentuh minuman keras atau hal-hal sejenis.


Dua hari berselang, aku segera mengabarkan penolakan itu kepada Tomi.
Kami membuat janji bertemu di diskotik Exotica. Tomi sudah menyewa sebuah kamar untuk berbincang denganku. Di sanalah Tomi marah besar.


Plaaakkk.... ia menamparku


“TOLOL AMAT SIH LO..... NGEBUJUK AJA GAK BISA” hardiknya.
Aku yang kala itu jatuh terjerembab di lantai tidak dapat melawan Tomi saat ia mulai menganiayaku.
Aku dipukul, ditendang, diinjak, ditampar, dijambak, dan dijedotkan ke dinding.


“Dasar perek gak ada gunanya lo... Pelacur rendahan....”


Sakit...
Amat sangat sakit. Tubuhku yang menjadi bulan-bulanan kini terasa bagai sebuah telur rapuh yang diinjak. Aku kini terkulai lemas di lantai kamar itu dengan darah menetes dari luka di kepalaku.
Saat itu Tomi berjalan meninggalkanku sejenak. Membiarkanku tenggelam dalam tangis penyesalan karena menerima tawarannya.


Buuggg.... Tomi kembali menendang tubuhku
“Bangun lo perek......”


Aku tak mampu menjerit, bahkan saat Tomi tiba-tiba menyabetkan sesuatu yang tajam hingga merobek perutku.
“Aaa..akk.................” sakit sekali rasanya, aku nyaris tak mampu menjerit karena kaget dengan rasa sakit yang datang begitu cepat.


Tak puas merobek perutku, kini Tomi meraih rambutku yang tergerai.
“AAAAKKKHHHHHH...... a-ampun Tom.... Am-punnn...” aku mencoba meronta, namun darah yang terus mengucur dari luka di perutku membuat kalimat itu terputus-putus. Aku takut... sangat takut, aku tidak bisa membayangkan jika sampai terbunuh di tempat ini.
Aku mencoba memohon saat Tomi mulai menjambak rambutku hingga kepalaku menengadah memandang ke arah langit-langit.


Sreeeeeeetttt..........


“Oooorrrkkkkkk....kkrrrrrookkkk......” suara jeritanku kini terdengar parau.
Tiba-tiba, kurasakan rasa sakit yang teramat sangat dari bagian leherku diikuti oleh suara keras seperti kayu dipatahkan. Rasanya, jauh lebih menyakitkan dibanding luka sayatan pada perutku.
Tubuhku tak dapat kurasakan lagi. Pandangan mataku mulai gelap, yang dapat kuingat pada detik-detik terakhir itu adalah darah yang memancar deras entah dari mana.


Detik selanjutnya Tomi melemparkan kepalaku menjauh. Pandangan mataku yang mulai gelap masih bisa menangkap sedikit bayangan saat kepalaku berputar dan membentur lantai.
Di sana, Tomi berdiri dengan sebuah golok besar tergenggam di tangannya. Tepat di sisi kaki kirinya, tubuhku yang tanpa kepala tergeletak dengan leher terpotong yang menyemburkan darah.


Dengan santai, Tomi berjalan menuju tubuhku yang tergeletak tanpa kepala dan menarik keluar isi perutku. Kejam, sungguh sebuah perlakuan yang hanya pantas dilakukan oleh binatang.


Senyum puas dari seorang iblis tergambar sempurna di raut wajahnya. Tomi ini berjalan menuju tas milikku dan meraih handphone di dalam sana.
Ia tersenyum puas saat mendapati nomor handphone Naya ada disana.
Dengan raut wajah penuh kekejaman, Tomi kembali berjalan kearah kepalaku dan menyabetkan goloknya untuk terakhir kali.


Pandangan mataku semakin gelap, sepertinya sel-sel syaraf yang menopang kesadaranku mulai tidak berfungsi.
Harapanku di saat-saat terakhir, ada dua.
Aku ingin membalas dendam dan ingin melindungi keperawanan Naya dari Tomi.



~Megtron21~



Meninggal secara tak wajar, jiwaku tak bisa pergi ke nirwana.
Keberadaanku masih terjaga. Kendati tanpa raga sejati, aku akan tetap melampiaskan dendamku pada Tomi dan sekaligus melindungi Naya.


Setelah beberapa hari berlalu, Tomi belum juga bisa melacak di mana Naya tinggal.
Kumanfaatkan kesempatan itu untuk membalaskan dendamku. Kekuatan yang telah aku kumpulkan harusnya sudah cukup.
Aku akan melindungi Naya..... Aku harus melindungi Naya……









~~Bersambung~~






Satu Dunia, Beratus Kisah, Beribu Cerita
Megatron21story

Friend or Fiend - Chapter 4

Satu Dunia, Beratus Kisah, Beribu Cerita
Megatron21story





~~ 4 ~~






“Jadi.... ngomong-ngomong kenapa tiba-tiba lo ke sini Ren?” tanyaku.
Reni masih bertelanjang ria di kamar ini, ia dengan riang bersenandung kala tubuhnya sedang menindih tubuhku.
“Yah.... gue lagi ada masalah” jawabnya seraya terus memainkan kedua payudaraku.


“Lu mah masalah mulu di koleksi...”
“Habis mau gimana lagi? Cowo udah dikoleksi, sepatu udah, tas udah, baju... jangan ditanya kalo yang itu hihihi....” ia tersenyum.
“Sombong....”


“Hihihi.... yang gitu deh, lagi ada masalah sama seseorang...” lanjutnya.
“Dimana? Diskotik?” tanyaku.


Reni mengangguk.
“Masalah besar... gue ngak akan balik lagi ke sana...” lanjutnya.
“Lho... trus? Lu mau kerja apa?”
“Gue udah ninggalin dunia itu Nay...” jawab Reni.


“Ohhh bagus deh.... moga-moga lu ngak kaya gitu lagi....”
“Ngak akan kok.... gue udah ngak akan pernah kerja kaya gitu lagi...”


Syukurlah, aku pikir Reni tak akan pernah mau beralih dari profesinya sebagai penjaja tubuh. Aku cukup miris melihat kehidupan yang ia jalani selama aku mengenal sosok Reni. Akhirnya sekarang ia terbebas dari jerat itu dan menjalani hari-hari baru.


“Udah ahh... gue numpang mandi ya...” ucapnya.
“Iya... sono pake aja...”
Reni bangkit, ia menyambar handuk biru milikku dan bergegas menuju kamar mandi.


Tringgg...
Handphoneku kembali berbunyi.


‘Loh... SMS dari Tomi lagi...’ batinku.
Jam di sudut layar handphone telah menunjukkan pukul satu dini hari. Apakah orang ini tidak pernah tidur? Jangan-jangan dia sebangsa kalong atau semacamnya.


‘Nay... sudah baca koran belum?’ tanya Tomi dalam SMS itu.


‘Apa pula maksudnya?’ batinku.
Aku baru ingat bahwa aku membeli koran saat singgah di minimarket tadi malam.
Kantung plastik bergambar logo minimarket itu masih teronggok di atas meja. Roti sobek yang tadi kumakan masih tersisa satu potong.


Aku mengenakan celanaku yang sempat dilepaskan oleh Reni.
Udara malam yang dingin tak boleh membuatku masuk angin, aku harus berjuang mencari pekerjaan baru esok pagi.


Kuraih kantung plastik itu.
Di dalamnya aku mengambil surat kabar yang kubeli.
‘Apa Tomi mau aku baca berita?’ batinku.


Kertas koran berwarna abu-abu itu kubentangkan di hadapanku.
’Halah, pemberitaan soal artis melulu’ gumamku dalam hati saat menemukan berita tentang publik figur yang baru melangsungkan pernikahan di pulau dewata.


Perlahan-lahan aku menyusuri tiap kolom berita utama hingga mataku terbelalak saat memandang ke pojok lembaran kertas abu-abu itu.


‘pihak kepolisian masih mengusut sebuah kasus pembunuhan yang terjadi di diskotik Exotica sebulan yang lalu. Korban yang berjenis kelamin wanita diketahui bernama Reni Anggraeni adalah seorang wanita panggilan yang saat itu sedang menemui seorang klien.


Wanita malang itu dibunuh dengan sadis. Kepalanya terpotong dengan isi otak berceceran, sementara isi perutnya terburai keluar dari luka sayatan pada perutnya yang berlumuran darah.
Pelakunya tak lain adalah sang klien sendiri, yang saat ini masih buron.’


 Crk..crkk..crrk...crrk....
Kedua tanganku yang menggenggam lembaran koran itu bergetar.


’Ngak.... ini gak mungkin...’


Bibirku tiba-tiba ikut gemetar seperti tanganku.
Reni Anggraeni adalah nama lengkap Reni. Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi?
Baru saja aku melakukan permainan panas bersama dirinya, dan sekarang aku mengetahui bahwa nama Reni Anggraeni disebut sebagai salah satu korban pembunuhan.


“lu gemetar karena kedinginan, atau karena sudah tau?” sebuah suara tiba-tiba membuatku tercekat. Aku terlonjak dari posisi dudukku di tepi ranjang.
Lembaran koran itu masih terbentang di hadapanku, dan aku dapat menerka dengan pasti, asal suara itu berada di balik lembaran koran ini.


Deg.....Deg......Deg.......
Jantungku kembali terpacu.


Rasa dingin yang tiba-tiba menyeruak kini menusuk ke dalam kulitku. Tulang belulangku yang tak dapat mentoleransi hawa dingin itu mulai ngilu. Aku benar-benar takut sekarang. Seluruh bulu kuduk kini berdiri serempak. Kulemparkan surat kabar yang kugenggam ke samping.


Di hadapanku, tepat di ambang pintu kamar mandi, sosok Reni yang tanpa kepala sedang berdiri mematung.


“Hhhhhhhh...........” napasku tercekat saat menyaksikan pemandangan itu.


Bercak-bercak darah menghiasi leher hingga busana yang membalut tubuhnya. Benar-benar mengerikan. Perutnya di sobek hingga aku bisa melihat usus dan organ lainnya menggantung keluar. Seumur hidupku, baru kali ini aku menemukan kengerian yang sesungguhnya. Apapun penyebabnya, kau bisa sebutkan satu persatu. Pocong? Kuntilanak? Vampir? Werewolf? Apapun yang bisa kau temui di film layar lebar. Semua itu tak ada apa-apanya dibanding kengerian yang saat ini kualami.


Napasku tercekat, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Aku hanya menggeleng kecil seraya memandang sosok tubuh Reni dengan mata membelalak ngeri.
“Naya......” ia kembali bersuara. Lirih dan dalam. Nada suara itu bergetar seakan menikam jantungku agar berhenti berdetak.


‘T-tapi bagaimana bisa?’ Batinku mulai bertanya-tanya.
Mungkinkah sesosok arwah dapat berbicara tanpa bantuan mulut.


“R-R-Ren....... R-Ren.....” kata-kata itu seakan tak mau keluar. Lidahku yang saat ini kelu menyembunyikan kata-kata itu dengan baik di dalam tenggorokanku.


“Nay.....”


“Hhhhhh...........” aku mencoba mengambil napas sebisaku. Nyali dalam diriku benar-benar sudah mati.
Tubuhku kini benar-benar kaku. Ketakutan yang teramat sangat sudah menyelubungi diriku.
Suara panggilan kedua tadi terdengar cukup dekat, tidak seperti panggilan pertama.


“Dibawah Nay.....”
Aku sontak menundukkan wajah.


“KYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA...............................”


Teriakan itu tak dapat kutahan lagi.
Tepat di depan vaginaku yang terbalut celana jeans, seonggok kepala telah berada di sana, kepala Reni.
Bercak-bercak darah yang menempel membuat seringai yang disuguhkan Reni begitu mengerikan.


Aku meraih handphone yang tergeletak di samping tubuhku dan berusaha merangkak mundur menjauhi kepala itu.


“Nayyy....aaakhhh....Nayyy........” kepala Reni yang teronggok di tepi ranjang mulai memanggil-manggil namaku.
Panggilan itu..... panggilan itu adalah kalimat di mana Reni sangat menginginkan aku.
Aku seketika melompat turun dari ranjang dan berlari ke arah pintu masuk.


“BRAAAAAAK..............”
Kubanting daun pintu dengan keras saat aku keluar dari kamar.


Dengan tubuh gemetar ketakutan, kucoba menggedor kamar Bu Shinta.
“Buu.... bu Shintaaaa.. tolooonnggg.......”
Dokk....dok....dokk.....


Clekk.....  Pintu itu membuka sedikit karena gedoranku, daun pintu itu ternyata tidak dikunci.
Aku meraih handle pintu dengan tergesa-gesa dan mendorongnya.
“Bu Shin......” aku kehabisan kata.


Di hadapanku, kamar Bu Shinta tak ada ubahnya seperti panggung cerita horror.
Darah di mana-mana, Bu Shinta beserta anak-anaknya telah mati. Kepala mereka yang terpenggal berjajar rapi di tengah ruangan, sementara tubuh mereka terbaring kaku tak tentu arah.
“N-n-ngak........ ini......” aku tiba-tiba teringat dengan suara gaduh yang sempat ku dengar dari kamar Bu Shinta. Mungkinkah suara itu tercipta saat mereka binasa?


“Nay..... jangan lari......” sebuah bisikan kudengar.
Aku menoleh dan melihat bayangan Reni mulai muncul dari jendela kamarku.
Aku kembali ke lorong, lalu berlari menuju tangga untuk turun ke lantai dasar dan lari meninggalkan rumah susun ini.


“Nay.......” sayup-sayup suara Reni masih memanggilku.


Aku terburu-buru menuruni tangga hingga nyaris terpeleset karena anak tangga semen yang mulai berlumut.


L-looohhh.......’ mataku, satu-satunya indera yang bisa kupercaya. Kini tak bisa dipercaya lagi.
Kendati aku sudah berada di bawah tangga, namun aku masih berada di lantai tiga. Lorong itu sangat kukenali.


Aku menoleh ke kanan, ke arah pintu kamarku yang kini terbuka dengan cahaya lampu terpancar dari dalam kamar.
“Nayyy....aaakhhh....Nayyy........” sosok Reni yang mendekap kepalanya di pinggang muncul perlahan.


“AAAAAAAAAAAHHHHHHHHH..........” aku berteriak sejadi-jadinya, berusaha membangunkan orang-orang yang telah terlelap dalam kantuk.
Aku segera menghambur turun kembali menuruni tangga.


Tringgg...
Handphone yang kugenggam kembali berbunyi, nyaris saja aku terperanjat oleh benda bergetar di dalam genggamanku.


Aku tak punya waktu untuk melihat SMS dari siapa itu. aku terus berlari menuruni anak tangga itu lagi.
“Nay......MMmmmmmmmmhhhHHHHHH....” suara Reni terdengar semakin dekat. Desahan itu, desahan saat Reni benar-benar hampir menggapai apa yang diinginkannya.


Entah sejak kapan air mataku mengalir membasahi pipi, bibirku bergetar hebat.
Rasa takut yang menyelubungi pikiranku, kini menjadi pemacu adrenalin yang membuatku terus berlari.


Aku kini sudah berada di bawah anak tangga.
Namun sama seperti tadi, aku masih tetap berada di lantai yang sama.


‘Adaa apaaaaaa iniiiiiii.........’ batinku meronta.
Aku makin kehabisan akal. Aku tak mungkin terus berlari berputar-putar.
Aku harus mencari akal.


“Nay..........” suara Reni semakin dekat.
Degup jantung yang kurasakan, seakan ingin membunuh diriku.


Ting.. tring....ting...ting.. Tring..  
Lagu Canon in piano mulai melantun dari handphoneku yang bergetar.
Seseorang sedang menelepon ke nomorku.


Kupandangi sejenak layar handphone itu, nama Tomi terpampang di sana.
“Ha-halo...” aku berdiri terpaku menjawab telepon dari Tomi sambil menoleh ke kiri dan ke kanan.
‘Nay..... jangan banyak berpikir... kamu harus naik ke lantai atas...’ ucap Tomi di ujung saluran telepon sana.


“Nay......MMmmmmmmmmhhhHHHHHH....” suara Reni terdengar kembali.
Kali ini sungguh dekat. Dadaku masih naik turun menggapai udara saat aku kembali menoleh ke kanan dan ke kiri mencari sumber suara itu. Handphoneku masih menempel lekat-lekat di telinga.


‘Nayyyyyy............. lariiiiii.............’ Tomi berteriak.
Saat itu tiba-tiba kurasakan rasa sakit yang teramat sangat dari pergelangan kakiku.
“AAKKHH...”


Sontak aku mengibaskan kaki dan memandang ke sana. “KYAAAAAAAAAAAAAA...............” aku kembali menjerit.
Reni, lebih tepatnya kepala Reni sedang menggigit pergelangan kakiku.
Matanya yang merah menyala benar-benar menyiratkan hasrat untuk membunuh.


Aku meronta, kakiku kukibaskan dengan kuat hingga gigitan kepala Reni terlepas.
Kepala itu sempat terlontar membentur dinding sebelum menggelinding ke arah sepasang kaki yang berdiri kaku.


Tubuh Reni yang tanpa kepala bersimbah darah berdiri di sana.
“Nay.... lo kok jahat sama gue....” Reni berkata dengan sorot mata benci dari kepalanya yang tergeletak di lantai.


“Jangan lari Nayy.... jangan lari.........” Reni berbisik
Saat itu, seluruh pintu yang berada di lorong tiba-tiba terbuka dan menimbulkan suara gaduh.
 BRAKK....BRAKKK...BRAK........
Dari sana, muncul puluhan sosok yang menenteng kepalanya masing-masing.
“Aaaarrrrkkk....kkkrrrkkkkk..... Naaaya.....” suara parau kini bersahutan memanggil namaku.
Raut wajah dari kepala-kepala yang terpenggal itu sangat kukenali. Mereka adalah tetanggaku yang sama-sama tinggal di rumah susun ini. Di antara mereka, aku bisa melihat Bu Shinta beserta anak-anaknya.


“Hiks...hikss.... please... jangan sakitin gue Ren.... p-please.....” air mata ini semakin deras mengalir.
Dadaku sesak, napasku tercekat, kakiku gemetar, sungguh aku tidak ingin mati. Tidak sekarang, tidak di sini.


Aku tak mau membuang waktu lagi. Segera kunaiki tangga untuk kabur dari kejaran Reni.
Aku masih tak mengerti apa sebenarnya yang terjadi pada diriku. Jika benar Reni telah meninggal, mengapa ia menghantuiku seperti ini. Apa sebenarnya salahku padanya, seingatku aku tidak pernah berlaku kasar ataupun memulai konflik dengannya.


“Ggaaaarrrrrhhhh......” puluhan sosok dengan kepala terpenggal itu masih mengejarku.
’Ohh tuhan, dosa apa yang telah kulakukan.’ batinku di sela isak tangis.


Langkah kakiku berderap menaiki tangga semen berlumut itu.
Lututku mulai ngilu, seakan tak sanggup lagi melangkah walau hanya sekali. Kuraih pegangan tangga yang terbuat dari pipa sebesar lengan untuk menyeimbangkan tubuh.


Kepalaku kini menengadah keatas untuk memandang rangkaian anak tangga yang akan kulewati.
“Nay..........” Reni kembali memanggil namaku. “Tunggu aku Nay...........”
Aku tak peduli lagi, aku tak ingin percaya lagi. Mulai detik ini, aku tak akan menaruh kepercayaan pada siapapun. Teman, sahabat, kekasih, bahkan keluarga, semuanya hanya menyimpan kebohongan.


Anehnya, ketika aku menaiki tangga.
Aku bisa berpindah dari lantai tiga ke lantai empat. Aku tak lagi terkurung di sana dan akhirnya menjauh.


“Hihihihihihihi...........” tawa itu begitu mengerikan.
Melengking tinggi seperti suara derit pintu yang berulang-ulang. Reni masih mengejarku.


Sesaat aku menoleh ke bawah tangga sebelum melanjutkan naik ke atap gedung.
Kepala Reni yang sedang di dekap oleh kedua tangannya kini memandang ke atas seraya bibirnya masih mengeluarkan tawa mengerikan.


’Tuhan... biarkan aku hidup.... pleaseee....’
Aku tak dapat lagi menahan racauan dalam hati. Sorot mata Reni benar-benar nampak bersungguh-sungguh. Mungkinkah ia yang menjadi dalang kematian para penghuni rumah susun?


“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.........” saat melewati anak tangga dan menginjakkan kaki di lantai lima, aku kembali menjerit kencang saat beberapa tangan kini melingkar di tubuhku.


“Lepaaaaaaaaassss.... LEPAS...” hardikku.
Bau busuk yang menyegat kini tercium semerbak. Aku menoleh ke balik punggung dan menemukan setidaknya tiga sosok tubuh tanpa kepala berada di sana. Tangan-tangan berlumuran darah itu mencengkeram tubuhku


Aku meronta sekuat tenaga.
Darah yang melumuri tubuh mereka membuat cengkeraman kuat itu terasa licin. Dengan sebuah kibasan kuat, aku melepaskan diri dan kembali berlari.


Aku tak bisa lagi berdiam, atap gedung sudah dekat.
Aku tidak tahu apakah di atas sana aku akan selamat, namun aku tak punya pilihan lain. Setiap kali aku mencoba turun ke lantai bawah, maka aku akan kembali ke lantai tiga.


Clank......
Kubuka pengait pintu besi yang menghalangi langkahku dengan kasar.


Entah apa maksudnya, namun sepertinya Reni ingin menyiksaku dalam ketakutan.
Karena, jika ia memang berniat membunuhku, maka ia tak akan pernah membiarkanku lolos dari kamar kontrakan tempat kami bercumbu.


Aku menghambur ke atap gedung.
Di atas sana, atap gedung itu adalah tempat terbuka dengan lantai beton setebal tiga puluh sentimeter.
Tempat ini jarang sekali didatangi siapa pun. Baik itu penghuni rumah susun atau bukan, atap gedung ini selalu dihindari karena sangat panas di siang hari, dan sangat mengerikan pada malam hari.


Malam ini, suasana jauh lebih mengerikan.
Kendati Jakarta selalu disebut sebagai kota yang tidak pernah tidur, namun saat ini Jakarta seperti kota mati. Tak terdengar suara klakson kendaraan bermotor di kejauhan, tak ada canda gurau para pemabuk di ujung jalan, yang ada hanya langit kelam sepi, sunyi.


Bulan purnama di atas sana bersinar begitu terang.
Entah apakah semua ini karena aku terlalu banyak melihat darah atau memang karena fenomena alam langka. Bulan itu bersinar kemerahan.


“Nay......MMmmmmmmmmhhhHHHHHH....” suara Reni terdengar kembali.


Aku menoleh seketika ke arah pintu masuk atap.
Reni dengan kepalanya yang didekap erat di dada telah berdiri di sana.


“Akhirnya..........” Reni berkata dengan nada puas.





~~Bersambung~~






Satu Dunia, Beratus Kisah, Beribu Cerita
Megatron21story
 
Copyright © 2014. Warna-warni Cerita - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger