“Tch…. Dasar
cewek tolol... bikin masalah aja bisanya” seorang pria dengan perawakan tambun
sedang menghisap rokok berwarna putih di ruangannya sendiri.
Kacamata
berbingkai kotak yang bertengger di hidung peseknya kembali turun beberapa
milimeter.
Ia kini
gusar. Kendati sebuah senyum palsu telah dibuatnya untuk mencairkan suasana,
namun atasannya tetap saja menyalahkan dirinya terkait dengan kelalaian seorang
pramusaji yang telah mencoreng nama baik RichTaste. Ia adalah sang
manager restoran.
“Huuuff.....”
asap putih kini mengepul dari lubang kecil yang dibuat bibirnya, begitu juga
dengan dua lubang yang entah bagaimana bisa tetap ada di hidungnya yang bulat
pesek seperti hidung badut.
Dua buah
kaki gempal seukuran gelondongan kayu ia naikkan ke atas meja kerjanya.
Tok....tok....tok....
Sang pria
tambun yang terhanyut dalam lamunannya sendiri, mengerling ke arah pintu masuk
ruangan, di mana suara ketukan berasal.
“Yak....
masookk....”
Entah apakah
nada bicara itu sudah terlalu mendarah daging, ia mempersilahkan orang di balik
pintu untuk masuk dengan angkuh. Rokok putih yang tersemat di bibirnya kini ia selipkan
pada bibir asbak.
Kriieekk......
Pintu itu
terbuka.
Seorang
gadis berperawakan tinggi langsing baru saja masuk dengan sebuah map berisi
lembaran-lembaran kertas tergenggam di tangannya. Ia adalah sekertaris
si-pria-tambun.
“Malam
bos...” sapa gadis itu.
“Ya... ada
apa lagi Mel?” Si-pria-tambun kini menurunkan kakinya dari atas meja. Ia sadar,
sikap seperti itu tidak selayaknya ia tunjukkan jika ada orang lain bersamanya.
“Nnngg...
ini Bos, berkas-berkas keluhan dan pembukuan hari ini...” jawab sang gadis.
“Oh iya...
hampir saya lupa. Ini semua gara-gara kelakuan si cewek tolol itu....
berantakan semua kerjaan saya” si-pria-tambun melambaikan tangan, memerintah
sang sekertaris untuk mendekat.
Srekk....Srek.....
Perlahan, ia
membuka lembaran-lembaran itu.
Ya, hari ini
reputasi RichTaste benar-benar tercoreng. Berkas keluhan yang sedang
dibacanya sungguh membuat kulit wajahnya kembali memerah.
“Fuck………”
Si-pria-tambun
melemparkan berkas-berkas itu ke udara.
Satu
persatu, lembaran demi lembaran kertas itu jatuh dengan gemulai hingga lantai
menyapanya. Sang sekertaris, Melly, nampak tak peduli dengan kelakuan bosnya.
Ia sudah sangat terbiasa memandang kelakuannya yang seperti itu.
“Kalau sudah
ngak ada apa-apa lagi, saya permisi pulang bos… udah malem” ucap Melly.
“ya…ya…ya…
pergi sana, hari ini saya lagi gak napsu naikin kamu”
Sang
sekertaris hanya bisa mendengus sebal dalam hati.
’Dasar
babi tidak tahu diri’ umpatnya.
Bisa-bisanya
dia memanfaatkan Melly yang harus menopang hidup ketiga adiknya. Hampir tiap
ada kesempatan, Melly tidak akan pulang cepat. Celah sempit dibalik rok mini
yang ia kenakan secara teratur akan dijejali sebuah tonjolan daging sepanjang
tujuh sentimeter milik si-pria-tambun.
Perempuan
binal manapun, tetap saja tidak akan tahan menerima kata-kata yang begitu
merendahkan. Terlebih bagi perempuan baik-baik seperti Melly. Dengan berat
hati, ia harus merelakan liang vaginanya untuk dinikmati sang manager, yang
bahkan belum pernah membuat puting susunya mengeras tegak. Apalagi orgasme.
’Siapa
juga yang demen di naekin sama lo… dasar babi’ umpatnya dalam hati.
Tanpa
berpamitan, Melly segera melangkahkan kaki dari ruangan yang menjadi saksi bisu
bahwa tubuh gemulainya telah dinikmati oleh si-pria-tambun, minimal tiga kali
seminggu.
Setidaknya,
hari ini ia akan menggapai puncak kenikmatan yang sesungguhnya bersama Sam,
sang kekasih. Tak ada baginya hal yang lebih membahagiakan dibanding
membayangkan penis kekasihnya menyeruak masuk, mengisi relung kenikmatan
miliknya hingga penuh sesak.
’Mmmhh….
Sampai ketemu sayang’
Kembali ke
dalam ruangan.
Pria tambun
itu memandang jijik ke arah lembaran-lembaran kertas yang tercecer di lantai.
Ia meraih
jas berwarna hitam yang ia letakkan pada sandaran kursi, lalu segera
mengenakannya. Tak lupa, kunci mobil berlambang lingkaran warna biru-putih
dengan tiga buah huruf ia raih.
Malam ini,
restoran sudah sepi.
Tak ada lagi
gumam-gumam tak jelas yang riuh rendah bersahutan, tak ada lagi binar mata para
pasangan yang menghamburkan uang. Ia kini sendirian, berjalan melewati ruang
kosong di antara meja bundar yang tertata apik di bawah naungan lampu kristal
yang setia menggantung di langit-langit.
“Malam
Boss.....” seorang satpam yang masih berjaga di pintu masuk terlihat
membungkukkan badan saat si-tambun melangkah tanpa menoleh atau membalas sapaan
itu.
’Dasar
babi...’
Ya itulah
julukan yang diberikan oleh segenap karyawan yang pernah merasakan pahitnya
kata-kata si-pria-tambun. Begitu juga dengan si-satpam. Kalimat umpatan yang
sesungguhnya terdengar sangat kasar itu terus terucap dalam hatinya.
’Huh....
siapa lu? lu pikir, karyawan rendahan pantas nyapa gua?’ batin
si-pria-tambun.
Ia menekan
sebuah tombol pada kunci mobil yang sedang digenggamnya.
Tuitt...tutitt...
Mobil sedan
hitam yang terparkir dibalik sebuah plang bertuliskan ’Manager Only’ berbunyi. Lampu sign yang tersemat di keempat sudutnya ikut berkedip sebanyak
dua kali.
Mungkin bagi
orang yang belum pernah bertemu dengan sang manager, mereka akan takjub ketika
memandang si-pria-tambun melangkah masuk ke dalam melewati pintu mobil sedan
mewah itu.
’kok
muat??’
Tapi
begitulah, kenyataan.
Mau tidak
mau, batin yang baru saja berucap harus menjilat ludahnya sendiri.
Nyata-nyatanya tubuh si-pria-tambun bisa masuk ke dalam mobil walaupun harus
bersusah payah menekuk kaki dan memundurkan posisi kursi pengemudi untuk
sementara.
Wuuuunnngg....Wuuunnnggg....
Mesin mobil
itu meraung halus. Untung saja mobil itu memiliki kapasitas mesin dan kualitas
rangka yang mumpuni.
Siapa pun tidak
akan bisa membayangkan jika ada sebuah taksi mengangkut si-pria-tambun.
Mereka hanya
dapat menduga, beberapa bagian mobil taksi itu harus rela menerima beberapa
guratan saat melewati polisi tidur karena strukturnya yang semakin
ceper.
Mobil itu
mulai melaju.
Pelan namun
pasti, si-pria-tambun meninggalkan kawasan parkir gedung RichTaste. Tujuannya
saat ini bukanlah pulang untuk sekedar memandang raut wajah anak-anaknya yang
masih balita, atau mengecup kening sang istri yang setia menanti. Tujuannya
saat ini adalah sebuah hotel, di mana tiga orang wanita panggilan telah bersiap
menanggalkan seluruh busana untuknya demi beberapa lembar rupiah.
Malam ini
begitu sunyi, dengan awan berarak yang membuat cahaya bulan harus mengintip.
Beberapa
kali, si-pria-tambun melirik ke arah spion tengah. Ia merasa sedang diikuti
sejak meninggalkan pelataran parkir RichTaste. Tapi siapa? Tidak ada satu mobil
atau motor pun yang beriringan dengannya. Kendati ia terus berusaha menenangkan
diri, perasaan was-was yang tiba-tiba menyelimuti tetap tak mau pergi.
Dinginnya
udara yang disemburkan oleh celah AC tak mampu menghalau butir-butir keringat
yang terus berjatuhan di dahinya. Merasa keadaan jalan sudah cukup lengang, ia
menoleh ke samping untuk mencari tisu guna menyeka keringat dinginnya.
BRAAAAAAKK.......
Sebuah suara memekakkan terdengar dari bagian depan mobil.
Mobil
si-pria-tambun bergoyang hebat, noda merah pekat kini terlihat menutupi hampir
dua pertiga kaca mobilnya bagian depan. Ia segera menginjak pedal rem hingga
ban mobil itu berdecit memekakkan.
“Bangsat....
apaan tu tadi.....”umpatnya.
Deg...Deg...Deg...
Degup
jantungnya mulai terpacu.
Warna merah
pekat yang menyelimuti kaca depan mobil itu tak lain adalah darah. Ia menabrak
sesuatu.
’G-gawat....
gua harus kabur....harus....’ si-pria-tambun membatin. Ia meraih kunci
mobil untuk menyalakan kembali mobilnya yang mati mendadak karena kesalahan
kontrol saat menginjak pedal kopling.
Nnnnnggggtt...nggggtttt...nnnggtttt....
Mobil itu
tak kunjung menyala. Si-pria-tambun semakin panik. Ia tak mau tertangkap basah
karena menabrak seseorang hingga kehilangan nyawa.
’Anjingggg......
kenapa sih ini mobil... bangsat’ umpatnya.
Merasa tak
mempunyai pilihan, si-pria-tambun terpaksa turun dari mobilnya dengan susah
payah.
Dilihatnya
tutup kap mesin mobil itu berlumuran dengan darah jauh lebih banyak dibanding
yang ia perkirakan.
Glek...... ia menelan ludah.
Si-pria-tambun
menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tidak ada seorang pun yang
menyaksikan kejadian itu. Ya, ia sendirian.
Merasa cukup
aman, ia kini berjalan mengitari mobilnya mencari sesosok tubuh yang sudah
ditabraknya.
Bercak darah
terlihat di mana-mana. Ia semakin panik, degup jantungnya semakin terpacu saat
bau anyir merebak memenuhi udara malam.
’Pasti
mati..... pasti mati....’ gumamnya dalam hati.
Pendapat itu
sangat beralasan mengingat jumlah darah yang memenuhi seluruh bagian depan
mobilnya. Tapi bagaimana bisa? Mungkinkah tubuh seseorang hancur seketika?
Mungkinkah darah segera memancar saat tubuh itu hancur?
’Ngak....
ini gak mungkin.... pasti bukan orang. Ya... pasti bukan....’ pikirnya.
Lagi pula,
setelah mengitari mobilnya, si-pria-tambun tak juga menemui sesosok tubuh tanpa
nyawa.
Tapi jika
bukan makhluk hidup, lantas cairan kental berwarna merah pekat ini apa? Jus?
Teringat
akan sebuah kelalaian, si-pria-tambun kini mencoba melihat ke salah satu tempat
yang belum ia periksa. Kolong mobil...
Nyali besar
yang ia tunjukkan saat menghardik sang gadis pramusaji, kini menguap entah
kemana.
Kakinya
mulai gemetar. Khawatir jika kenyataan telah membawa seonggok tubuh tak
bernyawa ke dalam bayang-bayang badan mobil. Ia kembali menelan ludah,
butir-butir keringat yang menghiasi wajahnya kini sudah tak terhitung.
Perlahan, ia menekuk sebelah kaki dan menundukkan badan. Kedua tangan gempal
dengan cincin berbatu besar kini menyentuh aspal hitam. Ia menundukkan tubuh
semakin rendah, sampai akhirnya menoleh dan memandang ke bagian bawah mobil.
Matanya yang
membulat, kini nyaris melompat.
Benar saja,
di bagian bawah mobil itu tergeletak seonggok tubuh bersimbah darah. Lehernya
patah, dan sebelah tangan telah terlepas dari bahunya.
“UUUAAAAHHHHH..........”
si-pria-tambun memekik.
Tubuh
gempalnya yang seperti gelondongan sapi tanpa kaki, sontak tersungkur ke
belakang.
Dengan susah
payah, ia mengeluarkan tenaga ekstra yang dihasilkan oleh luapan adrenalin di
dalam aliran darahnya untuk merangkak mundur.
Si-pria-tambun
nampak tak bisa berkata-kata selama beberapa detik.
Bibirnya
gemetar, sedangkan tatapan matanya menyiratkan kecemasan yang teramat sangat.
“Gimana
nih??? Gimana nih????” ia mulai meracau.
“A-aa-aaaa-rrrrkkk.......”
sebuah suara parau terdengar.
Suara itu
berasal dari bibir jenazah yang teronggok di bagian bawah mobil.
Mata
si-pria-tambun semakin terbelalak ngeri. Terlebih saat mata jenazah yang
memandang kosong ke arah atas kini meliriknya. Entah kekuatan apa, yang pasti
kekuatan yang entah dari mana datangnya telah merantai seluruh daya dalam diri
si-pria-tambun.
Ia sangat
ingin merangkak mundur beberapa meter lagi.
Namun menggerakkan
ujung jarinya saja ia tak mampu. Sementara itu, seonggok mayat yang masih
terbaring di bagian bawah mobil mulai menggeliat. Bagai sebuah belatung,
jenazah dengan sebuah lengan yang terpisah kini merangkak keluar.
“P-pergiiiii........pergiiiiiiii........”
si-pria-tambun menghardik.
Entah apa
yang sedang bersemayam di dalam raga yang seharusnya mati, jenazah berlumuran
darah itu menyeringai kejam. Seringai itu perlahan melebar hingga ujung
bibirnya terlihat bersentuhan dengan cuping telinga.
“A-a-a-aaaaa-rrkkkkk”
suara parau itu kembali terdengar saat si-jenazah mulai membuka bibirnya yang
menyeringai lebar. Bagian dalam mulutnya begitu hitam menakutkan.
Setelah
berhasil keluar dari himpitan badan mobil, jenazah itu merangkak dengan cepat
seperti laba-laba.
“AAAAAAAAHHHHH.......”
si-pria-tambun kembali memekik.
Kali ini,
ketakutan sungguh menguasai raganya. Tak henti-hentinya ia bergidik gemetar
saat jenazah itu memeluk tubuhnya hingga wajah mereka berhadapan.
TEEEEEEEEEETT............TTTTTEEEEEEEEEEETT............
Sebuah suara
memekakkan terdengar, dibarengi dengan kilauan cahaya kuning menyilaukan yang
datang dari sisi kiri si-pria-tambun. Tanpa menoleh pun, si-pria-tambun
pastilah menyadari. Dari suara klakson yang terdengar, sebuah truk besar sedang
melesat ke arahnya.
“Ma-aaa.....ttttiiiiiiii..........”
ZRAAAAAAAAAAAAKK............
Sang
pengemudi truk yang sudah menginjak pedal rem dengan sekuat tenaga, nampak tak
mampu menghentikan badan truk yang terus melaju. Dari kursi pengemudi, sang
sopir truk dapat melihat sosok pria tambun yang sedang berjongkok di tengah
jalan raya itu menghilang, masuk ke dalam bagian bawah truk.
Tanpa
basa-basi, sang sopir truk segera turun untuk memastikan kondisi sosok yang
ditabraknya.
Di sana ia
melihat noda darah tercecer di bagian bawah truk. Potongan-potongan daging
semakin meyakinkan dirinya bahwa bentuk tubuh sosok yang ditabraknya pastilah
tidak utuh lagi.
Ia terus
menyusuri jejak-jejak cipratan darah, dan akhirnya ia menemukannya.
Sesosok
buntalan daging berbalut jas hitam nampak terjepit pada roda paling belakang.
~Megatron21~
Naya...
Di atas meja
kayu yang bersebelahan dengan ranjangku, lampu indikator handphone sudah
berkedip merah. Sepertinya ada SMS yang masuk. Dengan tubuh masih agak basah,
aku berjalan mendekati handphone itu. Aku meraihnya, dan membaringkan diriku
yang hanya terbalut handuk lembab ke atas ranjang.
Kamar
kontrakan ini tidaklah mewah. Cat putih yang menghiasi dinding warnanya sudah
berubah kekuningan dengan beberapa tempat yang catnya mengelupas. Plafon yang
menghiasi pandanganku saat berbaring juga mengalami nasib serupa, hanya saja
sedikit lebih mengenaskan. Warna putih di atas sana sudah mulai menghitam
diselimuti oleh lumut dan jamur yang merebak saat musim hujan tiba.
Kontrakanku
ini bukanlah satu-satunya yang mengalami nasib seperti itu.
Ada lebih
dari lima puluh pintu lain yang menyembunyikan ruangan sejenis di kawasan rumah
susun sangat sederhana yang kutempati, dan kamar bernomor 21 yang berada di
lantai tiga ini hanyalah salah satunya.
Kamarku
berada di deret paling pojok, jauh dari tangga yang membawaku naik ke atas.
Tinggallah
aku meratapi nasib di kamar berukuran lima belas meter persegi yang di dalamnya
tidak ada perabotan apa-apa selain sebuah kompor, meja, ranjang, dan dispenser
dengan galon air bertengger di atasnya.
Handphone
itu kubuka dengan sebelah tangan, dan kudapati beberapa notifikasi pesan masuk
di layarnya. Semuanya dari Tomi.
‘Stress
kenapa nona?’
‘Kok ngak
dibalas?’
‘Sedang
ingin sendiri ya?’
‘Oke, aku
ngerti. Selamat tidur ya Naya’
Begitulah
isi keempat SMS yang dikirimkan Tomi.
“Iya...
sorry Tom, aku baru dipecat dari pekerjaan” balasku saat itu.
Dengan wajah
lesu karena teringat kembali tentang kejadian itu, aku menekan tombol untuk
mengirimkan SMS balasan.
Tringgg...
Belum sempat
aku meletakkan kembali handphone itu, SMS balasan sudah kuterima.
‘Lho?
Belum tidur? Maaf ya kalau aku ngeganggu’
“Cepet amat
balasnya Tom... iya, ngak apa-apa” jawabku.
Dalam
suasana hati gundah seperti ini, biasanya aku tidak suka jika ada yang
mengajakku berbicara. Tapi untuk kali ini, aku justru senang dengan SMS yang ia
kirimkan. Seolah ada seseorang yang menemaniku dalam sepi, dan meminjamkan
pundaknya untuk aku bersandar.
Tringgg...
Kali ini,
aku sudah menduga ia akan segera membalas sehingga handphone itu tetap
kugenggam seraya merebahkan diri dan meletakkan lenganku di dahi.
‘Semoga
cepat dapat kerjaan baru ya Nay... memang kamu lagi butuh uang?’
Aku heran.
Mengapa Tomi tiba-tiba bertanya seperti itu. Seperti ia sedang membaca
pikiranku.
Tapi itu
sangat tidak mungkin, walaupun Tomi adalah seorang ahli psikologis sekalipun.
Masih banyak kemungkinan lain yang membuatku gundah, bisa karena bentakan sang
manager yang terlalu keras, atau karena sebuah tamparan telak yang meninggalkan
rona merah di pipi. Yah, tak bisa dipungkiri, dugaan Tomi yang benar-benar
tepat seakan menjadi anak panah yang melesat menuju jantungku.
“Yah...
namanya juga hidup, pasti butuh uang. Aku ngak mau jadi orang munafik” SMS
balasan segera kukirim pada Tomi.
Tringgg...
‘Aku
punya uang... kamu boleh pakai, ngak perlu mikirin kembaliinnya kapan’
Aku sampai
bangkit dari ranjangku ketika membaca SMS balasan itu. Mataku terbelalak saat
mengamati dengan seksama kata demi kata dalam SMS yang Tomi kirimkan.
Sebenarnya
siapa dia? Apakah ia seorang eksekutif muda? Atau anak orang kaya?
Batinku kini
mulai diisi rasa penasaran tentang siapa sebenarnya Tomi.
Aku memang
tidak pernah menanyakan tentang asal usulnya, atau bagaimana kehidupannya. Aku
hanya menganggap Tomi sebagai teman ngobrol semata, tidak lebih.
“Ngak usah
repot... makasih udah nawarin, tapi aku fine... aku ngak mau nyusahin
siapa-siapa”
Setelah
mengirimkan SMS itu, aku mendekap erat hanphoneku di dada. Begitu hinakah hidup
ini, sampai-sampai aku harus menyusahkan orang lain karena masalah yang
kuciptakan. Hembusan napas ini semakin sesak terasa, sungguh. Aku benar-benar
ingin menangis sejadi-jadinya.
‘Ngak
usah sungkan kok, aku senang kok bisa bantu... Bukannya sebentar lagi awal
bulan dan kamu harus bayar kontrakan?’ tanya Tomi dalam SMS balasannya.
“Aduhhh.....”
gumamku.
Pikiranku
yang semakin gundah memaksaku untuk menekan handphone itu ke dahiku. Aku
menghela napas sejenak. Yah, bukan salah Tomi jika ia mengetahui betapa
sulitnya kehidupanku. Aku telah bercerita tentang bagaimana aku kehilangan
sosok seorang ibu, tentang kehidupanku bekerja di restoran sebagai pelayan, dan
tentang betapa berat hidup seorang diri di kamar kontrakan.
Selama
hampir satu bulan ini, Tomi selalu menempatkan diri sebagai pendengar yang
baik.
Mendengarkan
keluh kesah dan cerita hidupku yang penuh liku-liku, dan memberi nasihat untuk
segala masalahku. Dalam bayanganku, Tomi adalah sosok pria yang baik.
“Jangan
Tom... aku ngak enak, kita kan belum kenal lama. Kalau ternyata aku ngak bayar
hutangku gimana?” balasku.
‘Ngak
apa-apa... kamu pasti bayar kok, aku percaya... sekarang kirimin nomor rekening
kamu’ Tomi kembali membalas.
Hatiku kini
semakin berdebar-debar. Ingin aku tersenyum mendengar penawaran Tomi, namun
harga diri ini mencegahku.
Akankah
masalah keuangan ini selesai begitu saja saat aku mengirimkan nomor rekening
pada Tomi.
Ahh... aku
terlalu naif, mungkin saja Tomi hanya akan mentransfer beberapa ratus ribu.
Setelah berpikir sejenak tentang bagaimana aku akan mengembalikan uangnya, aku
mengirimkan nomor rekeningku pada Tomi.
“1234.567.890
bank ABC... Maaf Tom, aku sebenarnya ngak mau nyusahin atau berperan jadi
pengemis” balasku.
Sepuluh
menit berselang, handphoneku kembali berbunyi.
Tringgg...
‘Jangan bilang
begitu, aku senang membantu... sekarang kamu pergi ke ATM’ balasnya
“Hah??” aku
terperanjat.
Mungkinkah
ia telah mentransfer uang ke rekeningku? Dadaku semakin sesak oleh detak
jantung yang menggebu. Aku semakin penasaran, aku segera mengenakan pakaian,
menguncir rambutku, dan bergegas keluar mencari mesin ATM.
“Tom... kamu
ngak bercanda kan?” balasku seraya berjalan menyusuri lorong dan menuruni
tangga. Angin malam yang dingin menandakan malam telah larut. Tak terdengar
lagi celotehan pria-pria yang biasa menghabiskan waktu bermain catur di lantai
satu.
‘Aku
lebih baik mati daripada menipu’ balasnya.
‘Oh
Tuhan... mungkinkah pria bernama Tomi ini malaikat penolong utusanmu’
Langkah
kakiku yang semakin bersemangat terus berjalan seiring dengan debar jantung.
Meski malam telah larut dan jam di handphoneku menunjukkan pukul 22:00, aku
tetap berjalan menuju sebuah minimarket yang berjarak 300 meter dari rumah
susun ini. Disana, ada sebuah ATM yang biasa kugunakan untuk menarik saldo
rekeningku.
“Selamat
datang di NewMart....” sapa seorang pramuniaga saat aku membuka pintu
kaca minimarket itu. Aku membalasnya dengan sebuah senyuman tanpa kata-kata.
Tidak enak juga rasanya jika aku datang ke minimarket ini tanpa membeli
sesuatu, namun jika Tomi berbohong maka aku harus menyiapkan muka tebal untuk
menahan malu karena berjalan keluar pintu kaca dengan tangan hampa.
Pip..pip..pip..pip..pip..pip
Kutekan enam
digit angka kombinasi, lalu menekan tombol untuk memulai pengecekan saldo.
Beberapa detik berlalu dengan kalimat yang memintaku untuk sabar menunggu
terpampang di layar ATM berwarna biru.
Mataku
benar-benar hampir melompat ketika melihat deretan angka yang seluruhnya
berjumlah delapan digit. Kakiku gemetar, aku sungguh sangat rapuh saat ini.
‘Tomi
pasti bercanda’ pikirku.
Bagaimana
mungkin ada orang yang berani meminjamkan uang lima puluh juta rupiah kepada
orang yang bahkan belum pernah ia temui. Kecuali ia seorang konglomerat kelas
atas tentunya, yang memiliki aset puluhan miliar, dan uang yang terus mengalir
tanpa bisa dibendung.
“Tom....
kamu bercanda ya? Bagaimana bisa aku ngembaliin uang lima puluh juta” balasku
pada Tomi.
‘Kalau
aku bercanda, pasti aku kirim lima puluh ribu ke rekening kamu Nay’ balasnya.
’Ya
tuhan….. apa sebenarnya rencanamu untuk diriku?’
Aku semakin
tak habis pikir. Untuk apa Tomi mempermainkan perasaanku seperti ini.
Di lain
sisi, hatiku kini bersorak karena masalah keuanganku telah terselesaikan. Tapi
bagaimana bisa? Apakah semudah ini? Mengapa kenyataan selalu berjalan dengan
cara yang tidak masuk akal?
Beberapa
detik berlalu, dengan aku yang masih menatap layar ATM dengan pandangan kosong.
Berkali-kali
aku mencubit pipi dan tangan sendiri, hanya untuk meyakinkan bahwa semua ini
nyata.
Sekali lagi,
aku meragukan diri sendiri. Aku mencubit begitu keras hingga meninggalkan rona
merah di punggung lenganku.
’Oke….
Ini nyata’
Tanpa banyak
berpikir, aku segera menarik uang sebanyak dua ratus ribu dari mesin ATM.
Aku sadar,
semakin banyak uang yang kugunakan, maka akan semakin sulit pula aku
mengembalikannya.
Aku kemudian
berjalan menuju deretan rak yang tertata rapi, mengambil sebuah surat kabar,
roti sobek dan sebotol teh rasa buah, lalu berjalan menuju kasir untuk membayar
belanjaanku.
Surat
kabar??
Rasanya aneh
juga, mengapa aku tiba-tiba tertarik membaca surat kabar. Padahal sebelumnya
aku tidak pernah peduli dengan apa yang terjadi di tengah masyarakat. Beberapa
saat aku berpikir untuk mengembalikan surat kabar itu ke tempat semula.
Sayangnya, sang kasir sudah terlanjur memindai barcode yang ditempelkan
pada plastik pembungkusnya.
“Semuanya
19.700 rupiah, ada lagi mbak?” tanya sang kasir.
“Sudah, itu
saja...” jawabku.
Kuserahkan
selembar uang kertas berwarna biru untuk membayar. Setelah mencetak struk,
kasir itu memberikan kantung plastik putih berlogo minimarket dengan
belanjaanku berada di dalamnya, dan uang kembalian yang diletakkan di atas
struk.
“Terima
kasih sudah berkunjung, selamat datang kembali” kasir itu mengucapkan terima kasih
dengan kedua tangan ia tangkupkan di depan dadanya.
“Sama-sama”
jawabku.
~Megatron21~
Aku kini
sudah kembali berada di dalam kamar. Menikmati roti sobek untuk mengganjal
perutku yang mulai lapar. Sebelumnya rasa lapar itu seakan bersembunyi ditelan
tekanan batin yang kualami. Namun begitu masalahku terselesaikan, rasa lapar
itu meraung keras.
“Tom... kamu
baik, terima kasih banyak bantuannya” kukirim sebuah SMS sebagai ucapan terima
kasih atas bantuan Tomi.
‘Sama-sama
Nay... aku senang kalau apa yang aku punya bisa bermanfaat untuk sahabatku’
Sahabat??
Aku
tersenyum-senyum sendiri di dalam kamar saat membaca pesan balasan dari Tomi.
Benarkah ia menganggapku sebagai sahabatnya? Seingatku aku tidak pernah
mendengar keluh kesahnya, atau pun membantu Tomi dalam sesuatu apapun. Ahh,
masa bodoh. Mungkin baginya, sahabat hanyalah teman ngobrol semata untuk
menghilangkan rasa bosan.
Dua jam aku
bercengkerama dengannya setelah itu. Membahas hal-hal tidak penting seperti,
apa makanan kesukaannya, dan juga hobi. Entah apa yang terjadi pada perasaanku
saat ini, aku begitu nyaman dengan kehadiran SMS yang dikirimkan Tomi sebagai
balasan percakapan kami.
‘ngomong-ngomong...
Kita belum pernah saling pandang, boleh ngak aku minta foto kamu? Kalau kamu
ngak keberatan tentunya...’
Wah…wah...
Tomi semakin agresif.
Aku
tersenyum lebar, geli karena membayangkan ekspresi Tomi saat mengirimkan SMS
itu. Kendati aku belum pernah menjalin sebuah hubungan, namun aku tahu pasti
seperti apa raut wajah pria saat otak mereka dipenuhi dengan pikiran kotor.
Aku lalu
berpikir foto seperti apa yang akan kukirimkan padanya.
“Aku ini
jelek loh... nanti kamu menyesal?” balasku.
‘Ngak ada
kata menyesal buatku. Cowo itu ngak boleh menarik kembali ucapannya’.
‘Hmm...okay....
anggap ini sebagai ucapan terima kasih’ batinku.
Aku mulai
berpikir nakal, mungkin aku bisa memberikan sebuah foto yang sedikit sexy
sebagai balasan untuk bantuan yang telah ia berikan. Senyum lebar mengembang di
bibirku.
Aku
menggerai rambutku yang sebelumnya kuikat kuncir kuda.
Rambut hitam
berkilau kini menjadi mahkota indah yang tergerai menutupi bahuku.
Dua buah
kancing kemeja paling atas sudah kubuka lalu kusibakkan kemeja itu ke samping agar
memperlihatkan sedikit belahan dadaku.
’Kurasa
cukup’
Kamera
handphone sudah mengarah kepadaku.
Aku mencoba
menyuguhkan senyum paling manis yang bisa kubuat sebelum menekan tombol untuk
mengambil gambar.
BRAK.............
Aku
tersentak kaget sehingga tanganku berguncang. Sebuah suara memekakkan terdengar
dari balik tembok. Di sana adalah kamar Bu Shinta dan anak-anaknya.
‘ada apa
ya?’ tanyaku dalam hati. Sesaat, kurasakan jantungku berdegup kencang.
Aku tak
berpikir yang macam-macam. Mungkin hanya sebuah benda yang jatuh karena
tersenggol.
Aku mengecek
hasil foto itu.
Hasil
fotonya buram, mungkin karena guncangan pada tanganku. Hasil foto yang buram
dan tidak fokus memaksaku untuk berpose ulang.
Kembali
kuarahkan kamera handphone itu, lalu menekan tombol bundar di bawah layar.
Cekreek.. handphoneku berbunyi. Tanda bahwa pengambilan gambar telah sukses.
Aku
memandang sejenak ke arah foto itu, foto yang memperlihatkan seorang gadis
dengan senyuman indah di dalam sebuah kamar sumpek dan suram. Kali ini
gambarnya sudah cukup jelas memperlihatkan siapa aku, lengkap dengan belahan
dada menggoda yang sengaja kuperlihatkan.
Tanpa menunggu
berlama-lama kukirimkan foto itu pada Tomi melalui MMS.
‘Wah...
kamu cantik banget Nay... serius ini foto kamu? Bukan ngambil di google
kan?’ tanya Tomi.
“Ihhh jahat,
itu beneran foto aku... Sekarang, kirimin foto kamu dong supaya kita saling
kenal” balasku.
Aku jadi
semakin penasaran, kira-kira seperti apa ya wajah Tomi.
Isi MMS itu
seharusnya adalah foto Tomi. Aku membuka MMS itu dan mendapati foto seorang
pria tampan dengan senyum tipis disana. Ia mengenakan sebuah kemeja bergaya
santai yang sangat cocok jika dipadukan dengan tatanan rambutnya yang sedikit berantakan
namun menawan.
Namun, saat
aku mengamati foto itu dengan seksama, aku mengerutkan dahi.
Tomi sedang
berada di dalam sebuah kamar yang cukup suram dengan cat dinding yang
mengelupas dan hanya sedikit perabotan yang terlihat di sana.
Beberapa
detik berlalu, aku masih tidak menyadari apa-apa. Namun begitu memandang ke
balik punggungku, rasa dingin tiba-tiba menjalar di pundakku. Kamar tempat Tomi
berfoto, sangat mirip dengan kamarku.
“Tom jangan
main-main ahh... itu kan kamarku?” balasku pada Tomi. Aku mengerutkan dahi
sejenak, mencoba menerka apa maksud Tomi mempermainkan aku. Oke, kamar seperti
ini mungkin banyak yang menyamai. Sejenak aku berpikir, mungkinkah Tomi juga
tinggal di rumah susun ini sama seperti aku.
‘Masa sih
kamu ngak sadar? Aku ada di samping kamu...’
Deg....Deg....Deg....
Darah di
nadiku berdesir cepat, membuat tubuhku seakan tersedot dalam pusaran
halusinasi. Setelah aku mengamati kembali foto yang dikirimkan Tomi padaku, aku
baru menyadari bahwa tempat itu memang kamarku. Retakan di dinding, letak cat
yang mengelupas, semuanya sama persis.
Wajahku
pucat pasi.
Tanganku
bergidik gemetar memegang handphone ini hingga aku tak sanggup berkata-kata.
’Please,
jangan bilang bahwa Tomi serius mengirim sms ini.’
Seketika,
insting membuat kepalaku menoleh ke kanan dan ke kiri.
Aku mulai
gugup. Aku tidak ingin mempercayai perkataan Tomi, tapi ketakutan yang sudah
menyelimutiku semakin kuat. Aku meringkuk dan memeluk lutut di atas ranjang.
“Tom... janhan
berbanda deh, aku rendirian nih... Jangan buav aku takut” balasku padanya.
Jemari yang bergetar hebat membuat beberapa kesalahan saat aku mengetik di
papan keypad dengan dua belas tombol yang tersemat di bawah layar handphoneku.
Tok....tok....tok.....
Suara pintu masuk
yang diketuk benar-benar membuatku kehabisan napas seketika.
Nyaris saja
aku terjerembab ke lantai karena terperanjat, namun dengan sigap aku menemukan
keseimbangan sehingga tubuhku jatuh dengan perlahan. Tangan kiriku yang
mendekap dada, kini merasakan dengan jelas debar jantungku yang terpacu. Hormon
adrenalin yang mengalir melewati pembuluh darahku kini membuatku tak dapat
menghalau kesadaran yang tetap terjaga.
Handphone
yang kugenggam dengan tangan kananku tiba-tiba berbunyi dan bergetar.
Sontak aku
segera melemparkannya ke ranjang dan bersimpuh seraya merangkak mundur di lantai.
Deg...Deg...Deg...
Kutatap
lampu LED berwarna merah yang berkedip di sudut handphone. Menandakan sebuah
SMS baru saja masuk ke dalam list unread message.
Glek.... aku menelan ludah.
Kukepalkan
sejenak jemari tanganku untuk menghilangkan rasa gentar dan gemetar.
Perlahan,
kuraih handphone itu dan kubuka layar model clamshellnya.
SMS dari
Tomi. Wajahku kembali memucat.
Aku masih
belum berani untuk membaca isi SMS itu. aku tak ingin lagi dirundung sebuah
ketakutan tak mendasar hanya karena sebuah foto yang sesungguhnya jauh dari
kata menakutkan.
Tok...tok...tok... pintu kamarku kembali diketuk.
Bibirku gemetar,
ingin sekali aku meraung dalam tangis. Mataku berkaca-kaca, air mata itu mulai
mengalir di pipiku.
Dingin,
lantai berdebu ini sungguh bersekongkol untuk menyiksaku.
Aku kini
kembali terdiam bersimpuh sambil memandang ke arah pintu masuk. Pandanganku
buram, bayangan di sana mulai dibiaskan oleh air mata yang berlinang.
Handphone
yang kugenggam kembali berbunyi.
Aku sudah
tidak sabar lagi, baru berjalan dua menit namun aku sudah muak dengan semua
ini.
Kulempar
handphoneku dengan kasar ke arah ranjang. Ia terpental sejenak dari kasur,
menabrak tas punggung hitam milikku, dan jatuh di atas bantal.
~~Bersambung~~
Satu Dunia, Beratus Kisah, Beribu Cerita
Megatron21story
Satu Dunia, Beratus Kisah, Beribu Cerita
Megatron21story

0 komentar:
Posting Komentar
Jangan cuma baca aja, komen dong.