Satu Dunia, Beratus
Kisah, Beribu Cerita
Megatron21story
~**Hope**~
PROLOG
Seakan tak ada tanah untuk dipijak,
tak ada udara untuk dihirup.
Nyawa, entah apa yang masih
menahannya melekat pada tubuhnya. Secercah harapankah? Sayangnya bukan itu yang
terbesit dalam pikiran seorang pemuda, yang saat ini duduk termenung.
Matahari terik mempertontonkan
kegagahannya menyinari jalan-jalan di antara tingginya gedung yang menjulang.
Tembok abu-abu pekat itu kini menggantikan rimbunnya pepohonan hijau yang dulu sempat ada di tanah ini. Rerumputan
beraroma khas telah berganti menjadi aspal hitam sejauh mata memandang.
Yah… apa mau dikata. Kota ini sudah
dikuasai oleh orang-orang berkantung
tebal. Entah sampai kapan mereka baru puas menyingkirkan warna hijau dari
tempat yang dulunya dikenal sebagai lembah yang subur itu.
Sungai yang mengalir beriak, kini
telah berubah menjadi kubangan hitam tak mengalir.
Ironis memang, perubahan besar itu
diperuntukkan demi kenyamanan penduduk kota yang bergelimang harta. Namun, apa
nyamannya hidup dengan pemandangan abu-abu setiap kali kau mengejapkan mata?.
Tomi hanya bisa menggelengkan
kepalanya. Ia duduk di bawah naungan bayang-bayang jembatan penyeberangan.
Kepada siapa ia bisa mengeluh? Ia hanya seorang rakyat jelata di mata para
konglomerat itu.
Angin bertiup, menerbangkan debu
pekat ke arah orang-orang yang berlalu lalang. Hanya sedikit dari mereka yang
tak mengenakan menutup hidung dan mulut berwarna putih. Yah…. Tomi adalah salah
satu dari sedikit orang tersebut.
Tomi masih menikmati sepotong roti
yang digenggamnya, sekalipun debu yang beterbangan itu tak sedikit yang hinggap
pada roti itu.
‘Gak ada bedanya’, pikir Tomi.
Toh ia mendapatkan roti itu dengan memungutnya dari tempat sampah. Well… kamu tidak
salah baca kok. Tomi memang memungut roti yang dibuang oleh seorang anak ke
tempat sampah di samping tempatnya duduk.
Sorot mata penuh rasa jijik tak
hentinya memandang Tomi. Pemuda setinggi 180cm itu benar-benar kumal. Yang ia
kenakan di badannya hampir tak dapat disebut sebagai sebuah pakaian. Kaus putih
itu telah terkena banyak sekali noda sehingga warnanya berubah menjadi cokelat
tua keabu-abuan.
Mungkin hanya nasib yang bisa
menjawab. Mengapa seorang sarjana teknik seperti dirinya harus berkubang pada
hidup yang serba kekurangan. Hanya sebuah telepon selulerlah harta
satu-satunya. Ia tak punya uang sepeser pun, tak punya tempat berteduh, tak
punya arah tujuan, tak punya teman… yah setidaknya sampai dua bulan yang lalu.
~Megatron21~
Dua bulan lalu.....
Matahari sudah kembali ke peraduannya
tiga jam lalu. Kini udara dingin malam sudah merebak. Kegelapan menyelimuti
langit malam yang bertabur bintang.
Malam itu sungguh cerah, dengan
bulan sabit yang bersinar temaram.
Terlihat di sana, sesosok pemuda
sedang menghisap rokok di pelataran sebuah mall.
Ia sendirian, hanya berteman telepon seluler yang sedari tadi digenggamnya. Ya,
pemuda itu adalah Tomi.
“Tom… makan dulu yuk sebelum
pulang” seorang gadis berparas cantik itu menyapa Tomi dengan akrab ketika ia
melangkah mendekati pemuda itu.
“Telat lu… gue uda makan tadi sama
Soni...”jawabnya.
“Hmm…. Awas tu anak. Mentang-mentang
gw telat sebentar udah ditinggal makan. Ayo dong… temenin gue makan…”
“Yaudah.. tapi gw gak makan, cuma
nemenin lu doang…”
“Hehehe….. yawdah gapapa..”
Gadis ceria itu melambaikan
tangannya sejenak. Tak lama seorang pelayan restoran menghampiri mereka dan
menyerahkan selembar kertas beserta alat tulis.
Sang gadis menandai beberapa menu
yang ada di secarik kertas itu kemudian menyerahkannya kembali kepada sang
pelayan.
Nama gadis berparas babyface itu
adalah Desi. Ia dulunya adalah teman sekampus dengan Tomi. Sedikit dari para
mahasiswa yang merasa dirinya pantas bergaul dengan sang pangeran.
“Si Soni kemana?” tanya Desi saat
sang pelayan restoran pergi menjauh.
“Uda pulang, tadi cewenya BBM…
paling-paling ngajakin check-in”
“Hooooo….. emang dasar muka mesum
tu anak… dikasi lobang sedikit aja langsung di samber”
“Lha…. Namanya juga Soni… kalo gak
begitu namanya berubah jadi Sonia”
Desi tertawa kecil. Mendengar
lelucon yang sebenarnya sudah tidak begitu lucu.
“Kirain lu ikut sama dia Tom….”
“Ngapain? Mau ikutan threesome? Sama
cewe cablak itu? Idih… sorry”
“Emang ga cape nungguin gue?”
“Ya cape lah…. Tapi ya masa mau
ditinggal… ntar lu pulang naek apaan?”
“Uhhh so sweet…. Kirain tega
ninggalin gue…” ucap gadis itu seraya mencubit pinggang Tomi.
“Kata siapa ga tega…?” bantah Tomi.
“Ohh jadi lu tega? Jahat banget
si…….” Sang gadis yang sebelumnya sempat tersipu malu, kini berubah cemberut
begitu cepat. Ia memajukan bibir bawahnya dan menyilangkan tangan di bawah
kedua payudara besar yang nampak ingin melompat keluar dari celah busananya
“Hehehh… asal ada imbalannya…..”
“Dasar omes….. sama aja lu kayak
Soni... iya-iya… ngerti gue….hihihi”
Setengah jam berlalu, sebuah piring
makan datar berwarna putih tergeletak di meja. Gadis itu menyisakan beberapa
potong kentang goreng yang tak dimakannya.
Mereka bangkit dan mengambil barang
bawaan masing-masing kemudian berjalan ke arah lahan parkir mobil, gadis itu
menggandeng tangan Tomi bak seorang pasangan yang dimabuk cinta.
Sayangnya cinta sama sekali tak
terbesit dalam pikiran mereka. Yang ada hanya nafsu yang memburu. Hanya birahi
yang memuncak. Efek dari hormon libido yang telah bergejolak dalam nadi mereka
.
Mobil BMW silver yang di kendarai
Tomi melaju. Menembus kemacetan yang nyaris tak terurai. Dua orang polisi cepek berteriak bersahutan, membukakan
jalan bagi siapa pun yang bersedia memberi mereka selembar uang.
Tak terkecuali Tomi. Ia membuka
sedikit jendela mobil yang ia kendarai dan menyerahkan selembar uang kertas
berwarna hijau kepada mereka agar ia dapat lepas dari jerat kemacetan itu.
Tak lama mobil yang ia pacu telah
menggulirkan rodanya di jalan bebas hambatan.
“Des… ayo dong dimulai shownya….”
“Sekarang… ihh ga sabaran banget si
say…..”
Dalam kabin mobil tertutup itu,
Desi mulai mengubah posisi duduknya.
Bangku kedua di bagian depan itu ia
mundurkan beberapa senti untuk memperluas ruang geraknya.
Lalu ia mulai membuka kancing
kemejanya satu persatu.
“Kalo disini kan ga bisa full job
say….” Ujar Desi.
“Yah…. Pemanasan dulu gapapa lah….”
Kemeja oranye itu telah terbuka
sepenuhnya, namun Desi tak melepaskan semuanya. Hanya memperlihatkan dua buah
payudara besar yang mengacung seakan menantang.
Tomi menjulurkan tangan kirinya
menggapai kedua bongkahan daging kenyal itu dan mulai merabanya.
“Remes dikit dong say…. Biar tambah
enak nih…”
Sorot mata Tomi tetap terpaku lurus
ke depan, namun jemari tangannya telah menyelusup dibalik bra berenda yang
dikenakan oleh Desi.
Mobil itu kini melaju pelan di
lajur paling kiri. Dua ratus meter di depannya terlihat sebuah truk kontainer yang
juga berjalan sama pelannya.
“Mmmhhh…. Toket lu makin lama kok
makin gede Des….” Ucap Tomi seraya memainkan puting yang telah mengeras itu.
Deru nafas Desi masih teratur. Ia
hanya tersenyum sambil memejamkan mata. Menikmati tiap detik rangsangan yang ia
rasakan pada payudaranya.
Jemari gadis itu kini meraba
selangkangan Tomi. Berusaha membebaskan penis yang mulai mengeras itu dari
belenggu celana jeans berwarna biru tua yang Tomi kenakan.
Penis itu kini berdiri bebas.
“Ayo Des... udah siap di kenyot nih
kontol gua....”
Gadis itu menarik sabuk pengaman
yang ia kenakan agar dapat mencondongkan tubuhnya mendekati penis Tomi yang
sudah mengacung tegak.
Sluuurpppp......
Sapuan lidah itu mendarat di kepala
penis Tomi.
Seketika itu Tomi merasakan darah
yang mengalir di kepalanya mulai menghangat. Jilatan dan kuluman itu kini
berubah menjadi sedotan kuat.
Kepala gadis itu bergerak naik
turun. Melayani gejolak birahi Tomi yang tersalur pada sebatang tugu
keperkasaannya yang tegak menantang.
Payudara ranum yang menggantung milik
sang gadis, berayun seirama dengan gerakan gadis itu mengulum penis Tomi.
Rabaan jemari Tomi pada payudara itu kini berubah menjadi remasan kuat.
Sesekali Tomi mencubit dan menarik
puting yang mengeras itu kuat-kuat. Menyebabkan terdengarnya gumaman dan
desahan sang gadis di sela-sela bibirnya.
“Mmmpphhh.... Tom..... Remes yang
kuat sayang..... toket gue udah lama gak di peres-peres...”
Gadis itu melepaskan kuluman pada
penis Tomi. Digantikan dengan jemari tangannya yang dengan lincah mengocok
penis yang telah berlumuran liur itu.
Jemari tangan Desi yang lain kini
bergesekan dengan organ intimnya sendiri. Ia tak ingin kehilangan momen ketika
libidonya juga semakin meninggi.
“Di isep lagi dong Des... kurang
enak nih kalo cuma dikocokin....”
Gadis itu segera mencondongkan
kembali tubuhnya ke arah Tomi. Ia kembali melahap penis yang mengacung tegak
itu.
“Mmhhh...Ahhhhh... gila enak banget
seponganlu des.....”
“mmmm....slurp...slurpppp......”
gadis itu hanya bergumam.
Kuluman dan hisapan itu menjalar
dari batang penis kini sampai di testisnya. Wajah innocent milik si gadis muda, ternyata menyembunyikan sebuah
kelihaian dalam permainan yang hanya boleh dilakukan sepasang suami istri.
“Anjjriiiittt...... enak
gilaaa......” Tomi meracau.
Jemari Tomi hampir tak kuasa
menggenggam kemudi. Mobil itu kini ia hentikan di bahu jalan tol yang sudah
mulai sepi.
Jok mobilnya kini ia rebahkan
sepenuhnya.
Dengan sebelah tangan ia menekan
kunci sabuk pengaman yang menahan tubuh Desi, dan menarik gadis itu untuk
merebah di atasnya.
Desah nafas keduanya sudah memburu.
Mereka berpagutan. Lidah mereka saling menyapu.
Gadis itu menghisap lidah Tomi
dengan rakus sementara jemari Tomi kini meremas bongkahan pantatnya. Rok pendek
yang dikenakan gadis itu kini tak mampu menutupi bagian intimnya ketika Tomi
menyibakkannya ke arah pinggang gadis itu.
Yang tersisa hanya selembar celana
dalam tipis yang sudah basah oleh cairan kewanitaannya.
“Mmmmhh... Tom..... isepin toket
gue Tom.... Ahhh.....”
Gadis itu merangkak naik.
Meletakkan kedua payudaranya yang sintal di wajah Tomi. Dengan sebelah tangan
ia mengarahkan puting payudaranya ke arah bibir Tomi.
“Aaaaaaaaaaaahhhhhh....Tom....Ahahhhhhh...aahh....”
Desi mulai melenguh ketika lidah Tomi merayap dan menikmati putingnya yang
berwarna kemerahan.
Lidah Tomi kini berdansa bersama
tonjolan yang mengeras itu. sesekali ia menggigit puting itu sehingga
menyebabkan Desi menggeliang tak tentu arah.
Sebelah tangan gadis itu tetap
menekan bongkahan payudaranya sementara yang lainnya mencengkeram kepala Tomi.
Seakan tak ingin melepaskan kenikmatan yang ia rasakan.
Penis Tomi yang tegak mengacung,
sudah memberontak ingin menyeruak kedalam vagina Desi.
Jemari Tomi dengan kasar menarik
celana dalam yang menghalangi penisnya untuk masuk kedalam liang kenikmatan
itu.
Breeeeekk.......
Celana dalam tipis itu robek.
“Aaaauuu.... pelan-pelan
sayangku.... Ahhhhhhh.....Ahhh...”
Penis yang menegang itu kini
mencari-cari pasangannya. Mencari letak lubang kenikmatan yang sudah menjadi
miliknya.
Gadis itu mengendurkan pegangannya.
Pinggulnya meliuk-liuk, berusaha mengarahkan penis Tomi itu ke lubang vaginanya
yang mulai gatal.
Tomi tetap menghisap puting itu
kuat-kuat sementara gadis itu bergerak meliuk-liuk.
“Mmmmhhh.....Tom.... jangan
keras-keras ngisepnya sayang....Aaaahhh”
Lengugan pendek itu menjadi
pertanda bahwa lubang kenikmatan sudah berada tepat di ujung tombak kejantanan
Tomi.
Dengan sekali tekanan kuat, gadis
itu menyarangkan penis Tomi ke dalam vaginanya.
Sreeeeeettt........
“Mmmhhhhhhh.......Tom...”
Tomi tak bergeming, membiarkan
gadis itu bergerak melayani nafsunya.
Plokk...plokk...plokk.....
Suara himpitan itu seakan bergema
berulang-ulang.
Vagina gadis itu menari dengan
liar. Menelan bulat-bulat penis sepanjang 18cm milik Tomi.
“NNnngghhh....Ahhhhhhhh......gilaaa.....
kontol lu emang paling enak Tom.....”
“SSssshhhh Aaahhhh.....Aaahh....” Tomi tak kuasa lagi
menahan desahan itu ketika penisnya kini dilumat oleh sedotan demi sedotan yang
dilancarkan oleh vagina Desi.
“Anjjriiitttt.... memang enak
banget memek lu Des...... keseeettt...Aaaahhh...”
Jemari Tomi kini meremas payudara
yang berayun-ayun. Puting berwarna merah muda itu ia putar dengan dua jari,
menyebabkan sensasi liar yang tak mungkin ditolak oleh wanita manapun.
“Nngggggghhhh.....Tom... gue mau
keluaaaaarrr.......” seiring dengan pekikan lemah Desi, gadis itu menyemburkan
cairan hangat yang membasahi sebuah benda di dalam vaginanya.
Cairan hangat kini terasa membasahi
penisnya. Membuat gesekan-gesekan nikmat itu mulai berkurang. Gadis itu terkulai
lemas di atas tubuh Tomi, sementara Tomi kini menggerakkan pinggulnya.
Hujaman penis itu tidak berhenti
sampai disitu.
Ngggeeennnggg.........
Suara mobil lain yang melesat
melewati mereka tak mampu membuat sepasang muda-mudi itu mengalihkan perhatian.
“Pp..pelan...pelan To..mm.... gue
lemess....Ahhh...Aaaahhh...Aaaahhh....”
Sisa-sisa orgasme membuat
kenikmatan yang dirasakan Desi begitu hebat. Ia menggenggam wajah Tomi dan
mulai melumat bibirnya.
Deru nafas mereka beradu. Air liur
mereka sudah menetes di sela-sela bibir mereka yang berpagutan.
“Aaaaa........AaaaAAhhhh.....
gua...mau.... keluarrr.....” Penis Tomi sudah berkedut kencang, siap
memuntahkan benih-benih cinta di dalam rahim sang gadis
“Tooommm....gue.....AaaAAAAAaaaaaaaaaahhhhh”
Desi memperoleh orgasmenya sedetik
sebelum sperma itu memancar
Crooott.....Crooott......Crooottt.......
Gerakan mereka terhenti. Mereka
kini tenggelam dalam kenikmatan orgasme yang panjang.
Penis itu masih menancap dalam.
Cairan kental berwarna putih mulai meleleh dari sela-sela bagian intim mereka.
Setelah mengatur nafas, mereka
mengatur posisi untuk kembali berkendara.
Sesungguhnya, Tomi masih terlalu
lelah untuk mengemudi, namun melihat malam semakin larut, ia tak punya banyak
pilihan. Ia harus segera mengantar Desi terlebih dulu untuk pulang.
“Tom.... kapan-kapan lagi ya......
jangan kapok ngentot sama gue....”
“Tenang aja tuan puteri..... kontol
gue selalu siap melayani....”
Bruumm.....Bruuuuuuummm...
Mobil itu kembali melaju. Jemari
lembut sang gadis kini mendekap erat tangan Tomi yang memegang persneling.
Deru suara angin terdengar ketika
mobil itu melaju meninggalkan jalan tol, menuju rumah Desi di pinggiran kota.
Sesampainya di depan rumah Desi,
mereka mengakhiri pertemuan itu dengan sebuah ciuman hangat. Tomi menunggu
sampai Desi memasuki pintu rumahnya, kemudian ia kembali memacu mobilnya. Tak
langsung kembali pulang, ia singgah di sebuah hotel untuk bermalam dan
minum-minum di sebuah bar kecil dalam hotel itu. Ya... beginilah kehidupan
Tomi. Liar, nakal, dan tanpa arah tujuan. Seringkali, ia harus meminta bantuan
temannya untuk menjemput dirinya jika terlalu mabuk. Tomi memang senang minum.
Ia tidak akan berhenti sampai meraih jackpot.
Perjalanan panjang penuh kenikmatan
itu berujung pada kepulangan Tomi ke rumahnya pada pagi hari. Gerbang rumah itu
membuka dengan sendirinya tanpa ada seorang pun di sana.
Roda mobil itu bergulir menyusuri
halaman indah yang tertata rapi. Sebaris semak rimbun berbunga putih seakan
menjadi pagar ayu yang menyambut kedatangan tuannya. Batu-batu koral
berwarna-warni pucat menjadi tempat berpijak ketika Tomi melangkah keluar dari
mobil itu.
Ia mulai melangkah mendekati pintu
besar berwarna cokelat natural dengan handle pintu berwarna emas. Sesosok
perempuan terlihat ketika pintu besar itu perlahan membuka.
“selamat datang mas Tomi, mau Lilis
buatkan minuman apa?” tanya perempuan yang bernama Lilis itu. Ia adalah salah
satu dari tiga pembantu yang melayani keluarga Sudrajat.
“Ahh ngak usah mbak... nanti kalo
saya haus biar saya ambil sendiri..”
“baik kalau begitu mas... kalau
perlu apa-apa mas panggil aja”
Tomi hanya mengangguk dua kali, ia
segera melangkah menuju lantai kedua tempat kamarnya berada.
Di rumah mewah nan megah itu, Tomi
tinggal bersama saudarinya Naya, Ayahnya, dan seorang ibu tiri. Keluarga
Sudrajat memang bisa disebut sebagai keluarga yang serba berkecukupan, namun
limpahan materi tidak menjadi jaminan akan sebuah kebahagiaan. Yahh...
setidaknya sampai dua tahun lalu keluarga itu masih dapat mengecap apa yang
disebut dengan kebahagiaan.
Walaupun dalam keadaan ibu Tomi
yang sakit keras, namun keluarga itu benar-benar mampu menghadirkan suasana
utuh sebuah keluarga. Mereka saling membantu, berbagi, dan mengerti satu sama
lain.
Namun saat kepergian ibundanya
tercinta, keluarga Sudrajat bagai sebuah kapal yang kehilangan nahkodanya. Naya
mulai hanyut dalam gemerlapnya dunia malam, tak ubahnya dengan Tomi yang hanya
menghabiskan waktu untuk berkumpul dengan teman-temannya. Ia memang tak
mempunyai aktivitas rutin semenjak hari di mana ia mengenakan topi wisuda yang
kini tergantung di dinding kamarnya itu.
Sementara sang ayah, semenjak
kepergian separuh nafasnya. Ia menjadi pribadi yang tertutup dan senang menyendiri.
Ia banyak menghabiskan waktu menyibukkan diri dengan pekerjaan yang seharusnya
dapat ia percayakan kepada para staffnya.
Ayah Tomi adalah seorang pengusaha
ternama yang memiliki banyak sekali perusahaan, baik besar maupun kecil.
Usahanya yang sedang maju pesat saat ini adalah perusahaan importir alat
telekomunikasi.
Empat bulan berselang, ayah Tomi
tampak tak sanggup lagi menghadapi kesendiriannya. Ia memutuskan menikah dengan
seorang wanita yang tak lain adalah sekertaris pribadinya.
Namun, sepertinya ia membuat
keputusan yang salah.
Tomi sedang berjalan menyusuri
koridor yang dihiasi dengan banyak lukisan serta foto-foto keluarganya. Sesaat
terbesit kenangan tentang masa-masa indah. Ketika ia bisa tertawa, bercanda,
dan bercengkerama dengan ayah, ibu, serta kakaknya.
Khayalan sesaat itu kini
tercerai-berai ketika takdir menuntunnya untuk mendengar apa yang dikatakan
oleh seseorang di dalam kamar ayahnya.
Veni, ibu tirinya sedang
bercengkerama dengan seseorang melalui telepon genggamnya. Sesaat ia mengira
bahwa ibu tirinya itu sedang berbicara dengan ayahandanya. Kata-kata itu begitu
lembut terdengar. Romantis dengan canda tawa nakal yang tidak asing lagi di
dengar oleh telinganya.
“Ihh.... mas nakal ahh.... kan
semalem udah di kasih....”
Suara itu terdengar sayup-sayup,
terhalang oleh tebalnya daun pintu cokelat tua yang terbuat dari kayu jati. Tomi
menempelkan telinganya lekat-lekat, berusaha menangkap apa yang dibicarakan.
Tidak umum memang, jika seorang
anak memata-matai anggota keluarganya. Namun jika ibu tiri tersebut bersikap
layaknya ibu tiri dalam dongeng cinderella
apa yang bisa menahan gejolak keinginan itu.
Ibu tiri Tomi memang bagai bermuka
dua. Jika ayahandanya sedang ada di rumah, sikapnya berubah bak seorang dewi
pelindung keluarga. Namun ketika ayahnya sedang tak ada di sana, dewi pelindung
itu menjelma bagai siluman.
Kata-kata cacian sudah tak
terhitung yang terlontar dari bibirnya yang berkilat. Bukan hanya Tomi yang
mengalami nasib seperti itu. Naya, kakaknya semata wayang juga tak luput dari
caci maki iblis betina itu. Namun mereka memutuskan untuk tidak mengatakan
apapun kepada ayah mereka. Pertimbangan akan kebahagiaan sang ayah menjadi satu-satunya
alasan mengapa hal tersebut masih mereka tutupi.
“Iya-iya..... nanti deh aku kesana,
suamiku lagi gak pulang juga kok... udah gatel nih pengen ngerasain yang
enak-enak...”
‘huh.... pelacur itu mulai lagi’ pikir Tomi.
Bukan sekali atau dua kali ia
memergoki ibunya diantar pulang oleh lelaki tak dikenal. Ia pernah bercerita
kepada ayahnya satu kali. Yang lebih mengejutkan dirinya saat itu adalah
kenyataan bahwa ayahnya mengenal sang lelaki itu.
Lelaki yang mengantar ibu tirinya
itu adalah partner bisnis sang ayah. Ayahnya mengatakan bahwa kepergian ibu
tiri Tomi dengan temannya adalah untuk melobby hubungan kerja sama yang
terjalin antara kedua perusahaan itu.
Tentu saja Tomi tak percaya begitu
saja. ‘Alasan klasik’ begitu
pikirnya.
‘Liat aja nanti, bakal gua bongkar kebusukan iblis betina itu’ umpat Tomi dalam hati.
“Terus rencara kita gimana mas?
Jadi nyingkirin dia?”
Jantung Tomi berdegub cepat.
Dentuman yang bergema sampai ke telinganya, menyulitkan ia mendengarkan
percakapan selanjutnya.
“Ya terserah mas lah... aku sih
ikut aja... ntar aku kabarin tanggalnya...”
‘apa yang si bangsat itu rencanain... anjing... awas aja kalo sampai ada
apa-apa sama bokap gua...’ debar
jantungnya semakin kencang. Amarahnya mulai memuncak.
Terdengar langkah kaki mendekati
pintu.
Tomi cepat-cepat berpaling tanpa
suara untuk menjauh. Ia segera memasuki kamarnya. Pintunya sengaja tidak ia
tutup rapat-rapat.
Tomi mulai mengintip pada celah
kecil yang dibuatnya.
Tampak ibu tirinya sedang berjalan
melalui koridor menuju tangga. Sebuah tas putih kecil ia sandang di lengan
kanannya.
‘Mau kemana si bangsat itu...’
Ketika ibu tirinya menghilang dari
pandangan ia segera mengawasi keluar jendelanya.
Sebuah mobil mercedes-benz silver
terparkir di sebelah mobilnya. Ibu tirinya mendekati mobil itu. Lampu sign
mobil itu berkedip sekali sambil mengeluarkan bunyi klakson yang terdengar
khas. Rupanya ibu tirinya itu akan pergi.
‘harus gimana ini, kalo bener ayah mau di celakain, gua harus bertindak’ ucap Tomi dalam hati. Ia segera meraih telepon
selulernya dan menghubungi Naya yang memang sudah tiga hari tidak pulang
kerumah.
Naya kakak kandung Tomi sudah pergi
tiga hari lalu. Selepas pertengkaran hebat dengan ibu tirinya ia segera pergi
mengendarai mobilnya dan tidak kembali lagi.
Namun Tomi tau, kakaknya kini
tinggal di sebuah hotel ditemani oleh pacarnya. Ia tak terlalu khawatir akan
itu. Setidaknya ia tau Naya berada di tempat yang aman.
Tuuuuttt......Tuuuuuutt....
Nada panggil itu terdengar dari
lubang kecil yang di tempelkan Tomi pada telinganya. Ia sedang menghubungi Naya
untuk mengabarkan perkembangan terkini yang terjadi di rumah mereka.
“halooo...”
“halo kak..... ada berita serius...
aku mau kesana sekarang...”
“ada apa emangnya? Si brengsek itu ngapain lagi...??”
“udah ntar aja ceritanya, aku
kesana sekarang...”
Tuutt... Tomi menutup telepon
itu.
Tanpa menunggu jawaban dari
kakaknya, Tomi segera bergegas memacu mobilnya.
Setengah jam kemudian, ia sampai di
pelataran parkir sebuah hotel mewah, deretan mobil-mobil yang diparkir itu
seakan bagai labirin ketika ia mencari celah untuk memarkirkan mobilnya.
Akhirnya ia menemukan tempat di
sebelah mobil sedan berwarna merah.
Ia melangkah keluar dari mobilnya
dengan perasaan yang tak karuan. Ia berharap dapat sedikit meluapkan emosinya
dengan berbicara dengan kakaknya.
Koridor hotel itu dihiasi dengan
karpet berwarna merah maroon. Ia
segera menyusuri pintu demi pintu mencari kamar kakaknya sambil bergumam.
“214....214....214.... nahh itu
dia...” gumamnya pelan.
Ini adalah pertama kalinya ia
menemui kakaknya di hotel itu. Sesampainya di depan pintu ia segera meraih
telepon selulernya kembali, lalu menelepon kakaknya.
“Kak... gue uda di depan...”
ucapnya pada Naya.
“Ya elahhh..... lagi nanggung gini... Aaaahhh.... yawdah sebentar...
TUUUUTTT TUUTTT”
‘hmmm...... lagi bersenang-senang mereka di dalam....’ pikirnya.
Tak lama pintu kamar itu terbuka.
Naya hanya menutupi tubuhnya yang
tak terbalut busana dengan sebuah seprei. Selembar kain tipis berwarna krem tua
itu tak sanggup menutupi keindahan lekuk tubuh Naya dengan sempurna, membuat
bongkahan payudara berukuran 36C itu nyaris melompat dari dekapan gadis 25
tahun itu.
“Ihhhh..... kerjaannya ngewe melulu
lu kak...”
“Sssttt.... jangan keras-keras..
udah sini masuk.....”
Tomi melangkah masuk ke dalam kamar
hotel itu.
Sesosok laki-laki kemudian berjalan
ke arah mereka dengan hanya mengenakan celana pendek.
“Ya elah lu Tom..... lagi nanggung
nih....” kata lelaki itu.
“Halahh...... dasar... pa kabar mas
Andre....” Tomi mendekati lelaki itu dengan senyum tipis. Ia mengulurkan tangan
kanan yang segera disambut oleh lawan bicaranya.
“Selalu baik....” jawabnya.
“Kak.. ada makanan ga?” tanya Tomi
“Ada tuh di lemari es... ada buah
doang tapi...” jawab Naya.
Tomi mengangguk. ia membuka lemari
es kecil berwarna krem itu.
Naya masih berdiri dengan sehelai
kain yang digenggamnya. Sebelah tangannya kini menyibak rambut cokelatnya yang
panjang sebahu, berusaha merapikan rambut yang berantakan itu.
Tomi menoleh ke arahnya.
“Kalo masi nanggung sana lanjutin
dulu lah.... itu pentil sampe nyeplak gitu...” ucap Tomi santai, bukan karena
tidak sadar, tapi karena memang begitulah gayanya saat berbicara dengan Naya.
Vulgar dan ceplas-ceplos.
Seketika Naya meraba dadanya.
“Ihhh.... jelalatan aja mata lu....”
wajah Naya memerah, ia kini berpaling ke Andre dan menarik lengan lelaki itu “Yuk
sayang kita lanjut lagi... masi nanggung nih....”
Kekasihnya mengangguk dan tersenyum
lebar. Seringainya itu sungguh seperti orang yang ditakdirkan haus akan sex.
Tomi merebahkan dirinya di sofa
dekat pintu masuk kamar itu dan menikmati buah apel yang digenggamnya.
Sementara Naya dan Andre mulai mengeluarkan desahan dan lenguhan dari arah
tempat tidur yang terhalang oleh kamar mandi.
Lima menit berlalu...
Derit per yang menyangga dua insan
itu bergema di ruangan, saling bersahutan dengan lenguhan dan desahan Naya dan
Andre.
“Aaaakkhhhhhhhh.......aku....saamm..peee...aahhhhhhh.........”
terdengar lenguhan panjang, itu adalah suara Naya.
“Aaaahhh....Ahhhh....Ahhhh....
aku...juga...Aaaaaaaahhhhhhh.....”
‘Ck ck ck... cepet amat...baru juga lima menit’ pikir Tomi.
Tak lama Naya dan Andre
menghampirinya. Andre kini sudah berpakaian lengkap, sementara Naya hanya
mengenakan handuk kimono saja.
“Nahhh.... sekarang gue tinggal
dulu ya Tom... mau balik kerja dulu nih...” kata Andre.
“Sip lah..... ati-ati dijalan
mas...”
Mereka kembali berjabat tangan, sesaat
kemudian Andre menghilang bersamaan dengan pintu kamar yang ditutup.
“Jadi.... mau ngobrol di sini apa
di dalem?” tanya Naya.
“Dalem aja ahh... mau rebahan...
pejunya berceceran ga?”
“Ngak kok.. dia mah kalo keluar
sedikit....”
‘Pppffftt.....’ Tomi menahan
tawanya sesaat lalu merebahkan diri di ranjang yang berantakan.
“Jadi ada kabar apa?” tanya Naya.
Tomi diam sesaat. Suasana hening
saat itu, kemudian ia mulai menceritakan apa yang terjadi di rumah mereka.
“Gila....... kita ga bisa diem aja
Tom... gimana kalo sampe kejadian apa-apa sama ayah?”
“Ya itu dia... tapi kan belom ada
bukti bahwa yang mau di singkirin itu ayah, kalo emang bener ayah, kita juga ga
tau apa maksudnya nyingkirin... kalo kita juga tau apa maksudnya dari kata nyingkirin kita juga belom tau gimana
caranya, jadi gimana nyegahnya?”
Mereka kembali diam sesaat. Pikiran
mereka kini terbang di awang-awang. Memikirkan segala kemungkinan yang dapat
terjadi pada ayah mereka.
Namun setelah berpikir keras,
mereka belum juga dapat menemukan cara untuk mencegah sesuatu terjadi...
kecuali...
“Mau gak mau, kita mesti kasi tau
ayah....” kata Naya.
“Lu kan tau sendiri kak.... di
depan ayah, iblis itu udah kaya bidadari aja.... mana mungkin ayah percaya...”
“Walaupun gak percaya, seenggaknya
kan ayah bisa waspada...”
Logika itu tampak bisa diterima
oleh Tomi. Walaupun sulit, namun hanya pilihan itu yang ia miliki.
“Oke lah... nanti gue kasi tau sama
ayah... doain aja supaya ayah percaya sama gue...” kata Tomi.
Naya mendekati tubuh Tomi dan
memeluk adiknya erat. “Good luck....”
Hangat tubuh Naya kini dirasakan
oleh Tomi. Wajahnya berada dibawah dagu Naya.
Tomi balas memeluknya dengan
merangkulkan tangannya di pinggang Naya.
“Kak.....”
“Hmm??”
“Toket lu tambah gede aja.....”
Mendengar ucapan Tomi, Naya
langsung melepaskan pelukannya pada Tomi.
“Hus...... mesum aja pikiran
lu.....” ia menutupi dadanya dengan menyilangkan tangan disana.
“Hahahah...... tuh pentilnya jadi
keras lagi....” Tomi menunjuk tonjolan kecil di sela lengan Naya.
“Hushh..... udah sana telpon
ayah... ngeres aja pikirannya...”
Tomi bangkit dari ranjang sambil mencibir
kearah Naya yang wajahnya sudah bersemu merah. Ia meraih telepon selulernya dan
menghubungi ayahnya.
“Halo Tom... tumben nelpon, ada apa?”
“Halo yah.... emm..... gak sibuk
kan? Tomi mau ngomong sebentar....”
“Yahh ngak terlalu sibuk kok....mau ngomong apa?”
“Emmh.... gimana ya.. Tomi bingung
mau ngomong dari mana.... gini yah.........”
Tomi kemudian menceritakan tentang
apa yang di dengarnya. Sangat detail, bahkan sampai detik dimana ia mengamati
ibu tirinya pergi dari tumah.
“Tom..... oke ayah ngerti apa maksud kamu... tapi tolong Tom....jangan
berpikir negatif sama orang lain kalau kita ga punya bukti...oke...”
“Yaaahh.... Tomi ngerti, bukan juga
maksudnya ngejelekin orang lain yah.. Tomi Cuma mau ayah hati-hati, jangan
terlalu percaya sama orang... please yah... sekali ini aja percaya sama
Tomi...”
“Iya-iyaTom.... ayah paham kamu khawatir sama ayah.... tapi ayah pastiin
ayah akan baik di sini... ngak ada yang perlu di khawatirin, ayah akan pulang
dua hari lagi...nanti kita bicarain masalah ini, gak enak ngomong hal seperti
ini lewat telpon...”
Hening sesaat.
“Ayah gak percaya kan sama Tomi?”
“Bukannya ayah gak percaya nak....ayah tau kamu gak bohong... tapi kita gak
bisa menaruh curiga sebelum punya bukti...”
“Jadi ayah mau hal itu kejadian
baru percaya sama Tomi?”
“Ya ngak gitu Tom.... oke-oke... ayah akan hati-hati... tapi kamu mesti
janji sama ayah, jangan bertindak sembrono... salah-salah bisa dituntut
pencemaran nama baik....”
“Mmmm......” Tomi menjawab
perkataan ayahnya hanya dengan gumaman.
“Kok cuma mmmmmmm??”
“Iya Tomi ngerti yah.....”
“Nah itu baru anak ayah.....”
Pembicaraan itu berakhir. Dengan
lesu, Tomi menceritakan apa yang dikatakan oleh ayahnya kepada Naya.
“Yaudah... yang penting kita udah
usaha.... sekarang mendingan lu pulang... awasin keadaan dirumah... kalo ada
apa-apa kamu telfon kakak... biar kakak sama mas Andre kesana...”
“Yawdah kak... gue pulang dulu...”
Pertemuan mereka diakhiri dengan
peluk cium di antara mereka.
Tomi bergegas pulang, memacu
mobilnya.
Sesampainya di rumah, betapa
terkejutnya ia ketika mendapati ada mobil lain yang terparkir di sana. Ia
merasakan firasat tidak baik tentang apa yang akan terjadi.
Dan, benar saja. Ketika ia
menanyakan tentang mobil itu kepada seorang pembantu di sana, ia mendapati
bahwa ibu tirinya sedang berduaan di dalam kamarnya dengan seorang lelaki.
Lelaki yang sama, yang tak lain
adalah partner bisnis ayahnya.
Degup jantungnya berpacu ketika ia
melangkah menaiki anak tangga menuju lantai dua.
Sayup-sayup terdengar suara desahan
dan rintihan seseorang di dalam kamar itu.
‘Ini gak bisa dibiarin’
pikirnya.
Ia segera mengetuk pelan pintu
kamar itu.
Desahan dan rintihan itu terhenti.
Derap langkah kaki mendekat.
Jantungnya semakin berdebar.
Kiiieekkkkkkkk pintu itu
terbuka.
Ibu tirinya berdiri di ambang pintu
dengan busana seadanya.
Apa yang harus dikatakannya. Ia tak
bisa membuat ibu tirinya curiga bahwa ia sedang memata-matai.
“Ayah udah pulang......” tanya Tomi
singkat.
“Bukan urusanmu... kembali ke
kamarmu dasar anak ngak tau di untung.....”
Darah di kepalanya mulai mendidih.
“Ohh... jadi ini kelakuan seorang
istri waktu suaminya lagi ngak dirumah ya... i see...i see...”
Plaaakkk.........
Sebuah tamparan mendarat di pipinya.
“Awas... berani kamu ngadu ke
ayahmu....”
“Atau apa? Mau nampar lagi?”
Wajah ibu tirinya kembali masam. Ia
mengayunkan tangan kanannya sekali lagi, namun kali ini dapat ditangkap oleh
Tomi.
“Ho..hoo... sorry ya... yang kedua
kali gak akan terjadi tuh....”
“Ada apa ini?” tanya seorang pria
dari dalam ruangan.
“Gak usah ikut campur ya..... lebih
baik anda keluar sebelum anda saya hajar....”
Dengan percaya diri Tomi
mengucapkan kata-kata itu. sejak dulu ia tak pernah takut dengan perkelahian.
Ia adalah pemegang juara bertahan untuk kejuaraan karate antar sekolah,
mengatasi pria tua ini bukanlah apa-apa baginya.
“Heeeeeeehhh........” pria itu
menghela napas panjang. “Oke-oke.... saya pergi.... sampai nanti ya sayang....”
ia memandang kepada ibu tiri Tomi.
Pria paruh baya itu melangkah
meninggalkan mereka. Ibu tiri Tomi menarik lengannya dengan tiba-tiba lalu
kembali masuk ke dalam kamarnya sambil membanting pintu.
“Huh.... murahan.......” Tomi
mengumpat.
Ia segera berpaling dari pintu itu
dan berjalan menuju kamarnya.
Apa yang terjadi segera ia kabarkan
kepada ayah dan kakaknya. Mereka begitu terkejut, sampai-sampai ayah Tomi
memutuskan untuk pulang hari itu juga.
Puas dengan hasil yang ia dapat,
pikiran Tomi bisa sedikit tenang. Tak lama lagi iblis betina itu akan diusir
dari rumah ini, pikirnya.
~Megatron21~
Saat ini, Tomi sedang ada di lantai
bawah untuk sarapan. Di sana hanya ada ia seorang dengan ditemani oleh seorang
pelayan. Ketika sedang asyik menyantap makanannya, ia melihat ibu tirinya
berjalan menuruni tangga.
“Nikmatilah saat-saat terakhir
berada di rumah ini.... ayah sedang di perjalanan pulang...” ucapnya.Ibu
tirinya sama sekali tidak menjawab. Melainkan segera pergi keluar rumah.
‘Mau apa dia tiba-tiba pergi’ pikir Tomi.
Makanan yang masih tersisa di
piringnya segera ia tinggalkan.
Ia berjalan mendekati jendela
rumahnya. Dari celah gorden ia melihat ibu tirinya pergi menggunakan mobil.
Tanpa membuang waktu, ia segera
meraih kunci mobil dari sakunya dan bergegas mengejar mobil ibu tirinya yang
baru saja menikung dari gerbang rumah.
‘Kemana dia?’ pertanyaan itu
terngiang di benaknya.
Ia mengambil jarak aman untuk
mengikuti mobil ibu tirinya yang kini melaju di jalan raya. Hiruk-pikuk lalu
lintas tidak menyulitkan ia melakukan pengejaran. Ibu tirinya bukanlah
pengemudi mobil yang handal. Dalam setahun terakhir ini mobil itu sudah masuk
bengkel dua kali karena menabrak bagian belakang truk dan sebatang pohon di
ujung jalan.
Jalan yang ia lalui mulai
menunjukkan ke mana ia akan pergi. Ternyata ibu tirinya berusaha mendahului ia
untuk bertemu dengan ayahnya di bandara.
‘Hahaha.... kita liat aja nanti’ pikirnya.
Tiba-tiba, mobil yang ia buntuti
berubah arah. Ia menepi di sebuah mini market. Tomi menjaga jarak agar kehadirannya
tidak di ketahui.
Tak lama berselang mobil ibunya
kembali meninggalkan tempat itu. namun ada yang aneh.
Ada dua mobil lain yang mengikutinya.
Salah satu mobil itu sudah pernah ia lihat sebelumnya.
Ya... mobil itu kepunyaan partner
bisnis ayahnya. Namun yang satu lagi belum pernah ia lihat. Sebuah mobil land cruiser berwarna hitam metalik juga
mengikutinya.
‘Ada apa ini?’ Tomi kembali
menangkap firasat buruk.
Ketiga mobil itu kini memasuki
daerah bandara. Tomi mengawasi dari jarak yang cukup jauh. Mengingat tidak
begitu banyak mobil yang berada di jalan itu saat ini. Ia khawatir kegiatannya
diketahui.
Ketiga mobil itu kini sudah
memasuki area parkir, namun tak ada satu pun di antara mereka yang meninggalkan
mobil.
Ketiga mobil itu berjalan pelan
menyusuri pelataran parkir. Padahal banyak sekali tempat parkir yang sudah
mereka lewati.
‘Mau apa mereka?’ tanya Tomi
dalam hati.
‘Astaga.... itu mobil ayah.... jadi mereka mencari mobil ayah....’
Jantungnya kembali berdebar. Tapi
ia menetapkan hati untuk tetap tenang. Ia tak boleh panik. Ia harus
mempertahankan logikanya untuk tetap berpikir jernih pada saat seperti ini.
Ia mengambil tempat parkir yang tak
begitu jauh dari mobil ayahnya. Misinya saat ini hanyalah mengawasi dan
menjamin keselamatan ayahnya.
Satu jam berlalu, akhirnya sosok
ayahnya terlihat.
Ayah Tomi berjalan dengan langkah
cepat menuju mobilnya. Tas koper yang besar itu ia hempaskan di kursi belakang
lalu bergegas pergi.
Tomi mulai beranjak. Ia segera
membuntuti mobil ayahnya.
Ketika ia meninggalkan lahan
parkir, ia melihat ketiga mobil itu sudah berada di luar.
Mobil ayah Tomi melesat cepat, Tomi
tak mau ketinggalan. Ia segera mengejarnya.
Ketika mobil ayahnya melewati
tempat ketiga mobil itu berhenti, mobil SUV hitam itu mengikutinya. Namun
kenapa ibu tiri dan partner bisnis ayahnya tidak ikut.
Jantungnya berdebar lebih cepat.
Rasa panik mulai menjalar.
Apakah seorang di mobil hitam itu
adalah orang suruhan yang diutus untuk mencelakakan ayahnya. Pikiran itu
berkecamuk.
Ia terus membuntuti kedua mobil
yang melesat di depannya pada jarak seratus meter.
Kini mereka telah melaju di jalan
bebas hambatan.
‘Mau apa dia?’ pikir Tomi.
‘Jangan-jangan ayah mau di tembak dijalan...’
Kedua mobil itu terlihat jelas di
pandangannya.
Detik selanjutnya ia melihat
pemandangan paling mengerikan yang pernah ia saksikan.
Mobil hitam itu berbelok tiba-tiba,
menghantam pintu kanan mobil ayahnya. Di lajur paling kiri terdapat sebuah
mobil kontainer besar dengan muatan penuh berjalan pelan.
Hantaman itu membuat mobil ayahnya
oleng seketika. Mercedes-bens e200 itu masuk ke dalam kolong mobil kontainer
itu dan tergilas oleh roda belakangnya.
“AAAAAYYYAAAAAAAAAAAAAHHHHHHH.........”
Tomi berteriak sejadi-jadinya ketika mobil ayahnya kini hancur tergilas oleh
truk kontainer itu. sementara mobil SUV hitam itu melesat jauh meninggalkan
dirinya.
Ia segera membanting setir kekiri
untuk menepi.
Tomi melompat keluar dari mobil
yang ia parkir sembarangan dan berlari menuju mobil ayahnya yang telah hancur.
‘Sedikit lagi.... sedikit lagi....ayah.... tunggu aku’ nafasnya terengah-engah ketika ia mendekati mobil
itu. Namun sepuluh meter sebelum ia mencapai mobil ayahnya, sebuah kilauan
cahaya terang membutakan mata Tomi.
DUAARRRRR.............
Letusan keras terdengar. Mobil
ayahnya meledak, membuat ia terpental satu meter ke belakang. Ia jatuh
terjerembab di aspal panas.
Air matanya menetes tak terbendung
menyaksikan orang tuanya meninggal dengan cara yang begitu naas. Ia mencoba
bangkit dan mendekati mobil yang sedang menyala itu. namun tangan-tangan yang
meraih tubuhnya kini menahannya. Orang-orang yang menyaksikan kejadian itu,
segera menghentikan mobil mereka dan menahan Tomi agar tidak mendekat.
Ia meronta sejadi-jadinya berusaha
melepaskan diri. Namun ia sadar, ia sudah tak mampu berbuat apa-apa. Yang ia
mampu lakukan saat ini hanya menangis.
Tak lama Polisi segera datang. Tomi
segera di giring ke kantor polisi untuk dimintai keterangan.
Disana ia dijemput oleh kakaknya
Naya.
Ia memeluk tubuh kakaknya
erat-erat. Satu-satunya yang dapat meringankan bebannya saat ini.
Polisi segera membuat surat
penangkapan kepada ibu tiri Tomi dan partner bisnis ayahnya yang kini buron.
Ditemani oleh Naya, Tomi kembali ke
rumah. Dalam perjalanan pulang, Tomi singgah di toko kimia milik temannya.
Tomi segera turun dari mobil, Naya
menunggu di dalam.
“Der.. gua mau beli potasium, urea,
belerang dan lain-lain... lu ga usa
tanya-tanya buat apa.........” kata Tomi
“Gila lu..... kalo sampe lu bikin
tu barang trus ketauan lu beli di gua... gua bisa ditangkep polisi....”
“Gua gak akan buka mulut.... udah
lu tenang aja... ayo lah Der.... sekali ini aja gua minta tolong sama lu.. gua
kan sering bantu lu, bukanya gua mau ungkit kebaikan gua.. tapi tolongin gua
kali ini aja... gak akan gua minta tolong lagi sama lu...”
Hening sejenak....
Pilihan itu begitu sulit dicerna
oleh sahabat Tomi. Namun mengingat apa yang telah dilakukan Tomi di masa lalu,
akhirnya membuat pendirian sahabatnya goyah.
“Oke.. kali ini aja.... lu mau
seberapa parah?” Tanya Derry
“Untuk satu kamar aja cukup....kalo
terlalu banyak bisa dicurigain juga”
Sahabat Tomi, Deri segera masuk ke dalam.
Tak lama, tanpa berbicara sepatah katapun ia menyerahkan bungkusan kantung
plastik hitam kepada Tomi.
“Thanks.... berapa?” tanya Tomi.
Temannya hanya menjawab pertanyaan
itu dengan mengangkat sebelah tangan.
“Udah lu bawa aja... tapi inget...
jangan bawa-bawa nama gua...” jawab Deri
Tomi mendekati sahabatnya itu dan
merangkul bahunya. Ia sungguh bersyukur memiliki Deri sebagai temannya. Ia tak
tau lagi, siapa yang bisa membantunya untuk melaksanakan rencana yang hanya dia
seorang mengetahuinya.
“Makasi banyak bro.... sorry kalo
gua ada salah... tapi gua gak akan nemuin lu lagi... gua akan pastiin lu
aman....”
“Hati-hati ya bro... gua ga tau lu
mau pake buat ngapain.... pesen gua.. hati-hati aja...”
Mereka saling menepuk bahu.
Tomi berpaling dan kembali ke
mobilnya. Meninggalkan sahabatnya yang berdiri terpaku menyaksikan
kepergiannya.
“Apaan tu Tom?” tanya Naya datar.
Pikiran Naya juga sama kalutnya dengan Tomi.
“Ntar juga tau.....” jawab Tomi
singkat
Sesampainya di rumah, Tomi tak
melihat tanda-tanda kehadiran ibu tirinya maupun partner bisnis ayahnya. Mereka
disambut oleh para pelayan di rumah itu.
Saat itu juga Tomi memanggil mereka
semua untuk berkumpul.
“Mbak semuanya... aku mau kasi
kabar buruk.....”
Hening..... kesunyian itu merebak
bagai suhu dingin yang tiba-tiba menyelimuti ruangan itu.
“Ayah udah meninggal.....” lanjut
Tomi.
Berita itu begitu mengagetkan
ketiga pelayan yang semuanya berusia di bawah 25 tahun. Sebagian ada yang
menutup mulut mereka. Ada yang tiba-tiba menitikkan air mata.
Tak heran. Para pelayan itu sudah
bekerja sangat lama sehingga begitu dekat dengan majikannya. Terlebih karena
keluarga Sudrajat tidak pernah memperlakukan mereka layaknya pekerja rendahan,
mereka saling menghormati satu sama lain.
“Jadi..... ada baiknya mbak semua
ngak kerja lagi di sini”
“Tom..... kamu apa-apaan sih?”
tanya Naya.
“Ssstttt... udah kak diem aja....”
Para pelayan belum mengucapkan
sepatah kata pun. Mereka masih mendengarkan dengan seksama, menunggu Tomi
melanjutkan kata-katanya.
“Maaf sebelumnya.... bukannya aku
berniat mau pecat kalian semua... sama sekali ngak.... tapi..”
Perhatian seluruh orang kini
tertuju pada Tomi.
“Aku gak mau ada kejadian buruk
yang nimpa kalian.... kalian kan tau ibu kaya gimana.... nanti gaji sama
pesangon akan kita transfer sore ini....”
Tiba-tiba seorang pelayan angkat
bicara.
“Mas.... kita semua gak apa-apa
walau di perlakukan kasar sama ibu. Tapi yang penting kita bisa layanin mas
Tomi sama mbak Naya....”
“Aku ngerti mbak.... tapi ini
situasinya lain... mungkin kalau keadaan sudah berubah kita akan panggil mbak
lagi... tapi ngak sekarang... rumah ini gak boleh dihuni sama siapa pun sampai
semuanya selesai....”
Pembicaraan panjang itu berlanjut
hingga jam dinding menunjukkan pukul tiga sore.
Para pelayan kini telah setuju
dengan permintaan Tomi. Mereka segera mengemasi barang milik masing-masing dan
bergegas meninggalkan rumah itu satu persatu.
Perpisahan itu begitu berat, tak
hanya bagi Tomi dan Naya, namun juga bagi seluruh pelayan yang bekerja di sana.
Mereka sudah seperti sebuah keluarga besar.
Setelah keadaan rumah itu tenang,
Tomi segera masuk ke kamarnya sendiri, dan menyiapkan segala hal untuk
memantapkan rencananya.
~Megatron21~
Keesokan paginya, Tomi masuk ke dalam
ruang tidur ayah dan ibunya sambil menggenggam sebuah benda berbentuk silinder
dengan sebuah telepon seluler terikat kuat dengan selotip di benda itu.
Ia menaruh benda itu tepat di bawah
ranjang milik ayahnya.
“Kamu bikin apa Tom?” tanya Naya. Sepertinya
ia sudah sangat penasaran tentang apa yang dibuat oleh adiknya.
“Bakal gua bunuh iblis betina itu
kak......”
Naya tertegun mendengar apa yang
dikatakan oleh adiknya, namun ia tak punya niat untuk menghalangi.
“Sekarang kakak pulang aja ke
hotel. Kemasin barang-barang. Pindah ke tempat lain. Jangan hubungin gue atau
cari gue apapun alasannya. Kalo keadaan udah tenang nanti biar gue yang
hubungin kakak....... lu harus pura-pura ngak tau yang gw lakuin kak.... satu
lagi, kalo gue miscall, lu telpon balik pake nomer lain... jangan nomer yang
biasa.”
“kenapa?”
“karena polisi pasti nyari gue kalo
iblis itu mati.... nomor telepon lu pasti disadap, mereka pasti tau gue bakal
hubungin lu”
Kata-kata itu menusuk dalam di dada
Naya. Seakan orang yang baru bicara dengannya ini bukanlah adiknya yang selama
ini ia kenal. Tomi terdengar lebih mirip dengan pembunuh berantai yang sedang
merencanakan sebuah skenario pembunuhan.
Namun, ia tak kuasa melarang apa
yang akan dilakukan oleh Tomi. Dendam membara juga berkobar di dalam hatinya.
Ingin rasanya ia ikut ambil bagian dalam proses melenyapkan iblis itu, namun ia
tak bisa apa-apa.
Kini mereka berpisah. Tomi tetap
tinggal di rumah itu sendirian. Sedangkan Naya kembali ke hotel. Tomi menunggu
waktu yang tepat. Waktu yang ia siapkan untuk melenyapkan iblis yang merusak keluarga
mereka.
~Megatron21~
Keesokan harinya, benar saja. Ibu
tirinya datang bersama dengan partner bisnis ayahnya.
“Jadi..... kalian bebas?” Tomi
berpura-pura kaget. Padahal, inilah yang ia harapkan sejak awal.
“Hahaha..........” ibu tirinya tertawa
sinis.
“Bagaimana bisa laporan dari
seorang bocah membuktikan bahwa kami bersalah....??” tanya wanita itu.
“Sekarang kamu ngak bisa berbuat
apa-apa kan?? Hahaha.... tinggal tunggu waktu aja sampai seluruh kekayaan
ayahmu jatuh ke tanganku... ayo mas, tinggalin aja bocah tolol ini... kita
sekarang senang-senang.. Hahahahahahahaha........”
Laki-laki paruh baya itu
menyuguhkan senyum paling menjijikkan yang pernah dilihat oleh Tomi.
‘Hahaha.... kita lihat aja sebentar lagi.. dasar pelacur tolol....’ batin Tomi.
Kedua orang itu kini menaiki tangga
dan masuk ke dalam kamar ayahnya. Persis seperti yang direncanakan oleh Tomi.
Ia segera bergegas ke kamarnya.
Mengambil barang-barangnya yang sudah disiapkan sebelumnya dan bergegas keluar
rumah. Saat melewati pintu kamar ayahnya ia kembali mendengar percakapan penuh
kemenangan dari iblis itu.
“Ayo mas.... memekku udah kepingin
digenjot lagi nih.....”
“Sabar sayang..... kita main
sepuasnya hari ini..... merayakan kemenangan kita”
‘Haha... kemenangan???? Kita lihat siapa yang tertawa paling akhir nanti’ batin Tomi kembali berbicara. Ia melangkah
menuruni tangga dan keluar dari rumahnya. Mobilnya ia tinggalkan di pelataran
rumah itu. ia tahu, setelah apa yang direncanakan olehnya, pergi menggunakan
mobil pribadi bukanlah pilihan yang cerdas.
Ia berjalan menyusuri jalan
perumahan yang jarang sekali ia lalui tanpa menggunakan mobil. Tak lama lagi ia
akan merindukan tempat ini.
Tepat di ujung jalan sebelum ia
berbelok, ia kembali memandang ke arah rumahnya di kejauhan. Telepon seluler di
sakunya ia raih dengan sebelah tangan, lalu ia menelepon.
DUUUAAAAAAAAAAAAAARRR............
Sebuah ledakan hebat terlihat dari
kejauhan. Tak lain dari arah rumah Tomi.
Kaca jendela berhamburan ke segala
arah, menciptakan bunyi berdenting ketika pecahan itu menghantam tanah dan
bebatuan. Asap hitam mulai membumbung tinggi, hasil dari nyala api berwarna
oranye kehitaman.
Dinding putih yang menghiasi rumah
itu kini berubah warna. Seakan menghapus seluruh kenangan manis yang pernah
terjadi di sana.
Dua buah pilar besar hiasan kini
mulai rubuh.
Bebatuan seberat 20 ton itu
perlahan condong ke arah mobil yang Tomi tinggalkan. Dengan bunyi memekakkan
telinga, pilar itu rubuh menimpa badan mobil itu.
DUUUAAARRRRRR.....
Kembali satu ledakan besar
mengiringi kepergian Tomi. Mobil kesayangannya, yang sudah menjadi saksi bisu
kematian ayahnya, kini hancur lebur.
Dengan senyum tipis yang dingin ia
kembali melangkah. Mengawali perjalanannya yang entah kemana. Perjalanan tanpa
arah tujuan, tanpa sebuah kepastian..........
PROLOG – END
Satu Dunia, Beratus
Kisah, Beribu Cerita
Megatron21story