Satu Dunia, Beratus Kisah, Beribu Cerita
Megatron21story
~~ 4 ~~
“Jadi....
ngomong-ngomong kenapa tiba-tiba lo ke sini Ren?” tanyaku.
Reni masih
bertelanjang ria di kamar ini, ia dengan riang bersenandung kala tubuhnya
sedang menindih tubuhku.
“Yah.... gue
lagi ada masalah” jawabnya seraya terus memainkan kedua payudaraku.
“Lu mah
masalah mulu di koleksi...”
“Habis mau
gimana lagi? Cowo udah dikoleksi, sepatu udah, tas udah, baju... jangan ditanya
kalo yang itu hihihi....” ia
tersenyum.
“Sombong....”
“Hihihi.... yang
gitu deh, lagi ada masalah sama seseorang...” lanjutnya.
“Dimana?
Diskotik?” tanyaku.
Reni
mengangguk.
“Masalah
besar... gue ngak akan balik lagi ke sana...” lanjutnya.
“Lho...
trus? Lu mau kerja apa?”
“Gue udah
ninggalin dunia itu Nay...” jawab Reni.
“Ohhh bagus
deh.... moga-moga lu ngak kaya gitu lagi....”
“Ngak akan
kok.... gue udah ngak akan pernah kerja kaya gitu lagi...”
Syukurlah,
aku pikir Reni tak akan pernah mau beralih dari profesinya sebagai penjaja
tubuh. Aku cukup miris melihat kehidupan yang ia jalani selama aku mengenal sosok Reni.
Akhirnya sekarang ia terbebas dari jerat itu dan menjalani hari-hari baru.
“Udah ahh...
gue numpang mandi ya...” ucapnya.
“Iya... sono
pake aja...”
Reni
bangkit, ia menyambar handuk biru milikku dan bergegas menuju kamar mandi.
Tringgg...
Handphoneku
kembali berbunyi.
‘Loh... SMS dari Tomi lagi...’ batinku.
Jam di sudut
layar handphone telah menunjukkan pukul satu dini hari. Apakah orang ini tidak
pernah tidur? Jangan-jangan dia sebangsa kalong atau semacamnya.
‘Nay... sudah baca koran belum?’ tanya
Tomi dalam SMS itu.
‘Apa pula maksudnya?’ batinku.
Aku baru
ingat bahwa aku membeli koran saat singgah di minimarket tadi malam.
Kantung
plastik bergambar logo minimarket itu masih teronggok di atas meja. Roti sobek
yang tadi kumakan masih tersisa satu potong.
Aku
mengenakan celanaku yang sempat dilepaskan oleh Reni.
Udara malam
yang dingin tak boleh membuatku masuk angin, aku harus berjuang mencari
pekerjaan baru esok pagi.
Kuraih
kantung plastik itu.
Di dalamnya
aku mengambil surat kabar yang kubeli.
‘Apa Tomi mau aku baca berita?’ batinku.
Kertas koran
berwarna abu-abu itu kubentangkan di hadapanku.
’Halah, pemberitaan soal artis melulu’
gumamku dalam hati saat menemukan berita tentang publik figur yang baru
melangsungkan pernikahan di pulau dewata.
Perlahan-lahan
aku menyusuri tiap kolom berita utama hingga mataku terbelalak saat memandang ke
pojok lembaran kertas abu-abu itu.
‘pihak kepolisian masih mengusut sebuah
kasus pembunuhan yang terjadi di diskotik Exotica
sebulan yang lalu. Korban yang berjenis kelamin wanita diketahui bernama Reni
Anggraeni adalah seorang wanita panggilan yang saat itu sedang menemui seorang
klien.
Wanita malang itu dibunuh dengan sadis.
Kepalanya terpotong dengan isi otak berceceran, sementara isi perutnya terburai
keluar dari luka sayatan pada perutnya yang berlumuran darah.
Pelakunya tak lain adalah sang klien sendiri,
yang saat ini masih buron.’
Crk..crkk..crrk...crrk....
Kedua
tanganku yang menggenggam lembaran koran itu bergetar.
’Ngak.... ini gak mungkin...’
Bibirku
tiba-tiba ikut gemetar seperti tanganku.
Reni
Anggraeni adalah nama lengkap Reni. Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi?
Baru saja
aku melakukan permainan panas bersama dirinya, dan sekarang aku mengetahui
bahwa nama Reni Anggraeni disebut sebagai salah satu korban pembunuhan.
“lu gemetar
karena kedinginan, atau karena sudah tau?” sebuah suara tiba-tiba membuatku
tercekat. Aku terlonjak dari posisi dudukku di tepi ranjang.
Lembaran
koran itu masih terbentang di hadapanku, dan aku dapat menerka dengan pasti,
asal suara itu berada di balik lembaran koran ini.
Deg.....Deg......Deg.......
Jantungku
kembali terpacu.
Rasa dingin
yang tiba-tiba menyeruak kini menusuk ke dalam kulitku. Tulang belulangku yang
tak dapat mentoleransi hawa dingin itu mulai ngilu. Aku benar-benar takut
sekarang. Seluruh bulu kuduk kini berdiri serempak. Kulemparkan surat kabar
yang kugenggam ke samping.
Di
hadapanku, tepat di ambang pintu kamar mandi, sosok Reni yang tanpa kepala
sedang berdiri mematung.
“Hhhhhhhh...........”
napasku tercekat saat menyaksikan pemandangan itu.
Bercak-bercak
darah menghiasi leher hingga busana yang membalut tubuhnya. Benar-benar
mengerikan. Perutnya di sobek hingga aku bisa melihat usus dan organ lainnya
menggantung keluar. Seumur hidupku, baru kali ini aku menemukan kengerian yang
sesungguhnya. Apapun penyebabnya, kau bisa sebutkan satu persatu. Pocong?
Kuntilanak? Vampir? Werewolf? Apapun yang bisa kau temui di film layar lebar.
Semua itu tak ada apa-apanya dibanding kengerian yang saat ini kualami.
Napasku
tercekat, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Aku hanya menggeleng kecil
seraya memandang sosok tubuh Reni dengan mata membelalak ngeri.
“Naya......”
ia kembali bersuara. Lirih dan dalam. Nada suara itu bergetar seakan menikam
jantungku agar berhenti berdetak.
‘T-tapi bagaimana bisa?’ Batinku mulai
bertanya-tanya.
Mungkinkah
sesosok arwah dapat berbicara tanpa bantuan mulut.
“R-R-Ren.......
R-Ren.....” kata-kata itu seakan tak mau keluar. Lidahku yang saat ini kelu
menyembunyikan kata-kata itu dengan baik di dalam tenggorokanku.
“Nay.....”
“Hhhhhh...........”
aku mencoba mengambil napas sebisaku. Nyali dalam diriku benar-benar sudah
mati.
Tubuhku kini
benar-benar kaku. Ketakutan yang teramat sangat sudah menyelubungi diriku.
Suara
panggilan kedua tadi terdengar cukup dekat, tidak seperti panggilan pertama.
“Dibawah
Nay.....”
Aku sontak
menundukkan wajah.
“KYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA...............................”
Teriakan itu
tak dapat kutahan lagi.
Tepat di
depan vaginaku yang terbalut celana jeans, seonggok kepala telah berada di sana,
kepala Reni.
Bercak-bercak
darah yang menempel membuat seringai yang disuguhkan Reni begitu mengerikan.
Aku meraih
handphone yang tergeletak di samping tubuhku dan berusaha merangkak mundur
menjauhi kepala itu.
“Nayyy....aaakhhh....Nayyy........”
kepala Reni yang teronggok di tepi ranjang mulai memanggil-manggil namaku.
Panggilan
itu..... panggilan itu adalah kalimat di mana Reni sangat menginginkan aku.
Aku seketika
melompat turun dari ranjang dan berlari ke arah pintu masuk.
“BRAAAAAAK..............”
Kubanting
daun pintu dengan keras saat aku keluar dari kamar.
Dengan tubuh
gemetar ketakutan, kucoba menggedor kamar Bu Shinta.
“Buu.... bu
Shintaaaa.. tolooonnggg.......”
Dokk....dok....dokk.....
Clekk..... Pintu itu membuka sedikit karena gedoranku,
daun pintu itu ternyata tidak dikunci.
Aku meraih
handle pintu dengan tergesa-gesa dan mendorongnya.
“Bu
Shin......” aku kehabisan kata.
Di hadapanku,
kamar Bu Shinta tak ada ubahnya seperti panggung cerita horror.
Darah di mana-mana,
Bu Shinta beserta anak-anaknya telah mati. Kepala mereka yang terpenggal
berjajar rapi di tengah ruangan, sementara tubuh mereka terbaring kaku tak
tentu arah.
“N-n-ngak........
ini......” aku tiba-tiba teringat dengan suara gaduh yang sempat ku dengar dari
kamar Bu Shinta. Mungkinkah suara itu tercipta saat mereka binasa?
“Nay.....
jangan lari......” sebuah bisikan kudengar.
Aku menoleh
dan melihat bayangan Reni mulai muncul dari jendela kamarku.
Aku kembali
ke lorong, lalu berlari menuju tangga untuk turun ke lantai dasar dan lari
meninggalkan rumah susun ini.
“Nay.......”
sayup-sayup suara Reni masih memanggilku.
Aku terburu-buru
menuruni tangga hingga nyaris terpeleset karena anak tangga semen yang mulai
berlumut.
‘L-looohhh.......’ mataku, satu-satunya
indera yang bisa kupercaya. Kini tak bisa dipercaya lagi.
Kendati aku
sudah berada di bawah tangga, namun aku masih berada di lantai tiga. Lorong itu
sangat kukenali.
Aku menoleh
ke kanan, ke arah pintu kamarku yang kini terbuka dengan cahaya lampu terpancar
dari dalam kamar.
“Nayyy....aaakhhh....Nayyy........”
sosok Reni yang mendekap kepalanya di pinggang muncul perlahan.
“AAAAAAAAAAAHHHHHHHHH..........”
aku berteriak sejadi-jadinya, berusaha membangunkan orang-orang yang telah
terlelap dalam kantuk.
Aku segera
menghambur turun kembali menuruni tangga.
Tringgg...
Handphone
yang kugenggam kembali berbunyi, nyaris saja aku terperanjat oleh benda
bergetar di dalam genggamanku.
Aku tak
punya waktu untuk melihat SMS dari siapa itu. aku terus berlari menuruni anak
tangga itu lagi.
“Nay......MMmmmmmmmmhhhHHHHHH....”
suara Reni terdengar semakin dekat. Desahan itu, desahan saat Reni benar-benar
hampir menggapai apa yang diinginkannya.
Entah sejak
kapan air mataku mengalir membasahi pipi, bibirku bergetar hebat.
Rasa takut
yang menyelubungi pikiranku, kini menjadi pemacu adrenalin yang membuatku terus
berlari.
Aku kini
sudah berada di bawah anak tangga.
Namun sama
seperti tadi, aku masih tetap berada di lantai yang sama.
‘Adaa apaaaaaa iniiiiiii.........’
batinku meronta.
Aku makin
kehabisan akal. Aku tak mungkin terus berlari berputar-putar.
Aku harus
mencari akal.
“Nay..........”
suara Reni semakin dekat.
Degup
jantung yang kurasakan, seakan ingin membunuh diriku.
Ting.. tring....ting...ting.. Tring..
Lagu Canon in piano mulai melantun dari handphoneku yang bergetar.
Seseorang
sedang menelepon ke nomorku.
Kupandangi
sejenak layar handphone itu, nama Tomi terpampang di sana.
“Ha-halo...”
aku berdiri terpaku menjawab telepon dari Tomi sambil menoleh ke kiri dan ke
kanan.
‘Nay..... jangan banyak berpikir... kamu
harus naik ke lantai atas...’ ucap Tomi di ujung saluran telepon sana.
“Nay......MMmmmmmmmmhhhHHHHHH....”
suara Reni terdengar kembali.
Kali ini
sungguh dekat. Dadaku masih naik turun menggapai udara saat aku kembali menoleh
ke kanan dan ke kiri mencari sumber suara itu. Handphoneku masih menempel
lekat-lekat di telinga.
‘Nayyyyyy.............
lariiiiii.............’ Tomi berteriak.
Saat itu
tiba-tiba kurasakan rasa sakit yang teramat sangat dari pergelangan kakiku.
“AAKKHH...”
Sontak aku
mengibaskan kaki dan memandang ke sana. “KYAAAAAAAAAAAAAA...............” aku
kembali menjerit.
Reni, lebih
tepatnya kepala Reni sedang menggigit pergelangan kakiku.
Matanya yang
merah menyala benar-benar menyiratkan hasrat untuk membunuh.
Aku meronta,
kakiku kukibaskan dengan kuat hingga gigitan kepala Reni terlepas.
Kepala itu
sempat terlontar membentur dinding sebelum menggelinding ke arah sepasang kaki
yang berdiri kaku.
Tubuh Reni
yang tanpa kepala bersimbah darah berdiri di sana.
“Nay.... lo
kok jahat sama gue....” Reni berkata dengan sorot mata benci dari kepalanya
yang tergeletak di lantai.
“Jangan lari
Nayy.... jangan lari.........” Reni berbisik
Saat itu,
seluruh pintu yang berada di lorong tiba-tiba terbuka dan menimbulkan suara
gaduh.
BRAKK....BRAKKK...BRAK........
Dari sana,
muncul puluhan sosok yang menenteng kepalanya masing-masing.
“Aaaarrrrkkk....kkkrrrkkkkk.....
Naaaya.....” suara parau kini bersahutan memanggil namaku.
Raut wajah
dari kepala-kepala yang terpenggal itu sangat kukenali. Mereka adalah
tetanggaku yang sama-sama tinggal di rumah susun ini. Di antara mereka, aku
bisa melihat Bu Shinta beserta anak-anaknya.
“Hiks...hikss....
please... jangan sakitin gue Ren.... p-please.....” air mata ini semakin deras
mengalir.
Dadaku
sesak, napasku tercekat, kakiku gemetar, sungguh aku tidak ingin mati. Tidak
sekarang, tidak di sini.
Aku tak mau
membuang waktu lagi. Segera kunaiki tangga untuk kabur dari kejaran Reni.
Aku masih
tak mengerti apa sebenarnya yang terjadi pada diriku. Jika benar Reni telah
meninggal, mengapa ia menghantuiku seperti ini. Apa sebenarnya salahku padanya,
seingatku aku tidak pernah berlaku kasar ataupun memulai konflik dengannya.
“Ggaaaarrrrrhhhh......”
puluhan sosok dengan kepala terpenggal itu masih mengejarku.
’Ohh tuhan, dosa apa yang telah kulakukan.’
batinku di sela isak tangis.
Langkah
kakiku berderap menaiki tangga semen berlumut itu.
Lututku
mulai ngilu, seakan tak sanggup lagi melangkah walau hanya sekali. Kuraih
pegangan tangga yang terbuat dari pipa sebesar lengan untuk menyeimbangkan
tubuh.
Kepalaku
kini menengadah keatas untuk memandang rangkaian anak tangga yang akan
kulewati.
“Nay..........”
Reni kembali memanggil namaku. “Tunggu aku Nay...........”
Aku tak
peduli lagi, aku tak ingin percaya lagi. Mulai detik ini, aku tak akan menaruh
kepercayaan pada siapapun. Teman, sahabat, kekasih, bahkan keluarga, semuanya
hanya menyimpan kebohongan.
Anehnya,
ketika aku menaiki tangga.
Aku bisa
berpindah dari lantai tiga ke lantai empat. Aku tak lagi terkurung di sana dan
akhirnya menjauh.
“Hihihihihihihi...........”
tawa itu begitu mengerikan.
Melengking tinggi
seperti suara derit pintu yang berulang-ulang. Reni masih mengejarku.
Sesaat aku
menoleh ke bawah tangga sebelum melanjutkan naik ke atap gedung.
Kepala Reni
yang sedang di dekap oleh kedua tangannya kini memandang ke atas seraya
bibirnya masih mengeluarkan tawa mengerikan.
’Tuhan... biarkan aku hidup....
pleaseee....’
Aku tak
dapat lagi menahan racauan dalam hati. Sorot mata Reni benar-benar nampak
bersungguh-sungguh. Mungkinkah ia yang menjadi dalang kematian para penghuni
rumah susun?
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.........”
saat melewati anak tangga dan menginjakkan kaki di lantai lima, aku kembali
menjerit kencang saat beberapa tangan kini melingkar di tubuhku.
“Lepaaaaaaaaassss....
LEPAS...” hardikku.
Bau busuk
yang menyegat kini tercium semerbak. Aku menoleh ke balik punggung dan
menemukan setidaknya tiga sosok tubuh tanpa kepala berada di sana.
Tangan-tangan berlumuran darah itu mencengkeram tubuhku
Aku meronta
sekuat tenaga.
Darah yang
melumuri tubuh mereka membuat cengkeraman kuat itu terasa licin. Dengan sebuah
kibasan kuat, aku melepaskan diri dan kembali berlari.
Aku tak bisa
lagi berdiam, atap gedung sudah dekat.
Aku tidak
tahu apakah di atas sana aku akan selamat, namun aku tak punya pilihan lain.
Setiap kali aku mencoba turun ke lantai bawah, maka aku akan kembali ke lantai
tiga.
Clank......
Kubuka
pengait pintu besi yang menghalangi langkahku dengan kasar.
Entah apa
maksudnya, namun sepertinya Reni ingin menyiksaku dalam ketakutan.
Karena, jika
ia memang berniat membunuhku, maka ia tak akan pernah membiarkanku lolos dari
kamar kontrakan tempat kami bercumbu.
Aku
menghambur ke atap gedung.
Di atas
sana, atap gedung itu adalah tempat terbuka dengan lantai beton setebal tiga
puluh sentimeter.
Tempat ini
jarang sekali didatangi siapa pun. Baik itu penghuni rumah susun atau bukan,
atap gedung ini selalu dihindari karena sangat panas di siang hari, dan sangat
mengerikan pada malam hari.
Malam ini,
suasana jauh lebih mengerikan.
Kendati
Jakarta selalu disebut sebagai kota yang tidak pernah tidur, namun saat ini
Jakarta seperti kota mati. Tak terdengar suara klakson kendaraan bermotor di
kejauhan, tak ada canda gurau para pemabuk di ujung jalan, yang ada hanya
langit kelam sepi, sunyi.
Bulan
purnama di atas sana bersinar begitu terang.
Entah apakah
semua ini karena aku terlalu banyak melihat darah atau memang karena fenomena
alam langka. Bulan itu bersinar kemerahan.
“Nay......MMmmmmmmmmhhhHHHHHH....”
suara Reni terdengar kembali.
Aku menoleh
seketika ke arah pintu masuk atap.
Reni dengan
kepalanya yang didekap erat di dada telah berdiri di sana.
“Akhirnya..........”
Reni berkata dengan nada puas.
~~Bersambung~~
Satu Dunia, Beratus Kisah, Beribu Cerita
Megatron21story
Satu Dunia, Beratus Kisah, Beribu Cerita
Megatron21story
.jpg)
Bagus nih
BalasHapusMakasih sudah datang membaca bro.... :D
Hapus