Tampilkan postingan dengan label cerita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerita. Tampilkan semua postingan

Hope - Bab 1 [ESCAPE]



Satu Dunia, Beratus Kisah, Beribu Cerita
Megatron21story






~~**Hope**~~



BAB 1
ESCAPE




Perjalanan Tomi sudah dimulai.
Tak butuh waktu lama hingga kabar mengenai kebakaran yang terjadi di rumahnya tersiar di TV. Ia mendengar sekilas siaran itu ketika sedang duduk menanti kedatangan kereta yang akan membawanya pergi menjauh.


Ia kini sedang berada di dalam gerbong kereta yang melaju.
Tomi membeli tiket ke tujuan paling jauh yang dapat ia temukan di stasiun terdekat.


Dalam hatinya ia senang, dapat membalaskan dendam kepada orang yang sudah membunuh ayahandanya tercinta. Namun kenyataan bahwa ia tak mengetahui di mana ayahnya dimakamkan membuatnya gundah.


Ia menghela napas panjang. ‘Naya pasti udah ngurus semuanya’ pikirnya.
Satu persatu stasiun ia lewati menjauhi ibukota. Ruang gerbong yang tadinya sesak dijejali ratusan orang, kini perlahan mulai lengang. Hanya beberapa orang yang terlihat bersamanya di gerbong itu. seorang pedagang buah yang tertidur, pekerja kantoran, dan yang lain sepertinya anak kuliahan.


Ia melongok keluar jendela, mencoba mengusir rasa bosan.
Pemandangan lahan persawahan yang baru ditanami padi menyejukkan matanya sesaat. Lokomotif kereta berwarna putih itu terlihat di ujung rangkaian. Mengepulkan asap putih yang membumbung diiringi bunyi menderu.


Enam jam berlalu. Ia kini menjejakkan langkah pertamanya di stasiun tempat kereta itu berhenti. Entah di mana ia sekarang, ia sama sekali tak mengetahui apapun tentang kota tempatnya berpijak.


Ia sudah mematikan telepon selulernya. Menghindari kemungkinan jika polisi melacak signal.
‘Moga-moga Naya baik-baik aja...’ kalimat itu entah sudah berapa kali melintas di pikirannya.


Tak banyak uangnya yang tersisa, sepertinya ia harus berusaha keras untuk menghidupi dirinya selama dalam pelarian ini.
“Heeeeehhh....” ia menghela nafas panjang.
‘Oke.... harus kemana sekarang?’ batinnya berbicara.


Tak punya arah tujuan, ia tak boleh menampakkan diri di depan orang yang ia kenal. Terlalu beresiko jika sampai keberadaannya diketahui, walaupun oleh saudaranya sekalipun.


Karena itulah ia memilih kota ini sebagai tempatnya melarikan diri. Alih-alih ada yang mengenalnya, seingatnya ia tak mempunyai saudara maupun teman di kota ini.
Kruyuuuukkkk......
Perutnya mulai meronta, menagih makanan.


Tomi memegang perutnya sesaat dengan tangan kirinya. Sepertinya makan adalah pilihan yang bagus. Ia telah menetapkan pilihan.


Tak sulit menemukan tempat makan di daerah stasiun tersebut. Namun mengingat uang yang dimilikinya sangat terbatas, maka mau tak mau ia harus berusaha hidup sangat-sangat sederhana.


Tak mudah memang bagi seorang anak muda seperti Tomi, yang terbiasa hidup bergelimang harta, yang setiap kebutuhannya pasti ada yang melayani. Kini ia harus berjuang sendiri, syukurlah ia bukan tipikal anak yang manja. Sedikit banyak ia tahu bagaimana harus bertahan hidup.


Ia melangkahkan kakinya menuju warung nasi terdekat.
‘Rame juga... mungkin harganya murah’ pikirnya. Ia segera masuk ke dalam.


“Makan mas??” tanya seorang ibu.
“Iya bu.... pakai telor dadar sama sayur aja bu, minumnya air putih...” jawab Tomi.


Tak lama hidangan yang ia pesan kini tersaji di piring putih yang ia terima dari ibu penjaga warung.
‘Heeeehhh.... sabar-sabar.... emang uda takdirnya begini kok....’ gumam Tomi dalam hati.
Ia mulai menyendok makanan itu. Terasa sedikit hambar di lidahnya, mungkin karena ia belum pernah makan sesederhana itu.


“Anak kuliahan ya mas??” pertanyaan sang ibu penjaga warung mengagetkan lamunannya.
“Hah?”
“Pesanannya Cuma telor dadar sih... pasti mahasiswa ya?”
“Ohhh... iya bu..” jawab Tomi sekenanya.
“Kuliah di mana?”
“Eeemmm......” Tomi sedikit gugup menjawab pertanyaan itu, mengingat ia tak tau apa-apa tentang kota itu.
               

“Saya.... masih nyari-nyari bu.... ini hari pertama saya di sini, perantauan....”
“Ohhh.... sebelumnya tinggal di mana?”
“Ahahaa... jauh bu dari sini.... enam jam naik kereta...”
“Ooo.... kok bisa-bisanya nyasar ke sini?.... orang tuamu tahu?”
“Ngak tau bu... orang tua saya udah ngak ada... karena di tempat asal saya biaya hidup mahal, ya saya putuskan pindah.... nyoba-nyoba cari rejeki...”
“Trus.. disini tinggal di mana?”


Tomi hanya menggelengkan kepala sambil mengunyah makananya.
“Belom tau bu.... saya ga punya uang....”
“Ya allah dek..... kok nekat sekali....”
“Namanya juga merantau bu, musti nekat, kalo ngak, gak bisa makan...”
“Udah dapet kerja?”
Tomi menggeleng.


Ibu penjaga warung juga ikut menggelengkan kepalanya.
“Dasar anak muda jaman sekarang... nekat semua.... kamu lulusan apa?”
“Sarjana teknik bu... S1......”
“Waduh.... pendidikannya udah tinggi to.... trus kenapa mau kuliah lagi”


‘Siall........... salah ngomong gua......’ batin Tomi.
“Yah.... kali aja bisa ngejar S2 bu... siapa tau masa depan saya jadi lebih terjamin...”
“Ck ck ck..... yawdah habisin dulu makananmu....”


Sang ibu penjaga warung itu meraih telepon genggamnya.
“Mase.... jek enek lowongan pora? Iki ono cah perantau golek kerjo.....” ucapnya lewat telepon.
Tomi tak mengerti apa yang dibicarakannya, ia terus menyendoki nasi yang tinggal separuh di piringnya itu.


“S1 teknik jare...piye”
‘Lha kok bawa2 S1?’ Tomi mulai penasaran.
“yowes tak kandani.....”


Ibu penjaga warung itu menyudahi percakapannya di telepon.
“Dek.... kamu beneran sarjana teknik?”
Tomi mengangguk.
“Gini dek.... suami ibu kan punya bengkel.. yahh bukan bengkel gede si.. kamu mau gak kerja disana?”
“Ahh serius bu?”
“Yo serius.... masak bercanda.....”


Tomi terdiam sejenak. Tawaran dari ibu itu sungguh menggiurkan, namun ia khawatir jika ia bekerja maka ia harus tinggal menetap. Itu bukanlah misinya.


Misinya saat ini adalah menghilangkan jejak. Tidak boleh ada informasi, tidak boleh ada bekas.
“Bu... maaf ini sebelumnya, ibu kan baru kenal saya.... saya takutnya mengecewakan.. makasih banyak bu tawarannya, saya pikir-pikir dulu....”
“Jadi anak muda itu ndak boleh mikir terlalu panjang dek... jaman saiki cari duit susah.... ya gak apa-apa sih dek... pesen ibu, kamu jangan nunda-nunda... kalok udah yakin, udah mantep.... kamu dateng lagi kesini....”
Tomi tersenyum dan mengangguk.


Tuhan memang tak pernah tidur.
Ia akan selalu mengawasi setiap insan di dunia ini. Memberi karunia bagi dia yang baik dan memberi ganjaran bagi ia yang jahat.


‘Tapi gue ini udah jadi pembunuh.... emang pantes gue dapat belas kasihan dari tuhan?’
Tomi sedang mengutuki dirinya sendiri saat ini. Menjadi pembunuh memang merupakan pilihannya beberapa hari lalu. Dan kini ia harus siap menerima resiko akan ganjaran apapun yang akan ia terima.


Seusai makan ia kembali berjalan, menyusuri jalan-jalan di kota baru itu.
Cukup jauh ia berjalan. Ia kini tergoda untuk menelepon kakaknya Naya. Menanyakan tentang kabar kakaknya tercinta. Namun ia cukup dapat mengontrol diri untuk mengabaikan hasratnya itu.


Langit kini mendung. Cuaca mulai berubah tidak bersahabat.
Rintik hujan mulai turun, membasahi  jalan-jalan yang ia lalui.


Ia berteduh di sebuah pelataran toko buku. Ia berjongkok sejenak melepaskan rasa lelah yang diderita kedua kakinya. Butir-butir air yang jatuh itu terciprat tak tentu arah.
Debu-debu yang tadinya beterbangan kini telah melekat di tanah. Udara berubah menjadi sejuk.


‘Sekarang gue mesti tidur di mana dong.....?’ pikirnya.
Pertanyaan mendasar bagi seorang pelarian seperti dirinya.


Hujan kembali reda, jam tangan yang dikenakannya kini menunjukkan pukul empat sore. Ia harus cepat menemukan tempat bermalam.


‘Tapi dimana..?? aduh kakak.... sengsara banget hidup gue sekarang....’
Kenyataan kontras itu harus ia telan bulat-bulat. Menyadari bahwa kakaknya kini sedang berada di kamar hotel yang nyaman dengan segala fasilitas. Sedangkan dirinya harus hidup dalam pelarian, dengan uang yang terbatas, tanpa bekal, tanpa tempat tinggal.


Sesungguhnya Tomi masih memiliki banyak uang di rekening tabungannya, mungkin cukup untuk membeli rumah di daerah pinggiran kota. Namun apa daya, jika ia mengambil uangnya polisi akan tahu di mana ia berada dan tak lama ia akan segera ditangkap.


Membayangkan menerima vonis 10 tahun penjara sudah cukup membuat Tomi gentar. Kartu ATM berwarna kuning itu tetap terselip rapi tak tersentuh di dalam dompetnya.


Ia kembali menyusuri jalan-jalan becek, mencari tempat bermalam.
Menginap di penginapan saat ini bukanlah sebuah pilihan yang pintar, itu akan menghabiskan banyak uang. Jika ia memaksakan diri, maka ia hanya akan mampu bertahan hidup dalam jangka waktu empat hari saja. Pilihan yang sulit.


Satu jam sudah ia berjalan, kini jam tangannya menunjukkan pukul lima sore.
Matahari sudah sangat condong ke ufuk barat, menandakan sebentar lagi akan kembali ke peraduannya. Langit sore berwarna jingga temaram itu menemani langkahnya.


Akhirnya ia berhenti berjalan setelah sekian lama.
Ia kini duduk termenung di bawah jembatan penyeberangan. Tomi mengambil tempat duduk di bawah anak tangga menuju ke atas, berpaling sejenak dari dunia ini, mencari kesendirian.
Ia memutuskan untuk bermalam di tempat itu malam ini.

               
Hari berganti malam. Jalan-jalan yang tadinya ramai kini berubah hening. Tak banyak lagi orang melintas, hanya sesekali saja ia melihat siluet lampu mobil yang melaju di jalan raya.
Bunyi jangkrik terdengar di sana sini. Membuat pikirannya yang kalut sedikit teduh.


Tempat ini berbeda sekali dengan kota tempat tinggalnya dulu.
Ia masih bisa mengingat jelas, di kota tempat tinggalnya dahulu saat seperti ini tak ada bedanya dengan siang hari. Banyak sekali orang berlalu lalang. Dunia seakan tak pernah tidur. Terus berceloteh tanpa henti.


Kantuk mulai menyerangnya. Rasa lelah yang menumpuk kini telah menjalar dalam aliran darahnya. Matanya mulai sayu, kelopak mata itu terasa begitu berat.
Ia duduk meringkuk sambil memeluk tas hitamnya untuk menghangatkan diri.
Matanya kini terpejam.



~Megatron21~



“WOOOYY.... BANGUN..........”
Teriakan itu memekakkan telinganya. Sesaat kemudian ia merasa lengannya ditarik untuk dipaksa berdiri.


Tomi mengejapkan matanya, berusaha mencerna apa yang ia lihat.
Berdiri di sana, dua orang pemuda bertampang sangar dengan setelan khas anak punk.


“ANAK MANA LOO.....”
“Ada apaan nih bang??”
“BANYAK TANYA LO... JAWAB PERTANYAAN GUA... ANAK MANA LOO.....”
               

‘Halaaahhh... ni anak punk pake acara cari gara-gara sama gua..... bangsat..’ batinnya.
Ia menatap tajam kearah mata pemuda yang berbicara dengannya.
“Apa urusannya sama lo?” tanya Tomi dengan nada sinis.


Tiba-tiba sebuah tangan mendorong kepalanya dari belakang. Tomi yang belum juga terbebas dari rasa kantuk hampir saja jatuh terhuyung ke depan.
Tubuhnya yang terhuyung ditangkap oleh tangan-tangan kasar yang kini mencengkeram bahunya.
“OOOHHH...........” pemuda yang mencengkeramnya berbicara.
“Jadi lu mau cari gara-gara sama gua?.....LOO GA TAU GUA INI SIAPA????”


‘Idih... ada gitu ya orang tolol kayak gini... yang cari gara-gara itu kan dia.... trus, dia pikir dirinya artis? Selebritis? yang dikenal semua orang?... cuih....’ batin Tomi.
“Gua ga ada urusan sama lu pada.... lepasin sekarang atau...”


“ATAU APAA???????? LO MAU KITA HAJAR........” pemuda yang mencengkeram bahunya kembali berteriak.
“Udah lah bos... kita abisin aja sekarang.....” pemuda yang satu lagi berbicara.


Tomi belum sempat melihat wajah pemuda yang satu lagi karena ia berdiri membelakangi pemuda itu.
“Mana dompet lu? Kasi ke gua.......” pemuda di depan Tomi berbicara.


Tomi menepis kedua tangan yang mencengkeramnya itu kuat-kuat. Kini tubuhnya sudah bebas.
“Coba aja ambil dari gua kalo lo bisa....” ucap Tomi.
“BANGSATTTTTTTT........”


Sebuah pukulan melesat ke arah wajah Tomi. Keadaan seperti ini sudah berulang kali ia alami dalam pertandingan karate. Dengan mudah ia mengelak ke kanan.
               
               
Tappp.....
Dengan tangan kirinya Tomi mencengkeram pergelangan tangan yang melesat ke arah wajahnya, lalu dengan tangan kanannya yang sudah terkepal ia meninju wajah pemuda itu tepat di pelipisnya.


Duuuugg....
Hantaman itu tepat bersarang di wajah pemuda yang sekoyong-koyong terhuyung dan tersungkur di tanah. Pemuda dengan rambut jabrik berwarna-warni itu tampak berjengit. Ia mengelap sedikit tetesan darah dari bibirnya yang terluka akibat pukulan dari Tomi.


“ANJIIINGGG......” pemuda di belakangnya mengumpat dan melayangkan pukulan hook ke arah kepala Tomi.


Hampir saja ia telak terkena, karena pukulan itu dilancarkan dari titik buta matanya.
Namun refleksnya cukup baik. Ia cukup bisa menerka apa yang akan dilakukan oleh pemuda itu, sehingga Tomi dapat menghindar dengan menundukkan tubuhnya.


Kepalan itu melintas di atas kepalanya. Tomi hanya tersenyum dan membalikkan tubuh menghadap ke arah pemuda itu.
Kini dengan tangan kanan Tomi, ia memukul perut pemuda itu keras-keras.

Buuugggg.........
“Aaaaaaakkkhh.....” pemuda itu memekik ketika tubuhnya terlonjak beberapa senti ke udara.
Sekali lagi Tomi melancarkan tinjunya yang kini tepat bersarang di rahang bawah pemuda itu.


Buuuuggghh....
Wajah pemuda itu terdongak keatas. Hanya seper sekian detik setelahnya, pemuda itu jatuh terjengkang sambil memegangi rahangnya yang terasa berdenyut-denyut.
Pemuda yang pertama jatuh kini sudah kembali berdiri. Ia mengeluarkan sebilah pisau kecil dari pinggangnya. Pisau kecil itu mulai ia sabetkan ke arah Tomi dengan liar.


Tomi mengelak dengan memundurkan tubuhnya satu langkah. Leher dan perut yang menjadi sasaran sabetan pisau itu nampak bergerak lincah menghindari lengan sang pemuda yang memegang pisau.
               

Jarak antara ia dan lawannya kini terlalu jauh untuk ia jangkau dengan kepalan tangannya.
Tomi mengambil kuda-kuda untuk mulai menyerang. Kali ini kakinya melesat cepat melewati lengan pemuda yang menggenggam pisau itu.


Duuuaaaggghhhh......
Tendangan itu tepat mengenai wajah sang pemuda, dan mematahkan hidungnya.


“Aaaadoooww.... Aaarrghh....”
Pemuda itu meringis kesakitan sambil memegang wajahnya yang berlumuran darah.
Pisau kecil itu terjatuh dari tangannya. Tomi segera memungutnya dan berlari menjauh meninggalkan kedua preman kampung yang kini terkapar kesakitan.


Derap langkahnya bergema di tembok yang ia lalui.
“Hoshh....hosshh...hoshhh...” nafasnya terengah-engah. Namun ia tak berhenti berlari.


Stamina yang belum juga pulih menyebabkan Tomi tak bisa berlari terlalu jauh. Ia kini kehabisan napas. Ia tertunduk, menyandarkan dirinya di sebuah tembok dengan tangan kirinya sambil memegang dadanya dengan tangan yang lain.


Klontang.... Pluk...
Pisau kecil yang tadi ia bawa kini ia lemparkan ke dalam selokan.
Ia tak butuh benda seperti itu untuk mempertahankan diri.


Cahaya keemasan mulai nampak di ufuk timur, tanda bahwa sang fajar akan segera menemani harinya. Tak terhitung sudah berapa lama Tomi berjalan menjauh dari insiden itu. lututnya kini mulai kram. Ngilu sekali rasanya, ia bahkan sudah tak bisa lagi membedakan yang mana telapak kakinya dan yang mana sol sepatu. Seakan keduanya telah menyatu.


Di sebuah warung rokok kecil pinggir jalan ia menghentikan langkahnya.
Tomi terlihat masih megap-megap menggapai napas. Ia memandang ke sekeliling, dan menemukan seorang pemuda di sana.


Terlihat pemuda pemilik warung itu sedang membereskan dagangannya. Pemuda itu balik memandang ke arah Tomi.
“Lari pagi kok subuh-subuh gini mas....” tanya pemilik warung itu.
“Hahaha.... ngak mas... tadi abis berantem sama preman....”
“Wooooo..... hati-hati mas kalo di daerah sini malem-malem... kamu bukan orang sini ya?”
“Iya.... mas aku beli roti sama aqua gelas mas.....”
“Tuh pilih aja rotinya... itu roti kemaren lho tapinya, jadi pilih yang bener, jangan yang udah berjamur....”
               

‘Ehhh buset..... udah abis berantem, kebagiannya roti sisa kemaren???’
Tomi melongok dan mulai memilah roti di keranjang itu dengan sebelah tangan. Pilihannya jatuh pada sebuah roti isi coklat. Tak apalah, pikirnya. Setidaknya, sang penjaga warung sudah dengan jujur memperingatkan dirinya untuk memilih dengan baik.
“Ini aja mas.... sama aqua gelas.. jadi berapa?”
“Seribu limaratus....”
               

Tomi merogoh kantung celananya mencari selembar uang pecahan dua ribu rupiah untuk membayar roti itu.
“Ini mas... aku ambil aquanya satu lagi deh biar pas....”
“Yowes.... makasi ya..”


Tomi mengambil dua buah air minum gelas di dalam box es batu berwarna merah. Ia kini duduk di trotoar jalan sambil menikmati sarapannya.
Tidak terbayang sama sekali, hidupnya akan senaas ini. Biasanya, ia tinggal menyantap makanan yang terhidang rapi di meja ruang makan rumahnya, tapi kali ini ia bahkan harus menyantap roti sisa kemarin yang rasanya sudah agak tengik. Kasihan, tapi mau bagaimana lagi? Toh dia tak punya pilihan.


Terlihat di kejauhan cahaya emas menyilaukan mulai nampak di ujung jalan yang mengarah ke timur. Sang fajar sudah kembali. Langit biru gelap yang tadinya mendominasi, kini telah berganti dengan langit biru cerah. Di sisi yang lain, bulan yang tadinya terang benderang kini mulai memudar.


Hheeeeehhh...”
Tomi kembali menghela nafas panjang untuk kesekian kalinya. Mulutnya masih penuh dengan roti yang sedari tadi ia kunyah. Kerongkongannya tak kuasa menelan makanan itu.


Ngak enaaaakkk.....’ begitu umpatnya dalam hati.
Tapi apa mau dimuntahkan?? Tidak kan. Itulah kenyataan.


Tidak selamanya orang akan berada di atas. Ada kalanya seseorang harus menelan pil pahit dan asam garam kehidupan.
Entah sampai kapan, Tomi tak mampu menjawabnya.
Yang pasti, ia harus tetap bertahan. Setidaknya, ia dapat mengambil sebuah hikmah yang teramat penting. Karena dari perjalanan penuh cobaan, ia akan menjadi pribadi yang lebih dewasa, lebih siap menghadapi kerasnya dunia.


Dendam yang terbalas kini menyisakan ganjaran penderitaan yang harus ia jalani.
Suka atau tidak suka bukanlah pilihan, karena mau tidak mau ia harus menyukainya.


Pilihannya saat ini hanyalah bebas tapi menderita, atau terpenjara dan menderita.
Kalau pembaca jadi Tomi...... anda mau pilih yang mana????




~~Bersambung~~
HOPE – BAB 1 END





Satu Dunia, Beratus Kisah, Beribu Cerita

Megatron21story

Hope - Prolog

Satu Dunia, Beratus Kisah, Beribu Cerita
Megatron21story





~**Hope**~

PROLOG





Seakan tak ada tanah untuk dipijak, tak ada udara untuk dihirup.
Nyawa, entah apa yang masih menahannya melekat pada tubuhnya. Secercah harapankah? Sayangnya bukan itu yang terbesit dalam pikiran seorang pemuda, yang saat ini duduk termenung.


Matahari terik mempertontonkan kegagahannya menyinari jalan-jalan di antara tingginya gedung yang menjulang. Tembok abu-abu pekat itu kini menggantikan rimbunnya pepohonan hijau yang dulu sempat ada di tanah ini. Rerumputan beraroma khas telah berganti menjadi aspal hitam sejauh mata memandang.


Yah… apa mau dikata. Kota ini sudah dikuasai oleh orang-orang berkantung tebal. Entah sampai kapan mereka baru puas menyingkirkan warna hijau dari tempat yang dulunya dikenal sebagai lembah yang subur itu.


Sungai yang mengalir beriak, kini telah berubah menjadi kubangan hitam tak mengalir.
Ironis memang, perubahan besar itu diperuntukkan demi kenyamanan penduduk kota yang bergelimang harta. Namun, apa nyamannya hidup dengan pemandangan abu-abu setiap kali kau mengejapkan mata?.


Tomi hanya bisa menggelengkan kepalanya. Ia duduk di bawah naungan bayang-bayang jembatan penyeberangan. Kepada siapa ia bisa mengeluh? Ia hanya seorang rakyat jelata di mata para konglomerat itu.


Angin bertiup, menerbangkan debu pekat ke arah orang-orang yang berlalu lalang. Hanya sedikit dari mereka yang tak mengenakan menutup hidung dan mulut berwarna putih. Yah…. Tomi adalah salah satu dari sedikit orang tersebut.


Tomi masih menikmati sepotong roti yang digenggamnya, sekalipun debu yang beterbangan itu tak sedikit yang hinggap pada roti itu.
‘Gak ada bedanya’, pikir Tomi. Toh ia mendapatkan roti itu dengan memungutnya dari tempat sampah. Well… kamu tidak salah baca kok. Tomi memang memungut roti yang dibuang oleh seorang anak ke tempat sampah di samping tempatnya duduk.


Sorot mata penuh rasa jijik tak hentinya memandang Tomi. Pemuda setinggi 180cm itu benar-benar kumal. Yang ia kenakan di badannya hampir tak dapat disebut sebagai sebuah pakaian. Kaus putih itu telah terkena banyak sekali noda sehingga warnanya berubah menjadi cokelat tua keabu-abuan.


Mungkin hanya nasib yang bisa menjawab. Mengapa seorang sarjana teknik seperti dirinya harus berkubang pada hidup yang serba kekurangan. Hanya sebuah telepon selulerlah harta satu-satunya. Ia tak punya uang sepeser pun, tak punya tempat berteduh, tak punya arah tujuan, tak punya teman… yah setidaknya sampai dua bulan yang lalu.



~Megatron21~



Dua bulan lalu.....


Matahari sudah kembali ke peraduannya tiga jam lalu. Kini udara dingin malam sudah merebak. Kegelapan menyelimuti langit malam yang bertabur bintang.
Malam itu sungguh cerah, dengan bulan sabit yang bersinar temaram.
Terlihat di sana, sesosok pemuda sedang menghisap rokok di pelataran sebuah mall. Ia sendirian, hanya berteman telepon seluler yang sedari tadi digenggamnya. Ya, pemuda itu adalah Tomi.


“Tom… makan dulu yuk sebelum pulang” seorang gadis berparas cantik itu menyapa Tomi dengan akrab ketika ia melangkah mendekati pemuda itu.
“Telat lu… gue uda makan tadi sama Soni...”jawabnya.
“Hmm…. Awas tu anak. Mentang-mentang gw telat sebentar udah ditinggal makan. Ayo dong… temenin gue makan…”
“Yaudah.. tapi gw gak makan, cuma nemenin lu doang…”
“Hehehe….. yawdah gapapa..”


Gadis ceria itu melambaikan tangannya sejenak. Tak lama seorang pelayan restoran menghampiri mereka dan menyerahkan selembar kertas beserta alat tulis.
Sang gadis menandai beberapa menu yang ada di secarik kertas itu kemudian menyerahkannya kembali kepada sang pelayan.
Nama gadis berparas babyface itu adalah Desi. Ia dulunya adalah teman sekampus dengan Tomi. Sedikit dari para mahasiswa yang merasa dirinya pantas bergaul dengan sang pangeran.


“Si Soni kemana?” tanya Desi saat sang pelayan restoran pergi menjauh.
“Uda pulang, tadi cewenya BBM… paling-paling ngajakin check-in”
“Hooooo….. emang dasar muka mesum tu anak… dikasi lobang sedikit aja langsung di samber”
“Lha…. Namanya juga Soni… kalo gak begitu namanya berubah jadi Sonia”


Desi tertawa kecil. Mendengar lelucon yang sebenarnya sudah tidak begitu lucu.
“Kirain lu ikut sama dia Tom….”
“Ngapain? Mau ikutan threesome? Sama cewe cablak itu? Idih… sorry”
“Emang ga cape nungguin gue?”
“Ya cape lah…. Tapi ya masa mau ditinggal… ntar lu pulang naek apaan?”
“Uhhh so sweet…. Kirain tega ninggalin gue…” ucap gadis itu seraya mencubit pinggang Tomi.


“Kata siapa ga tega…?” bantah Tomi.
“Ohh jadi lu tega? Jahat banget si…….” Sang gadis yang sebelumnya sempat tersipu malu, kini berubah cemberut begitu cepat. Ia memajukan bibir bawahnya dan menyilangkan tangan di bawah kedua payudara besar yang nampak ingin melompat keluar dari celah busananya
“Hehehh… asal ada imbalannya…..”
“Dasar omes….. sama aja lu kayak Soni... iya-iya… ngerti gue….hihihi”


Setengah jam berlalu, sebuah piring makan datar berwarna putih tergeletak di meja. Gadis itu menyisakan beberapa potong kentang goreng yang tak dimakannya.
Mereka bangkit dan mengambil barang bawaan masing-masing kemudian berjalan ke arah lahan parkir mobil, gadis itu menggandeng tangan Tomi bak seorang pasangan yang dimabuk cinta.


Sayangnya cinta sama sekali tak terbesit dalam pikiran mereka. Yang ada hanya nafsu yang memburu. Hanya birahi yang memuncak. Efek dari hormon libido yang telah bergejolak dalam nadi mereka
.

Mobil BMW silver yang di kendarai Tomi melaju. Menembus kemacetan yang nyaris tak terurai. Dua orang polisi cepek berteriak bersahutan, membukakan jalan bagi siapa pun yang bersedia memberi mereka selembar uang.


Tak terkecuali Tomi. Ia membuka sedikit jendela mobil yang ia kendarai dan menyerahkan selembar uang kertas berwarna hijau kepada mereka agar ia dapat lepas dari jerat kemacetan itu.


Tak lama mobil yang ia pacu telah menggulirkan rodanya di jalan bebas hambatan.
“Des… ayo dong dimulai shownya….”
“Sekarang… ihh ga sabaran banget si say…..”


Dalam kabin mobil tertutup itu, Desi mulai mengubah posisi duduknya.
Bangku kedua di bagian depan itu ia mundurkan beberapa senti untuk memperluas ruang geraknya.
Lalu ia mulai membuka kancing kemejanya satu persatu.
“Kalo disini kan ga bisa full job say….” Ujar Desi.
“Yah…. Pemanasan dulu gapapa lah….”
               

Kemeja oranye itu telah terbuka sepenuhnya, namun Desi tak melepaskan semuanya. Hanya memperlihatkan dua buah payudara besar yang mengacung seakan menantang.
Tomi menjulurkan tangan kirinya menggapai kedua bongkahan daging kenyal itu dan mulai merabanya.


“Remes dikit dong say…. Biar tambah enak nih…”
Sorot mata Tomi tetap terpaku lurus ke depan, namun jemari tangannya telah menyelusup dibalik bra berenda yang dikenakan oleh Desi.
Mobil itu kini melaju pelan di lajur paling kiri. Dua ratus meter di depannya terlihat sebuah truk kontainer yang juga berjalan sama pelannya.


“Mmmhhh…. Toket lu makin lama kok makin gede Des….” Ucap Tomi seraya memainkan puting yang telah mengeras itu.
Deru nafas Desi masih teratur. Ia hanya tersenyum sambil memejamkan mata. Menikmati tiap detik rangsangan yang ia rasakan pada payudaranya.


Jemari gadis itu kini meraba selangkangan Tomi. Berusaha membebaskan penis yang mulai mengeras itu dari belenggu celana jeans berwarna biru tua yang Tomi kenakan.
Penis itu kini berdiri bebas.


“Ayo Des... udah siap di kenyot nih kontol gua....”
Gadis itu menarik sabuk pengaman yang ia kenakan agar dapat mencondongkan tubuhnya mendekati penis Tomi yang sudah mengacung tegak.


Sluuurpppp......
Sapuan lidah itu mendarat di kepala penis Tomi.
Seketika itu Tomi merasakan darah yang mengalir di kepalanya mulai menghangat. Jilatan dan kuluman itu kini berubah menjadi sedotan kuat.


Kepala gadis itu bergerak naik turun. Melayani gejolak birahi Tomi yang tersalur pada sebatang tugu keperkasaannya yang tegak menantang.
Payudara ranum yang menggantung milik sang gadis, berayun seirama dengan gerakan gadis itu mengulum penis Tomi. Rabaan jemari Tomi pada payudara itu kini berubah menjadi remasan kuat.


Sesekali Tomi mencubit dan menarik puting yang mengeras itu kuat-kuat. Menyebabkan terdengarnya gumaman dan desahan sang gadis di sela-sela bibirnya.
“Mmmpphhh.... Tom..... Remes yang kuat sayang..... toket gue udah lama gak di peres-peres...”
Gadis itu melepaskan kuluman pada penis Tomi. Digantikan dengan jemari tangannya yang dengan lincah mengocok penis yang telah berlumuran liur itu.


Jemari tangan Desi yang lain kini bergesekan dengan organ intimnya sendiri. Ia tak ingin kehilangan momen ketika libidonya juga semakin meninggi.
“Di isep lagi dong Des... kurang enak nih kalo cuma dikocokin....”
Gadis itu segera mencondongkan kembali tubuhnya ke arah Tomi. Ia kembali melahap penis yang mengacung tegak itu.


“Mmhhh...Ahhhhh... gila enak banget seponganlu des.....”
“mmmm....slurp...slurpppp......” gadis itu hanya bergumam.
Kuluman dan hisapan itu menjalar dari batang penis kini sampai di testisnya. Wajah innocent milik si gadis muda, ternyata menyembunyikan sebuah kelihaian dalam permainan yang hanya boleh dilakukan sepasang suami istri.
“Anjjriiiittt...... enak gilaaa......” Tomi meracau.


Jemari Tomi hampir tak kuasa menggenggam kemudi. Mobil itu kini ia hentikan di bahu jalan tol yang sudah mulai sepi.
Jok mobilnya kini ia rebahkan sepenuhnya.
Dengan sebelah tangan ia menekan kunci sabuk pengaman yang menahan tubuh Desi, dan menarik gadis itu untuk merebah di atasnya.


Desah nafas keduanya sudah memburu. Mereka berpagutan. Lidah mereka saling menyapu.
Gadis itu menghisap lidah Tomi dengan rakus sementara jemari Tomi kini meremas bongkahan pantatnya. Rok pendek yang dikenakan gadis itu kini tak mampu menutupi bagian intimnya ketika Tomi menyibakkannya ke arah pinggang gadis itu.
Yang tersisa hanya selembar celana dalam tipis yang sudah basah oleh cairan kewanitaannya.
“Mmmmhh... Tom..... isepin toket gue Tom.... Ahhh.....”


Gadis itu merangkak naik. Meletakkan kedua payudaranya yang sintal di wajah Tomi. Dengan sebelah tangan ia mengarahkan puting payudaranya ke arah bibir Tomi.
“Aaaaaaaaaaaahhhhhh....Tom....Ahahhhhhh...aahh....” Desi mulai melenguh ketika lidah Tomi merayap dan menikmati putingnya yang berwarna kemerahan.


Lidah Tomi kini berdansa bersama tonjolan yang mengeras itu. sesekali ia menggigit puting itu sehingga menyebabkan Desi menggeliang tak tentu arah.
Sebelah tangan gadis itu tetap menekan bongkahan payudaranya sementara yang lainnya mencengkeram kepala Tomi. Seakan tak ingin melepaskan kenikmatan yang ia rasakan.


Penis Tomi yang tegak mengacung, sudah memberontak ingin menyeruak kedalam vagina Desi.
Jemari Tomi dengan kasar menarik celana dalam yang menghalangi penisnya untuk masuk kedalam liang kenikmatan itu.


Breeeeekk.......
Celana dalam tipis itu robek.
“Aaaauuu.... pelan-pelan sayangku.... Ahhhhhhh.....Ahhh...”


Penis yang menegang itu kini mencari-cari pasangannya. Mencari letak lubang kenikmatan yang sudah menjadi miliknya.
Gadis itu mengendurkan pegangannya. Pinggulnya meliuk-liuk, berusaha mengarahkan penis Tomi itu ke lubang vaginanya yang mulai gatal.
Tomi tetap menghisap puting itu kuat-kuat sementara gadis itu bergerak meliuk-liuk.
“Mmmmhhh.....Tom.... jangan keras-keras ngisepnya sayang....Aaaahhh”

               
Lengugan pendek itu menjadi pertanda bahwa lubang kenikmatan sudah berada tepat di ujung tombak kejantanan Tomi.
Dengan sekali tekanan kuat, gadis itu menyarangkan penis Tomi ke dalam vaginanya.
Sreeeeeettt........
               


“Mmmhhhhhhh.......Tom...”
Tomi tak bergeming, membiarkan gadis itu bergerak melayani nafsunya.             
Plokk...plokk...plokk.....


Suara himpitan itu seakan bergema berulang-ulang.
Vagina gadis itu menari dengan liar. Menelan bulat-bulat penis sepanjang 18cm milik Tomi.
“NNnngghhh....Ahhhhhhhh......gilaaa..... kontol lu emang paling enak Tom.....”
“SSssshhhh  Aaahhhh.....Aaahh....” Tomi tak kuasa lagi menahan desahan itu ketika penisnya kini dilumat oleh sedotan demi sedotan yang dilancarkan oleh vagina Desi.


“Anjjriiitttt.... memang enak banget memek lu Des...... keseeettt...Aaaahhh...”
Jemari Tomi kini meremas payudara yang berayun-ayun. Puting berwarna merah muda itu ia putar dengan dua jari, menyebabkan sensasi liar yang tak mungkin ditolak oleh wanita manapun.


“Nngggggghhhh.....Tom... gue mau keluaaaaarrr.......” seiring dengan pekikan lemah Desi, gadis itu menyemburkan cairan hangat yang membasahi sebuah benda di dalam vaginanya.
Cairan hangat kini terasa membasahi penisnya. Membuat gesekan-gesekan nikmat itu mulai berkurang. Gadis itu terkulai lemas di atas tubuh Tomi, sementara Tomi kini menggerakkan pinggulnya.
Hujaman penis itu tidak berhenti sampai disitu.


Ngggeeennnggg.........
Suara mobil lain yang melesat melewati mereka tak mampu membuat sepasang muda-mudi itu mengalihkan perhatian.


“Pp..pelan...pelan To..mm.... gue lemess....Ahhh...Aaaahhh...Aaaahhh....”
Sisa-sisa orgasme membuat kenikmatan yang dirasakan Desi begitu hebat. Ia menggenggam wajah Tomi dan mulai melumat bibirnya.
Deru nafas mereka beradu. Air liur mereka sudah menetes di sela-sela bibir mereka yang berpagutan.


“Aaaaa........AaaaAAhhhh..... gua...mau.... keluarrr.....” Penis Tomi sudah berkedut kencang, siap memuntahkan benih-benih cinta di dalam rahim sang gadis
“Tooommm....gue.....AaaAAAAAaaaaaaaaaahhhhh”
Desi memperoleh orgasmenya sedetik sebelum sperma itu memancar
Crooott.....Crooott......Crooottt.......      


Gerakan mereka terhenti. Mereka kini tenggelam dalam kenikmatan orgasme yang panjang.
Penis itu masih menancap dalam. Cairan kental berwarna putih mulai meleleh dari sela-sela bagian intim mereka.
Setelah mengatur nafas, mereka mengatur posisi untuk kembali berkendara.
Sesungguhnya, Tomi masih terlalu lelah untuk mengemudi, namun melihat malam semakin larut, ia tak punya banyak pilihan. Ia harus segera mengantar Desi terlebih dulu untuk pulang.


“Tom.... kapan-kapan lagi ya...... jangan kapok ngentot sama gue....”
“Tenang aja tuan puteri..... kontol gue selalu siap melayani....”


Bruumm.....Bruuuuuuummm...
Mobil itu kembali melaju. Jemari lembut sang gadis kini mendekap erat tangan Tomi yang memegang persneling.
Deru suara angin terdengar ketika mobil itu melaju meninggalkan jalan tol, menuju rumah Desi di pinggiran kota.


Sesampainya di depan rumah Desi, mereka mengakhiri pertemuan itu dengan sebuah ciuman hangat. Tomi menunggu sampai Desi memasuki pintu rumahnya, kemudian ia kembali memacu mobilnya. Tak langsung kembali pulang, ia singgah di sebuah hotel untuk bermalam dan minum-minum di sebuah bar kecil dalam hotel itu. Ya... beginilah kehidupan Tomi. Liar, nakal, dan tanpa arah tujuan. Seringkali, ia harus meminta bantuan temannya untuk menjemput dirinya jika terlalu mabuk. Tomi memang senang minum. Ia tidak akan berhenti sampai meraih jackpot.
Perjalanan panjang penuh kenikmatan itu berujung pada kepulangan Tomi ke rumahnya pada pagi hari. Gerbang rumah itu membuka dengan sendirinya tanpa ada seorang pun di sana.


Roda mobil itu bergulir menyusuri halaman indah yang tertata rapi. Sebaris semak rimbun berbunga putih seakan menjadi pagar ayu yang menyambut kedatangan tuannya. Batu-batu koral berwarna-warni pucat menjadi tempat berpijak ketika Tomi melangkah keluar dari mobil itu.
Ia mulai melangkah mendekati pintu besar berwarna cokelat natural dengan handle pintu berwarna emas. Sesosok perempuan terlihat ketika pintu besar itu perlahan membuka.


“selamat datang mas Tomi, mau Lilis buatkan minuman apa?” tanya perempuan yang bernama Lilis itu. Ia adalah salah satu dari tiga pembantu yang melayani keluarga Sudrajat.
“Ahh ngak usah mbak... nanti kalo saya haus biar saya ambil sendiri..”
“baik kalau begitu mas... kalau perlu apa-apa mas panggil aja”


Tomi hanya mengangguk dua kali, ia segera melangkah menuju lantai kedua tempat kamarnya berada.
Di rumah mewah nan megah itu, Tomi tinggal bersama saudarinya Naya, Ayahnya, dan seorang ibu tiri. Keluarga Sudrajat memang bisa disebut sebagai keluarga yang serba berkecukupan, namun limpahan materi tidak menjadi jaminan akan sebuah kebahagiaan. Yahh... setidaknya sampai dua tahun lalu keluarga itu masih dapat mengecap apa yang disebut dengan kebahagiaan.


Walaupun dalam keadaan ibu Tomi yang sakit keras, namun keluarga itu benar-benar mampu menghadirkan suasana utuh sebuah keluarga. Mereka saling membantu, berbagi, dan mengerti satu sama lain.
Namun saat kepergian ibundanya tercinta, keluarga Sudrajat bagai sebuah kapal yang kehilangan nahkodanya. Naya mulai hanyut dalam gemerlapnya dunia malam, tak ubahnya dengan Tomi yang hanya menghabiskan waktu untuk berkumpul dengan teman-temannya. Ia memang tak mempunyai aktivitas rutin semenjak hari di mana ia mengenakan topi wisuda yang kini tergantung di dinding kamarnya itu.


Sementara sang ayah, semenjak kepergian separuh nafasnya. Ia menjadi pribadi yang tertutup dan senang menyendiri. Ia banyak menghabiskan waktu menyibukkan diri dengan pekerjaan yang seharusnya dapat ia percayakan kepada para staffnya.
Ayah Tomi adalah seorang pengusaha ternama yang memiliki banyak sekali perusahaan, baik besar maupun kecil. Usahanya yang sedang maju pesat saat ini adalah perusahaan importir alat telekomunikasi.


Empat bulan berselang, ayah Tomi tampak tak sanggup lagi menghadapi kesendiriannya. Ia memutuskan menikah dengan seorang wanita yang tak lain adalah sekertaris pribadinya.
Namun, sepertinya ia membuat keputusan yang salah.


Tomi sedang berjalan menyusuri koridor yang dihiasi dengan banyak lukisan serta foto-foto keluarganya. Sesaat terbesit kenangan tentang masa-masa indah. Ketika ia bisa tertawa, bercanda, dan bercengkerama dengan ayah, ibu, serta kakaknya.
Khayalan sesaat itu kini tercerai-berai ketika takdir menuntunnya untuk mendengar apa yang dikatakan oleh seseorang di dalam kamar ayahnya.


Veni, ibu tirinya sedang bercengkerama dengan seseorang melalui telepon genggamnya. Sesaat ia mengira bahwa ibu tirinya itu sedang berbicara dengan ayahandanya. Kata-kata itu begitu lembut terdengar. Romantis dengan canda tawa nakal yang tidak asing lagi di dengar oleh telinganya.
               

“Ihh.... mas nakal ahh.... kan semalem udah di kasih....”
Suara itu terdengar sayup-sayup, terhalang oleh tebalnya daun pintu cokelat tua yang terbuat dari kayu jati. Tomi menempelkan telinganya lekat-lekat, berusaha menangkap apa yang dibicarakan.
Tidak umum memang, jika seorang anak memata-matai anggota keluarganya. Namun jika ibu tiri tersebut bersikap layaknya ibu tiri dalam dongeng cinderella apa yang bisa menahan gejolak keinginan itu.


Ibu tiri Tomi memang bagai bermuka dua. Jika ayahandanya sedang ada di rumah, sikapnya berubah bak seorang dewi pelindung keluarga. Namun ketika ayahnya sedang tak ada di sana, dewi pelindung itu menjelma bagai siluman.
Kata-kata cacian sudah tak terhitung yang terlontar dari bibirnya yang berkilat. Bukan hanya Tomi yang mengalami nasib seperti itu. Naya, kakaknya semata wayang juga tak luput dari caci maki iblis betina itu. Namun mereka memutuskan untuk tidak mengatakan apapun kepada ayah mereka. Pertimbangan akan kebahagiaan sang ayah menjadi satu-satunya alasan mengapa hal tersebut masih mereka tutupi.


“Iya-iya..... nanti deh aku kesana, suamiku lagi gak pulang juga kok... udah gatel nih pengen ngerasain yang enak-enak...”
‘huh.... pelacur itu mulai lagi’ pikir Tomi.
Bukan sekali atau dua kali ia memergoki ibunya diantar pulang oleh lelaki tak dikenal. Ia pernah bercerita kepada ayahnya satu kali. Yang lebih mengejutkan dirinya saat itu adalah kenyataan bahwa ayahnya mengenal sang lelaki itu.
Lelaki yang mengantar ibu tirinya itu adalah partner bisnis sang ayah. Ayahnya mengatakan bahwa kepergian ibu tiri Tomi dengan temannya adalah untuk melobby hubungan kerja sama yang terjalin antara kedua perusahaan itu.


Tentu saja Tomi tak percaya begitu saja. ‘Alasan klasik’ begitu pikirnya.
‘Liat aja nanti, bakal gua bongkar kebusukan iblis betina itu’ umpat Tomi dalam hati.


“Terus rencara kita gimana mas? Jadi nyingkirin dia?”
Jantung Tomi berdegub cepat. Dentuman yang bergema sampai ke telinganya, menyulitkan ia mendengarkan percakapan selanjutnya.
“Ya terserah mas lah... aku sih ikut aja... ntar aku kabarin tanggalnya...”
‘apa yang si bangsat itu rencanain... anjing... awas aja kalo sampai ada apa-apa sama bokap gua...’ debar jantungnya semakin kencang. Amarahnya mulai memuncak.


Terdengar langkah kaki mendekati pintu.
Tomi cepat-cepat berpaling tanpa suara untuk menjauh. Ia segera memasuki kamarnya. Pintunya sengaja tidak ia tutup rapat-rapat.
Tomi mulai mengintip pada celah kecil yang dibuatnya.
Tampak ibu tirinya sedang berjalan melalui koridor menuju tangga. Sebuah tas putih kecil ia sandang di lengan kanannya.


‘Mau kemana si bangsat itu...’
Ketika ibu tirinya menghilang dari pandangan ia segera mengawasi keluar jendelanya.
Sebuah mobil mercedes-benz silver terparkir di sebelah mobilnya. Ibu tirinya mendekati mobil itu. Lampu sign mobil itu berkedip sekali sambil mengeluarkan bunyi klakson yang terdengar khas. Rupanya ibu tirinya itu akan pergi.


‘harus gimana ini, kalo bener ayah mau di celakain, gua harus bertindak’ ucap Tomi dalam hati. Ia segera meraih telepon selulernya dan menghubungi Naya yang memang sudah tiga hari tidak pulang kerumah.


Naya kakak kandung Tomi sudah pergi tiga hari lalu. Selepas pertengkaran hebat dengan ibu tirinya ia segera pergi mengendarai mobilnya dan tidak kembali lagi.
Namun Tomi tau, kakaknya kini tinggal di sebuah hotel ditemani oleh pacarnya. Ia tak terlalu khawatir akan itu. Setidaknya ia tau Naya berada di tempat yang aman.


Tuuuuttt......Tuuuuuutt....
Nada panggil itu terdengar dari lubang kecil yang di tempelkan Tomi pada telinganya. Ia sedang menghubungi Naya untuk mengabarkan perkembangan terkini yang terjadi di rumah mereka.


“halooo...”
“halo kak..... ada berita serius... aku mau kesana sekarang...”
“ada apa emangnya? Si brengsek itu ngapain lagi...??”
“udah ntar aja ceritanya, aku kesana sekarang...”
Tuutt... Tomi menutup telepon itu.


Tanpa menunggu jawaban dari kakaknya, Tomi segera bergegas memacu mobilnya.
Setengah jam kemudian, ia sampai di pelataran parkir sebuah hotel mewah, deretan mobil-mobil yang diparkir itu seakan bagai labirin ketika ia mencari celah untuk memarkirkan mobilnya.
Akhirnya ia menemukan tempat di sebelah mobil sedan berwarna merah.
Ia melangkah keluar dari mobilnya dengan perasaan yang tak karuan. Ia berharap dapat sedikit meluapkan emosinya dengan berbicara dengan kakaknya.


Koridor hotel itu dihiasi dengan karpet berwarna merah maroon. Ia segera menyusuri pintu demi pintu mencari kamar kakaknya sambil bergumam.
“214....214....214.... nahh itu dia...” gumamnya pelan.


Ini adalah pertama kalinya ia menemui kakaknya di hotel itu. Sesampainya di depan pintu ia segera meraih telepon selulernya kembali, lalu menelepon kakaknya.
“Kak... gue uda di depan...” ucapnya pada Naya.
“Ya elahhh..... lagi nanggung gini... Aaaahhh.... yawdah sebentar... TUUUUTTT TUUTTT”


‘hmmm...... lagi bersenang-senang mereka di dalam....’ pikirnya.


Tak lama pintu kamar itu terbuka.
Naya hanya menutupi tubuhnya yang tak terbalut busana dengan sebuah seprei. Selembar kain tipis berwarna krem tua itu tak sanggup menutupi keindahan lekuk tubuh Naya dengan sempurna, membuat bongkahan payudara berukuran 36C itu nyaris melompat dari dekapan gadis 25 tahun itu.
“Ihhhh..... kerjaannya ngewe melulu lu kak...”
“Sssttt.... jangan keras-keras.. udah sini masuk.....”


Tomi melangkah masuk ke dalam kamar hotel itu.
Sesosok laki-laki kemudian berjalan ke arah mereka dengan hanya mengenakan celana pendek.


“Ya elah lu Tom..... lagi nanggung nih....” kata lelaki itu.
“Halahh...... dasar... pa kabar mas Andre....” Tomi mendekati lelaki itu dengan senyum tipis. Ia mengulurkan tangan kanan yang segera disambut oleh lawan bicaranya.
“Selalu baik....” jawabnya.


“Kak.. ada makanan ga?” tanya Tomi
“Ada tuh di lemari es... ada buah doang tapi...” jawab Naya.
Tomi mengangguk. ia membuka lemari es kecil berwarna krem itu.
Naya masih berdiri dengan sehelai kain yang digenggamnya. Sebelah tangannya kini menyibak rambut cokelatnya yang panjang sebahu, berusaha merapikan rambut yang berantakan itu.
               

Tomi menoleh ke arahnya.
“Kalo masi nanggung sana lanjutin dulu lah.... itu pentil sampe nyeplak gitu...” ucap Tomi santai, bukan karena tidak sadar, tapi karena memang begitulah gayanya saat berbicara dengan Naya. Vulgar dan ceplas-ceplos.


Seketika Naya meraba dadanya.
“Ihhh.... jelalatan aja mata lu....” wajah Naya memerah, ia kini berpaling ke Andre dan menarik lengan lelaki itu “Yuk sayang kita lanjut lagi... masi nanggung nih....”
Kekasihnya mengangguk dan tersenyum lebar. Seringainya itu sungguh seperti orang yang ditakdirkan haus akan sex.


Tomi merebahkan dirinya di sofa dekat pintu masuk kamar itu dan menikmati buah apel yang digenggamnya. Sementara Naya dan Andre mulai mengeluarkan desahan dan lenguhan dari arah tempat tidur yang terhalang oleh kamar mandi.


Lima menit berlalu...
Derit per yang menyangga dua insan itu bergema di ruangan, saling bersahutan dengan lenguhan dan desahan Naya dan Andre.
“Aaaakkhhhhhhhh.......aku....saamm..peee...aahhhhhhh.........” terdengar lenguhan panjang, itu adalah suara Naya.
“Aaaahhh....Ahhhh....Ahhhh.... aku...juga...Aaaaaaaahhhhhhh.....”


‘Ck ck ck... cepet amat...baru juga lima menit’ pikir Tomi.
Tak lama Naya dan Andre menghampirinya. Andre kini sudah berpakaian lengkap, sementara Naya hanya mengenakan handuk kimono saja.


“Nahhh.... sekarang gue tinggal dulu ya Tom... mau balik kerja dulu nih...” kata Andre.
“Sip lah..... ati-ati dijalan mas...”
Mereka kembali berjabat tangan, sesaat kemudian Andre menghilang bersamaan dengan pintu kamar yang ditutup.


“Jadi.... mau ngobrol di sini apa di dalem?” tanya Naya.
“Dalem aja ahh... mau rebahan... pejunya berceceran ga?”
“Ngak kok.. dia mah kalo keluar sedikit....”


‘Pppffftt.....’ Tomi menahan tawanya sesaat lalu merebahkan diri di ranjang yang berantakan.
“Jadi ada kabar apa?” tanya Naya.
Tomi diam sesaat. Suasana hening saat itu, kemudian ia mulai menceritakan apa yang terjadi di rumah mereka.


“Gila....... kita ga bisa diem aja Tom... gimana kalo sampe kejadian apa-apa sama ayah?”
“Ya itu dia... tapi kan belom ada bukti bahwa yang mau di singkirin itu ayah, kalo emang bener ayah, kita juga ga tau apa maksudnya nyingkirin... kalo kita juga tau apa maksudnya dari kata nyingkirin kita juga belom tau gimana caranya, jadi gimana nyegahnya?”


Mereka kembali diam sesaat. Pikiran mereka kini terbang di awang-awang. Memikirkan segala kemungkinan yang dapat terjadi pada ayah mereka.
Namun setelah berpikir keras, mereka belum juga dapat menemukan cara untuk mencegah sesuatu terjadi... kecuali...


“Mau gak mau, kita mesti kasi tau ayah....” kata Naya.
“Lu kan tau sendiri kak.... di depan ayah, iblis itu udah kaya bidadari aja.... mana mungkin ayah percaya...”
“Walaupun gak percaya, seenggaknya kan ayah bisa waspada...”
Logika itu tampak bisa diterima oleh Tomi. Walaupun sulit, namun hanya pilihan itu yang ia miliki.


“Oke lah... nanti gue kasi tau sama ayah... doain aja supaya ayah percaya sama gue...” kata Tomi.
Naya mendekati tubuh Tomi dan memeluk adiknya erat. “Good luck....”
Hangat tubuh Naya kini dirasakan oleh Tomi. Wajahnya berada dibawah dagu Naya.
Tomi balas memeluknya dengan merangkulkan tangannya di pinggang Naya.


“Kak.....”
“Hmm??”
“Toket lu tambah gede aja.....”


Mendengar ucapan Tomi, Naya langsung melepaskan pelukannya pada Tomi.
“Hus...... mesum aja pikiran lu.....” ia menutupi dadanya dengan menyilangkan tangan disana.
“Hahahah...... tuh pentilnya jadi keras lagi....” Tomi menunjuk tonjolan kecil di sela lengan Naya.
“Hushh..... udah sana telpon ayah... ngeres aja pikirannya...”
               

Tomi bangkit dari ranjang sambil mencibir kearah Naya yang wajahnya sudah bersemu merah. Ia meraih telepon selulernya dan menghubungi ayahnya.
“Halo Tom... tumben nelpon, ada apa?”
“Halo yah.... emm..... gak sibuk kan? Tomi mau ngomong sebentar....”
“Yahh ngak terlalu sibuk kok....mau ngomong apa?”
“Emmh.... gimana ya.. Tomi bingung mau ngomong dari mana.... gini yah.........”


Tomi kemudian menceritakan tentang apa yang di dengarnya. Sangat detail, bahkan sampai detik dimana ia mengamati ibu tirinya pergi dari tumah.
“Tom..... oke ayah ngerti apa maksud kamu... tapi tolong Tom....jangan berpikir negatif sama orang lain kalau kita ga punya bukti...oke...”
“Yaaahh.... Tomi ngerti, bukan juga maksudnya ngejelekin orang lain yah.. Tomi Cuma mau ayah hati-hati, jangan terlalu percaya sama orang... please yah... sekali ini aja percaya sama Tomi...”
               

“Iya-iyaTom.... ayah paham kamu khawatir sama ayah.... tapi ayah pastiin ayah akan baik di sini... ngak ada yang perlu di khawatirin, ayah akan pulang dua hari lagi...nanti kita bicarain masalah ini, gak enak ngomong hal seperti ini lewat telpon...”
Hening sesaat.


“Ayah gak percaya kan sama Tomi?”
“Bukannya ayah gak percaya nak....ayah tau kamu gak bohong... tapi kita gak bisa menaruh curiga sebelum punya bukti...”
“Jadi ayah mau hal itu kejadian baru percaya sama Tomi?”
“Ya ngak gitu Tom.... oke-oke... ayah akan hati-hati... tapi kamu mesti janji sama ayah, jangan bertindak sembrono... salah-salah bisa dituntut pencemaran nama baik....”
“Mmmm......” Tomi menjawab perkataan ayahnya hanya dengan gumaman.
“Kok cuma mmmmmmm??”
“Iya Tomi ngerti yah.....”
“Nah itu baru anak ayah.....”


Pembicaraan itu berakhir. Dengan lesu, Tomi menceritakan apa yang dikatakan oleh ayahnya kepada Naya.
“Yaudah... yang penting kita udah usaha.... sekarang mendingan lu pulang... awasin keadaan dirumah... kalo ada apa-apa kamu telfon kakak... biar kakak sama mas Andre kesana...”
“Yawdah kak... gue pulang dulu...”


Pertemuan mereka diakhiri dengan peluk cium di antara mereka.
Tomi bergegas pulang, memacu mobilnya.
Sesampainya di rumah, betapa terkejutnya ia ketika mendapati ada mobil lain yang terparkir di sana. Ia merasakan firasat tidak baik tentang apa yang akan terjadi.


Dan, benar saja. Ketika ia menanyakan tentang mobil itu kepada seorang pembantu di sana, ia mendapati bahwa ibu tirinya sedang berduaan di dalam kamarnya dengan seorang lelaki.
Lelaki yang sama, yang tak lain adalah partner bisnis ayahnya.


Degup jantungnya berpacu ketika ia melangkah menaiki anak tangga menuju lantai dua.
Sayup-sayup terdengar suara desahan dan rintihan seseorang di dalam kamar itu.
‘Ini gak bisa dibiarin’ pikirnya.
Ia segera mengetuk pelan pintu kamar itu.


Desahan dan rintihan itu terhenti.
Derap langkah kaki mendekat. Jantungnya semakin berdebar.
               

Kiiieekkkkkkkk pintu itu terbuka.
Ibu tirinya berdiri di ambang pintu dengan busana seadanya.
Apa yang harus dikatakannya. Ia tak bisa membuat ibu tirinya curiga bahwa ia sedang memata-matai.
“Ayah udah pulang......” tanya Tomi singkat.
“Bukan urusanmu... kembali ke kamarmu dasar anak ngak tau di untung.....”


Darah di kepalanya mulai mendidih.
“Ohh... jadi ini kelakuan seorang istri waktu suaminya lagi ngak dirumah ya... i see...i see...”
               

Plaaakkk.........
Sebuah tamparan mendarat di pipinya.
“Awas... berani kamu ngadu ke ayahmu....”
“Atau apa? Mau nampar lagi?”


Wajah ibu tirinya kembali masam. Ia mengayunkan tangan kanannya sekali lagi, namun kali ini dapat ditangkap oleh Tomi.
“Ho..hoo... sorry ya... yang kedua kali gak akan terjadi tuh....”
“Ada apa ini?” tanya seorang pria dari dalam ruangan.
“Gak usah ikut campur ya..... lebih baik anda keluar sebelum anda saya hajar....”


Dengan percaya diri Tomi mengucapkan kata-kata itu. sejak dulu ia tak pernah takut dengan perkelahian. Ia adalah pemegang juara bertahan untuk kejuaraan karate antar sekolah, mengatasi pria tua ini bukanlah apa-apa baginya.


“Heeeeeeehhh........” pria itu menghela napas panjang. “Oke-oke.... saya pergi.... sampai nanti ya sayang....” ia memandang kepada ibu tiri Tomi.
Pria paruh baya itu melangkah meninggalkan mereka. Ibu tiri Tomi menarik lengannya dengan tiba-tiba lalu kembali masuk ke dalam kamarnya sambil membanting pintu.


“Huh.... murahan.......” Tomi mengumpat.
Ia segera berpaling dari pintu itu dan berjalan menuju kamarnya.


Apa yang terjadi segera ia kabarkan kepada ayah dan kakaknya. Mereka begitu terkejut, sampai-sampai ayah Tomi memutuskan untuk pulang hari itu juga.
Puas dengan hasil yang ia dapat, pikiran Tomi bisa sedikit tenang. Tak lama lagi iblis betina itu akan diusir dari rumah ini, pikirnya.


~Megatron21~



Saat ini, Tomi sedang ada di lantai bawah untuk sarapan. Di sana hanya ada ia seorang dengan ditemani oleh seorang pelayan. Ketika sedang asyik menyantap makanannya, ia melihat ibu tirinya berjalan menuruni tangga.


“Nikmatilah saat-saat terakhir berada di rumah ini.... ayah sedang di perjalanan pulang...” ucapnya.Ibu tirinya sama sekali tidak menjawab. Melainkan segera pergi keluar rumah.


‘Mau apa dia tiba-tiba pergi’ pikir Tomi.
Makanan yang masih tersisa di piringnya segera ia tinggalkan.
Ia berjalan mendekati jendela rumahnya. Dari celah gorden ia melihat ibu tirinya pergi menggunakan mobil.


Tanpa membuang waktu, ia segera meraih kunci mobil dari sakunya dan bergegas mengejar mobil ibu tirinya yang baru saja menikung dari gerbang rumah.


‘Kemana dia?’ pertanyaan itu terngiang di benaknya.
Ia mengambil jarak aman untuk mengikuti mobil ibu tirinya yang kini melaju di jalan raya. Hiruk-pikuk lalu lintas tidak menyulitkan ia melakukan pengejaran. Ibu tirinya bukanlah pengemudi mobil yang handal. Dalam setahun terakhir ini mobil itu sudah masuk bengkel dua kali karena menabrak bagian belakang truk dan sebatang pohon di ujung jalan.


Jalan yang ia lalui mulai menunjukkan ke mana ia akan pergi. Ternyata ibu tirinya berusaha mendahului ia untuk bertemu dengan ayahnya di bandara.


‘Hahaha.... kita liat aja nanti’ pikirnya.
Tiba-tiba, mobil yang ia buntuti berubah arah. Ia menepi di sebuah mini market. Tomi menjaga jarak agar kehadirannya tidak di ketahui.


Tak lama berselang mobil ibunya kembali meninggalkan tempat itu. namun ada yang aneh.
Ada dua mobil lain yang mengikutinya. Salah satu mobil itu sudah pernah ia lihat sebelumnya.
Ya... mobil itu kepunyaan partner bisnis ayahnya. Namun yang satu lagi belum pernah ia lihat. Sebuah mobil land cruiser berwarna hitam metalik juga mengikutinya.


‘Ada apa ini?’ Tomi kembali menangkap firasat buruk.
Ketiga mobil itu kini memasuki daerah bandara. Tomi mengawasi dari jarak yang cukup jauh. Mengingat tidak begitu banyak mobil yang berada di jalan itu saat ini. Ia khawatir kegiatannya diketahui.


Ketiga mobil itu kini sudah memasuki area parkir, namun tak ada satu pun di antara mereka yang meninggalkan mobil.


Ketiga mobil itu berjalan pelan menyusuri pelataran parkir. Padahal banyak sekali tempat parkir yang sudah mereka lewati.
‘Mau apa mereka?’ tanya Tomi dalam hati.


‘Astaga.... itu mobil ayah.... jadi mereka mencari mobil ayah....’
Jantungnya kembali berdebar. Tapi ia menetapkan hati untuk tetap tenang. Ia tak boleh panik. Ia harus mempertahankan logikanya untuk tetap berpikir jernih pada saat seperti ini.
Ia mengambil tempat parkir yang tak begitu jauh dari mobil ayahnya. Misinya saat ini hanyalah mengawasi dan menjamin keselamatan ayahnya.


Satu jam berlalu, akhirnya sosok ayahnya terlihat.
Ayah Tomi berjalan dengan langkah cepat menuju mobilnya. Tas koper yang besar itu ia hempaskan di kursi belakang lalu bergegas pergi.


Tomi mulai beranjak. Ia segera membuntuti mobil ayahnya.
Ketika ia meninggalkan lahan parkir, ia melihat ketiga mobil itu sudah berada di luar.


Mobil ayah Tomi melesat cepat, Tomi tak mau ketinggalan. Ia segera mengejarnya.
Ketika mobil ayahnya melewati tempat ketiga mobil itu berhenti, mobil SUV hitam itu mengikutinya. Namun kenapa ibu tiri dan partner bisnis ayahnya tidak ikut.


Jantungnya berdebar lebih cepat. Rasa panik mulai menjalar.
Apakah seorang di mobil hitam itu adalah orang suruhan yang diutus untuk mencelakakan ayahnya. Pikiran itu berkecamuk.


Ia terus membuntuti kedua mobil yang melesat di depannya pada jarak seratus meter.
Kini mereka telah melaju di jalan bebas hambatan.
‘Mau apa dia?’ pikir Tomi.
‘Jangan-jangan ayah mau di tembak dijalan...’


Kedua mobil itu terlihat jelas di pandangannya.
Detik selanjutnya ia melihat pemandangan paling mengerikan yang pernah ia saksikan.


Mobil hitam itu berbelok tiba-tiba, menghantam pintu kanan mobil ayahnya. Di lajur paling kiri terdapat sebuah mobil kontainer besar dengan muatan penuh berjalan pelan.
Hantaman itu membuat mobil ayahnya oleng seketika. Mercedes-bens e200 itu masuk ke dalam kolong mobil kontainer itu dan tergilas oleh roda belakangnya.


“AAAAAYYYAAAAAAAAAAAAAHHHHHHH.........” Tomi berteriak sejadi-jadinya ketika mobil ayahnya kini hancur tergilas oleh truk kontainer itu. sementara mobil SUV hitam itu melesat jauh meninggalkan dirinya.


Ia segera membanting setir kekiri untuk menepi.
Tomi melompat keluar dari mobil yang ia parkir sembarangan dan berlari menuju mobil ayahnya yang telah hancur.
‘Sedikit lagi.... sedikit lagi....ayah.... tunggu aku’ nafasnya terengah-engah ketika ia mendekati mobil itu. Namun sepuluh meter sebelum ia mencapai mobil ayahnya, sebuah kilauan cahaya terang membutakan mata Tomi.


DUAARRRRR.............
Letusan keras terdengar. Mobil ayahnya meledak, membuat ia terpental satu meter ke belakang. Ia jatuh terjerembab di aspal panas.
Air matanya menetes tak terbendung menyaksikan orang tuanya meninggal dengan cara yang begitu naas. Ia mencoba bangkit dan mendekati mobil yang sedang menyala itu. namun tangan-tangan yang meraih tubuhnya kini menahannya. Orang-orang yang menyaksikan kejadian itu, segera menghentikan mobil mereka dan menahan Tomi agar tidak mendekat.


Ia meronta sejadi-jadinya berusaha melepaskan diri. Namun ia sadar, ia sudah tak mampu berbuat apa-apa. Yang ia mampu lakukan saat ini hanya menangis.
Tak lama Polisi segera datang. Tomi segera di giring ke kantor polisi untuk dimintai keterangan.
Disana ia dijemput oleh kakaknya Naya.


Ia memeluk tubuh kakaknya erat-erat. Satu-satunya yang dapat meringankan bebannya saat ini.
Polisi segera membuat surat penangkapan kepada ibu tiri Tomi dan partner bisnis ayahnya yang kini buron.
Ditemani oleh Naya, Tomi kembali ke rumah. Dalam perjalanan pulang, Tomi singgah di toko kimia milik temannya.
Tomi segera turun dari mobil, Naya menunggu di dalam.


“Der.. gua mau beli potasium, urea, belerang dan  lain-lain... lu ga usa tanya-tanya buat apa.........” kata Tomi
“Gila lu..... kalo sampe lu bikin tu barang trus ketauan lu beli di gua... gua bisa ditangkep polisi....”
“Gua gak akan buka mulut.... udah lu tenang aja... ayo lah Der.... sekali ini aja gua minta tolong sama lu.. gua kan sering bantu lu, bukanya gua mau ungkit kebaikan gua.. tapi tolongin gua kali ini aja... gak akan gua minta tolong lagi sama lu...”


Hening sejenak....
Pilihan itu begitu sulit dicerna oleh sahabat Tomi. Namun mengingat apa yang telah dilakukan Tomi di masa lalu, akhirnya membuat pendirian sahabatnya goyah.


“Oke.. kali ini aja.... lu mau seberapa parah?” Tanya Derry
“Untuk satu kamar aja cukup....kalo terlalu banyak bisa dicurigain juga”
Sahabat Tomi, Deri segera masuk ke dalam. Tak lama, tanpa berbicara sepatah katapun ia menyerahkan bungkusan kantung plastik hitam kepada Tomi.


“Thanks.... berapa?” tanya Tomi.
Temannya hanya menjawab pertanyaan itu dengan mengangkat sebelah tangan.


“Udah lu bawa aja... tapi inget... jangan bawa-bawa nama gua...” jawab Deri
Tomi mendekati sahabatnya itu dan merangkul bahunya. Ia sungguh bersyukur memiliki Deri sebagai temannya. Ia tak tau lagi, siapa yang bisa membantunya untuk melaksanakan rencana yang hanya dia seorang mengetahuinya.
“Makasi banyak bro.... sorry kalo gua ada salah... tapi gua gak akan nemuin lu lagi... gua akan pastiin lu aman....”
               

“Hati-hati ya bro... gua ga tau lu mau pake buat ngapain.... pesen gua.. hati-hati aja...”
Mereka saling menepuk bahu.


Tomi berpaling dan kembali ke mobilnya. Meninggalkan sahabatnya yang berdiri terpaku menyaksikan kepergiannya.
“Apaan tu Tom?” tanya Naya datar. Pikiran Naya juga sama kalutnya dengan Tomi.
“Ntar juga tau.....” jawab Tomi singkat


Sesampainya di rumah, Tomi tak melihat tanda-tanda kehadiran ibu tirinya maupun partner bisnis ayahnya. Mereka disambut oleh para pelayan di rumah itu.
Saat itu juga Tomi memanggil mereka semua untuk berkumpul.
“Mbak semuanya... aku mau kasi kabar buruk.....”


Hening..... kesunyian itu merebak bagai suhu dingin yang tiba-tiba menyelimuti ruangan itu.
“Ayah udah meninggal.....” lanjut Tomi.
Berita itu begitu mengagetkan ketiga pelayan yang semuanya berusia di bawah 25 tahun. Sebagian ada yang menutup mulut mereka. Ada yang tiba-tiba menitikkan air mata.


Tak heran. Para pelayan itu sudah bekerja sangat lama sehingga begitu dekat dengan majikannya. Terlebih karena keluarga Sudrajat tidak pernah memperlakukan mereka layaknya pekerja rendahan, mereka saling menghormati satu sama lain.
“Jadi..... ada baiknya mbak semua ngak kerja lagi di sini”
“Tom..... kamu apa-apaan sih?” tanya Naya.
“Ssstttt... udah kak diem aja....”
               

Para pelayan belum mengucapkan sepatah kata pun. Mereka masih mendengarkan dengan seksama, menunggu Tomi melanjutkan kata-katanya.
“Maaf sebelumnya.... bukannya aku berniat mau pecat kalian semua... sama sekali ngak.... tapi..”


Perhatian seluruh orang kini tertuju pada Tomi.
“Aku gak mau ada kejadian buruk yang nimpa kalian.... kalian kan tau ibu kaya gimana.... nanti gaji sama pesangon akan kita transfer sore ini....”


Tiba-tiba seorang pelayan angkat bicara.
“Mas.... kita semua gak apa-apa walau di perlakukan kasar sama ibu. Tapi yang penting kita bisa layanin mas Tomi sama mbak Naya....”
“Aku ngerti mbak.... tapi ini situasinya lain... mungkin kalau keadaan sudah berubah kita akan panggil mbak lagi... tapi ngak sekarang... rumah ini gak boleh dihuni sama siapa pun sampai semuanya selesai....”


Pembicaraan panjang itu berlanjut hingga jam dinding menunjukkan pukul tiga sore.
Para pelayan kini telah setuju dengan permintaan Tomi. Mereka segera mengemasi barang milik masing-masing dan bergegas meninggalkan rumah itu satu persatu.


Perpisahan itu begitu berat, tak hanya bagi Tomi dan Naya, namun juga bagi seluruh pelayan yang bekerja di sana. Mereka sudah seperti sebuah keluarga besar.
Setelah keadaan rumah itu tenang, Tomi segera masuk ke kamarnya sendiri, dan menyiapkan segala hal untuk memantapkan rencananya.



~Megatron21~



Keesokan paginya, Tomi masuk ke dalam ruang tidur ayah dan ibunya sambil menggenggam sebuah benda berbentuk silinder dengan sebuah telepon seluler terikat kuat dengan selotip di benda itu.


Ia menaruh benda itu tepat di bawah ranjang milik ayahnya.
“Kamu bikin apa Tom?” tanya Naya. Sepertinya ia sudah sangat penasaran tentang apa yang dibuat oleh adiknya.
“Bakal gua bunuh iblis betina itu kak......”


Naya tertegun mendengar apa yang dikatakan oleh adiknya, namun ia tak punya niat untuk menghalangi.
“Sekarang kakak pulang aja ke hotel. Kemasin barang-barang. Pindah ke tempat lain. Jangan hubungin gue atau cari gue apapun alasannya. Kalo keadaan udah tenang nanti biar gue yang hubungin kakak....... lu harus pura-pura ngak tau yang gw lakuin kak.... satu lagi, kalo gue miscall, lu telpon balik pake nomer lain... jangan nomer yang biasa.”
“kenapa?”
“karena polisi pasti nyari gue kalo iblis itu mati.... nomor telepon lu pasti disadap, mereka pasti tau gue bakal hubungin lu”


Kata-kata itu menusuk dalam di dada Naya. Seakan orang yang baru bicara dengannya ini bukanlah adiknya yang selama ini ia kenal. Tomi terdengar lebih mirip dengan pembunuh berantai yang sedang merencanakan sebuah skenario pembunuhan.
Namun, ia tak kuasa melarang apa yang akan dilakukan oleh Tomi. Dendam membara juga berkobar di dalam hatinya. Ingin rasanya ia ikut ambil bagian dalam proses melenyapkan iblis itu, namun ia tak bisa apa-apa.


Kini mereka berpisah. Tomi tetap tinggal di rumah itu sendirian. Sedangkan Naya kembali ke hotel. Tomi menunggu waktu yang tepat. Waktu yang ia siapkan untuk melenyapkan iblis yang merusak keluarga mereka.



~Megatron21~



Keesokan harinya, benar saja. Ibu tirinya datang bersama dengan partner bisnis ayahnya.
“Jadi..... kalian bebas?” Tomi berpura-pura kaget. Padahal, inilah yang ia harapkan sejak awal.
“Hahaha..........” ibu tirinya tertawa sinis.


“Bagaimana bisa laporan dari seorang bocah membuktikan bahwa kami bersalah....??” tanya wanita itu.
“Sekarang kamu ngak bisa berbuat apa-apa kan?? Hahaha.... tinggal tunggu waktu aja sampai seluruh kekayaan ayahmu jatuh ke tanganku... ayo mas, tinggalin aja bocah tolol ini... kita sekarang senang-senang.. Hahahahahahahaha........”


Laki-laki paruh baya itu menyuguhkan senyum paling menjijikkan yang pernah dilihat oleh Tomi.
‘Hahaha.... kita lihat aja sebentar lagi.. dasar pelacur tolol....’ batin Tomi.
Kedua orang itu kini menaiki tangga dan masuk ke dalam kamar ayahnya. Persis seperti yang direncanakan oleh Tomi.


Ia segera bergegas ke kamarnya. Mengambil barang-barangnya yang sudah disiapkan sebelumnya dan bergegas keluar rumah. Saat melewati pintu kamar ayahnya ia kembali mendengar percakapan penuh kemenangan dari iblis itu.


“Ayo mas.... memekku udah kepingin digenjot lagi nih.....”
“Sabar sayang..... kita main sepuasnya hari ini..... merayakan kemenangan kita”


‘Haha... kemenangan???? Kita lihat siapa yang tertawa paling akhir nanti’ batin Tomi kembali berbicara. Ia melangkah menuruni tangga dan keluar dari rumahnya. Mobilnya ia tinggalkan di pelataran rumah itu. ia tahu, setelah apa yang direncanakan olehnya, pergi menggunakan mobil pribadi bukanlah pilihan yang cerdas.
Ia berjalan menyusuri jalan perumahan yang jarang sekali ia lalui tanpa menggunakan mobil. Tak lama lagi ia akan merindukan tempat ini.
               

Tepat di ujung jalan sebelum ia berbelok, ia kembali memandang ke arah rumahnya di kejauhan. Telepon seluler di sakunya ia raih dengan sebelah tangan, lalu ia menelepon.


DUUUAAAAAAAAAAAAAARRR............
Sebuah ledakan hebat terlihat dari kejauhan. Tak lain dari arah rumah Tomi.


Kaca jendela berhamburan ke segala arah, menciptakan bunyi berdenting ketika pecahan itu menghantam tanah dan bebatuan. Asap hitam mulai membumbung tinggi, hasil dari nyala api berwarna oranye kehitaman.
Dinding putih yang menghiasi rumah itu kini berubah warna. Seakan menghapus seluruh kenangan manis yang pernah terjadi di sana.


Dua buah pilar besar hiasan kini mulai rubuh.
Bebatuan seberat 20 ton itu perlahan condong ke arah mobil yang Tomi tinggalkan. Dengan bunyi memekakkan telinga, pilar itu rubuh menimpa badan mobil itu.


DUUUAAARRRRRR.....
Kembali satu ledakan besar mengiringi kepergian Tomi. Mobil kesayangannya, yang sudah menjadi saksi bisu kematian ayahnya, kini hancur lebur.
Dengan senyum tipis yang dingin ia kembali melangkah. Mengawali perjalanannya yang entah kemana. Perjalanan tanpa arah tujuan, tanpa sebuah kepastian..........




PROLOG – END





Satu Dunia, Beratus Kisah, Beribu Cerita
Megatron21story
 
Copyright © 2014. Warna-warni Cerita - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger