Satu Dunia, Beratus Kisah, Beribu Cerita
~~ 1 ~~
“Kamu bisa kerja yang bener gak sih? Dasar
tolol....”
“M-maaf bos... s-saya....”
Di salah satu sudut dapur, terlihat seorang manager
restoran sedang memaki seorang gadis pramusaji.
Pria yang mengenakan setelan jas panjang berwarna
cokelat senada dengan celana panjangnya, nampak membetulkan letak kacamatanya
yang sempat turun beberapa milimeter. Tubuh tambun dengan perut buncit serta
kulitnya yang kemerahan, membuat sang manager sangat pantas disebut babi yang sedang mengamuk.
‘Sstt... kenapa tuh dia?’
‘Ngak tahu gue.... sstt udah diem aja’
Bisik-bisik yang meluncur dari bibir mereka yang
menyaksikan keributan itu, terdengar pelan namun bersahutan. Mereka mencoba
menerka, apa sebenarnya yang menimpa si gadis malang.
Gadis itu menundukkan kepala, malu. Ia menyadari
bahwa dirinya memang telah melakukan sebuah kesalahan yang mampu mencoreng nama
baik restoran ternama sekelas RichTaste.
Sang manager menoleh sesaat ke jendela bundar yang
merekat kuat pada bingkai metal pintu dapur. Dengan mata
memerah karena menahan amarah, ia
mengintip sedikit ke ruang makan tempat para konglomerat berdompet tebal menyantap
makanan yang dihidangkan, lalu kembali menatap gadis pramusaji dengan tatapan
tajam.
“Kamu tahu seperti apa reputasi restoran ini?”
tanya sang manager dengan nada rendah yang berkesan mengintimidasi. Ia
mendekatkan wajah dan menatap tajam ke arah sang pramusaji yang gugup diterpa
berbagai pertanyaan.
“T-tahu bos...” sang pramusaji tak kuasa memandang
wajah sang manager saat itu. Didera caci maki dan kata-kata kotor menusuk hati,
ia hanya bisa diam meratapi nasib yang terlanjur terjadi sambil menundukkan
wajah menahan tangis.
“Tahu apa? TAHU APA??” suara sang manager
melengking tinggi, ia menggebrak meja hingga membuat seluruh jajaran helper dan koki serta pramusaji lain menoleh ke arahnya. “kamu jelas
ngak tahu apa-apa...”
“M-maaf bos...” sang gadis sempat terperanjat
mendengar suara gebrakan meja yang begitu keras, tekanan psikologis yang saat
ini ia alami benar-benar membunuh nyali dalam dirinya.
“MAAF...MAAF... heh, dengar ya... saya tidak akan
mentolerir keteledoran KAMU, walaupun kamu menangis dan memohon belas kasihan.
Mulai detik ini...” sang manager mengacungkan jari telunjuknya dengan tatapan
angkuh “Kamu bukan lagi karyawan RichTaste”
“T-tapi bos.....” sang gadis kini mengangkat
wajahnya, berusaha memohon sebuah pengampunan kepada sang manager.
“NGAK ADA TAPI-TAPIAN... KELUAR....” Pria itu
menghardik seraya mengarahkan jari telunjuknya ke arah pintu keluar dapur yang
mengarah pada sebuah lorong gelap, di mana sebuah tempat sampah besar berada. Pintu itu, adalah pintu keluar kedua dari sebuah dapur pengap yang
menjadi mesin uang bagi restoran RIchTaste.
Teringat bahwa ia memiliki sejumlah uang di saku
jasnya, manager itu merogohkan tangannya ke dalam jas dan meraih sebuah amplop.
“Bereskan barang-barang kamu..... ini upah untuk
hasil tidak berguna yang telah kamu kerjakan selama tiga minggu ini...” ia
meletakkan sebuah amplop cokelat dengan ekspresi wajah geram di atas meja yang
bersebelahan dengan mereka. Puas
melampiaskan amarahnya, pria itu melenggang pergi dengan langkah kaki yang
sengaja ia hentak-hentakkan. Sebelum keluar dari ruangan dapur, ia merapikan
jas yang ia kenakan, menghela napas sejenak, dan berusaha membuat senyum manis
sebelum melangkah keluar.
Satu kesalahan.
Ya, hanya satu kesalahan namun fatal, yang telah
mengirim nasibnya hingga berada di lembah keterpurukan, jurang kehancuran, dan
belenggu nasib yang senantiasa mencabik siapa yang tidak mampu bertahan.
Mata sang gadis pramusaji terlihat berkaca-kaca.
Bibirnya bergetar, ia mencoba mengucapkan sebuah
kalimat untuk meyakinkan sang manager. Namun, air mata yang sudah membasahi
pipi membuat gadis itu terhenyak. Ia kembali menundukkan wajah, membiarkan air
mata itu jatuh ke lantai. Hari ini, tepat tiga minggu sejak ia mulai bekerja,
ia mengakhiri karir sebagai seorang pramusaji restoran berbintang.
Gundah
Mungkin perasaan itulah yang sedang merantai
sebuah senyum hingga tak dapat menghiasi wajahnya.
Hidup memang tidak adil, terlebih untuknya.
Di saat ia benar-benar memerlukan sebuah pekerjaan
untuk bertahan hidup, ia harus menelan pil pahit.
Pikiran sang gadis pramusaji kini dipenuhi dengan
segala kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Diusir dari kamar kontrakan,
dimaki karena tidak bisa melunasi hutang, dan kelaparan karena tidak mempunyai
penghasilan.
Berbagai simpati yang ia dengar dari rekan-rekan
seprofesi tak mampu menyeret kegundahan itu pergi. Ia melepaskan aprons hitam
dengan logo RichTaste, melipatnya, dan meninggalkannya di dalam lemari loker
bertuliskan sebuah nama, Naya Evaliani. Di dalam loker itu ia mengambil seluruh
barang-barang miliknya. Sebuah tas berisi dompet dan handphone, baju ganti, dan
sebuah foto yang tersemat di pintu allumunium yang di cat abu-abu.
Foto itu teramat berharga, hanya foto itulah yang
mengobati sedikit kerinduannya pada sosok seorang ibu.
Tahu tidak, mengapa aku bisa menceritakan semua
ini?
Aku bisa menceritakan semua ini, karena pramusaji
itu adalah aku.
~Megatron21~
Mungkin memang salahku yang terlalu ceroboh.
Aku tak ingin menyalahkan siapa-siapa atas insiden
yang kualami tadi sore.
Insiden itu berawal saat aku ditugaskan mengantar
pesanan untuk meja bernomor 12A.
Saat itu, aku dengan percaya diri membawa sebuah
nampan berwarna cokelat dengan dua buah piring datar berwarna putih mengkilap
dan dua buah gelas berada di atasnya.
Dengan langkah santai, aku mendekati meja itu.
Di sana, aku melihat seorang pria muda bersama
kekasihnya. Mereka duduk berhadapan dengan sebuah gelas lilin bercahaya temaram
berada di antara tangan mereka yang saling bertahut mesra.
Ahh, sialnya pria itu sangat tampan.
Mungkin lelaki tertampan yang pernah bertatapan
muka secara langsung denganku.
Maklumlah jika aku sedikit salah tingkah saat
berhadapan dengan pria.
Mendiang ibuku selalu melarangku untuk berpacaran,
ia begitu membatasi pergaulanku. Beliau yang selalu memegang teguh norma-norma
agama dan kesopanan selalu berkata ’Lelaki itu semuanya brengsek, seperti
ayah kamu. Ibu agak mau kalau kamu sampai disakiti sama mereka’.
Aku mulai gugup memandang wajahnya yang rupawan,
senyumnya yang menawan, dan mendengar tutur katanya yang sopan. Tak salah jika
pria setampan dia mendapatkan wanita yang nyaris sempurna.
Wajah kekasihnya sungguh cantik dengan kulit
kuning langsat tanpa noda berbalut gaun putih panjang sebatas mata kaki.
Wajahnya sangat bersahaja dengan lesung pipi menghiasi salah satu sisinya.
Rambutnya yang dicat kecokelatan begitu menawan saat tergerai anggun dengan
ujung yang sedikit melingkar. Di bagian bawah, sebuah stileto dengan hak
runcing menjadi penghias kakinya yang jenjang.
“Mmh... akhirnya datang” sang pria menggumam saat
aku berjalan mendekati mereka.
“Selamat malam bapak, silahkan....” sapaku pada
mereka dan mulai menurunkan pesanan “dua Blackpepper steak wagyu dan dua Orange juice...”
Kutatap wajah pria itu dengan sorot mata lembut
saat aku menurunkan gelas pertama. Ia membalas tatapanku sejenak dan tersenyum.
Sang kekasih sepertinya cukup cemburu karena sang pria memalingkan wajah
darinya, dan tiba-tiba...
PRAAAANKKKK..........
Satu gelas Orange juice yang masih berada
di atas nampanku jatuh secara tidak sengaja dan mengenai piring yang baru saja
kuletakkan.
Jus jeruk kental itu memercik, dan menodai gaun
putih yang dikenakan oleh kekasih pria itu. Sang wanita sempat tertegun
sejenak, ia terdiam hanyut dalam insiden yang membuat seluruh pengunjung
menoleh ke arah kami.
PLAAAKK.......
Sebuah tamparan keras
melayang mengenai pipiku.
Wanita dengan gaun putih itu berdiri dan segera
berteriak.
“HEH.... PELAYAN TOLOL, LIAT-LIAT DONG......”
hardiknya.
Wajahku pucat pasi dengan rona merah berbentuk
telapak tangan di pipi. Sebuah bando yang kukenakan untuk menjaga tatanan
rambutku terlepas dan jatuh di lantai ruangan.
Saat itu, aku bisa melihat dengan jelas wajah
managerku yang duduk di sebuah meja yang berada di pojok ruangan bersama sang
pemilik resto. Wajahnya merah padam, sorot matanya tajam seakan ingin mengoyak
tubuhku.
Managerku bangkit, berjalan ke arahku, dan
menyeretku ke dalam dapur setelah mengucapkan beribu maaf pada pasangan di meja
nomor 12A.
Sisanya? Kalian sudah tahu apa yang terjadi.
~Megatron21~
Kini, aku duduk di dalam bus dengan tatapan
kosong. Meresapi kenangan pahit yang telah terukir di catatan hidupku. Masih
terbayang betapa pedih saat telapak tangan itu meluncur ke wajahku. Aku
mengusap pipiku sejenak dan menemukan sebuah guratan kecil di sana. Mungkin
luka ini disebabkan karena cincin yang dikenakan wanita itu.
Biasanya aku sangat menyukai momen saat bus yang
kutumpangi berjalan sehingga aku bisa memandang keluar jendela. Menyaksikan
hiruk-pikuk orang pulang kantor, dan kilauan lampu jalan yang temaram
menenangkan. Mereka sama lelahnya denganku, berjalan dengan langkah gontai
sehabis memeras tetesan keringat. Kau tahu? Itu sangat menenangkanku. Aku
bersyukur bahwa bukan hanya aku yang mengalami sesaknya tercekik dalam belenggu
kebutuhan hidup.
Namun, hari ini aku benar-benar tidak berselera
memandang apapun. Sudah cukup masalah yang ditimbulkan karena aku memandang
sesuatu. Terlebih, belakangan ini aku merasakan sebuah perasaan aneh ketika
sedang berjalan di kegelapan. Seperti ada seseorang yang mengikuti.
Tringgg..
Handphoneku berbunyi di dalam
tas yang kupeluk erat.
Aku meraih harta satu-satunya milikku dari dalam
tas, membuka handphone dengan desain clamshell dengan motif hati
berwarna pink dan mengecek notifikasi yang muncul. Sebuah SMS.
‘Hai Naya... sedang apa?’ bunyi SMS itu
Ternyata SMS itu dari Tomi. Seorang pria asing
yang kukenal dari SMS nyasar.
Aku belum pernah bertemu dengannya, bahkan
mengetahui tampangnya saja belum pernah. Aku seperti menjalani sebuah blind date saat ini, walaupun
hubungan kami tak lebih dari teman ngobrol semata.
“Aku lagi stress Tom, maaf” jawabku.
Setelah aku menekan tombol hijau yang tersemat di
antara keypad, sebuah gambar amplop putih terlihat di layar handphone,
menandakan SMS balasan telah kukirim padanya.
Sudah hampir satu bulan aku mengenal nama Tomi.
Kami hanya berkomunikasi melalui SMS tanpa pernah
menelepon atau mengajak bertemu. Kumatikan profil suara pada handphoneku yang
agaknya sudah ketinggalan jaman, menyisakan profil silent tanpa getaran
agar menjaga SMS tetap masuk tanpa harus mengganggu lamunanku.
‘Oh tuhan.... aku harus apa’ batinku. Air
mata mulai membuat pandanganku membias. Aku mencoba menarik napas panjang untuk
menenangkan diri, namun dadaku justru sesak oleh segala kegundahan yang ingin
kutumpahkan dalam tangis.
Entah cobaan apa lagi yang diberikan Tuhan. Aku
kini terkurung bersama orang-orang yang sama lelahnya denganku. Semua itu membuatku
mengurungkan niat untuk menangis, aku tak tega bila membuat mereka menerka ’ada
apa gerangan?’.
Setelah dua bulan berselang sejak ibuku meninggal
dunia, hidupku kini terlunta-lunta. Sementara ayahku? Dia mungkin sedang
bersenang-senang bersama wanita jalang entah di mana. Pria brengsek itu
meninggalkanku bersama ibu saat usiaku baru menginjak lima tahun. Alasannya
sederhana, menurut cerita ibu, ayah meninggalkan dirinya karena vagina ibu
dirasa sudah tidak nikmat lagi setelah melahirkan aku.
Apakah semua pria selalu berpikir layaknya
bajingan itu? Mungkin ibu benar.
Andai kata kenyataan berkata seperti itu, maka aku
akan memilih menjadi lesbian atau lajang seumur hidup. Tapi aku bukan ibuku.
Kendati ia begitu mengekang pergaulanku, aku tetap berprinsip untuk membuka
hati bagi para pria. Berharap naif, bahwa seorang pangeran tampan dengan kuda
putih akan menjemputku suat hari nanti.
Kini tinggallah aku sendiri, meratapi nasib di
tengah ibukota Jakarta yang kejam.
Pergantian bulan hanya tinggal menghitung hari,
sementara restoran tempatku bekerja tidak memberikan pesangon sepeser-pun
dengan alasan masa kerjaku yang belum genap satu bulan. Hanya amplop cokelat
berisi uang satu juta rupiah yang kudapat sebagai imbalan kerja kerasku selama
tiga minggu ini.
Beban uang sewa kontrakan sudah di depan mata.
Demikian juga dengan hutangku pada seorang teman sebesar tiga ratus ribu
rupiah, di mana aku berjanji akan kulunasi saat awal bulan nanti. Memikirkan
semua itu, setitik air mata meluncur tanpa bisa kucegah.
Aku mulai berpikir.
Haruskah aku mengubah pendirianku untuk tetap
suci?
Seorang sahabat pernah menawariku untuk menjual
keperawanan beberapa hari setelah ibuku tiada. Saat itu ada seorang pria
kenalannya yang sangat tertarik dengan kemolekan tubuhku. Sahabatku memang
akrab dengan dunia malam, atau mungkin lebih tepat dikatakan bahwa ia
menggantungkan hidup di sana.
Tapi, aku menolak tawaran itu dengan halus.
“Sory, gue belom siap untuk itu...” jawabku
padanya.
‘Sory Nay... gue ngak bermaksud menilai lu
sebagai cewek murahan kayak gue’ ucapnya melalui telepon kala itu. Suaranya
sedikit gundah. Aku mengerti maksudnya dengan baik, ia hanya ingin menolong.
Tapi mahkota berkilau ini tak mungkin kuberikan begitu saja. Ini adalah kado
spesial yang akan kupersembahkan bagi seorang pria yang kelak akan
mendampingiku seumur hidup.
Itu adalah telepon terakhir yang kuterima darinya,
sejak saat itu ia tak lagi menghubungiku.
Mungkinkah ia marah? Aku tak tahu pasti. Yang
jelas, sahabatku itu bukanlah orang yang gampang tersinggung. Hubunganku
dengannya sangatlah dekat, kami sudah seperti saudara kandung.
Ya... aku tahu seperti apa gemerlap dunia malam.
Dibandingkan sahabatku itu, aku tidak kalah cantik.
Jika hanya nominal beberapa juta, mungkin aku akan
mendapatkannya dengan mudah dalam satu malam. Tapi inilah aku. Saat itu aku
hanya seorang remaja naif yang menjunjung tinggi sebuah kesucian. Bermimpi dan
berangan, bahwa kehidupan akan selalu berjalan baik.
Biar saja orang berkata apa... Mereka tidak
tahu aku siapa...
Karena memang hanya batin ini yang tahu mengapa...
Walau langkah ini tidak tahu harus kemana...
Setidaknya aku percaya, takdir akan memberitahuku
harus bagaimana...
~Megatron21~
“Ehh nak Naya sudah pulang... Tumben pulangnya
cepat?” sapa seorang wanita paruh baya yang kala itu terlihat sedang membawa
beberapa bungkus mie instan. Wanita itu bernama Bu Shinta, tetangga yang
bersebelahan kamar kontrakan denganku.
“Iya bu... hari ini aku ngak enak badan...” aku berusaha
berbohong.
Betapa menyedihkan keadaanku saat ini, tak
mempunyai pekerjaan, tak mempunyai uang tabungan, segalanya seperti hancur hingga
tak bersisa bahkan serpihannya sekalipun.
Aku mengeluarkan kunci kamar dengan gantungan
berbentuk figur hello kitty dari kantung jaketku. Kumasukkan anak kunci
itu ke dalam lubang sempit yang terbuat dari logam, dan kuputar beberapa kali
hingga pintu dapat kubuka.
Hal pertama yang terpikirkan olehku adalah mandi.
Ya, dengan membersihkan diri kuharap bisa membasuh kesialan yang hinggap hari
ini.
Aku berjalan menuju bilik kamar mandi di sudut
ruangan.
Bak mandi di sana telah kosong. Kebocoran pada
lubang pembuangan telah menguras air di dalamnya perlahan hingga habis. Kuputar
keran air plastik berwarna hijau yang berada di sisi atas bak mandi untuk
mengisi kembali air yang akan kugunakan.
Cuuurrrr...........
Suara air mengucur
bergema di dalam kamar mandi berlumut yang berada di dalam bilik kamar
kontrakanku. Keringat dan peluh sudah memaksaku untuk segera melepas busana
yang kukenakan.
‘Apa iya aku cantik?’ tanyaku pada diri
sendiri.
Satu persatu, busana yang membalut tubuhku mulai
kutanggalkan. Kaus berwarna krem kulemparkan ke atas ranjang bersama dengan
celana denim belel yang kurobek di bagian lutut dan paha sejak aku
membelinya.
Aku memutar badanku sejenak, sambil melirik ke arah
cermin.
Bayangan tubuh semampai dengan tinggi 168
sentimeter terpantul di sana. Memperlihatkan pada mataku betapa indah lekuk
tubuh ini. Kulitku yang kuning langsat kini tertimpa cahaya lampu neon yang
setia bertengger di bawah plafon kamar itu. Jika boleh sedikit narsis, aku akan
dengan percaya diri mengatakan bahwa wajahku cukup cantik dengan rambut hitam
lurus tergerai sebatas bahu
‘Mmhh... iya juga ya. tubuhku ideal ternyata’ komentarku pada bayangan tubuh tanpa lemak yang terpantul di cermin.
Aku meraih kedua payudaraku dengan tangan,
mengangkatnya sejenak sebelum meremas dua gundukan daging lembut berbalut bra
36C yang kukenakan. Dengan cekatan aku melepas dan melemparkan bra berwarna
putih yang menyangga payudaraku ke atas ranjang.
Kenyal namun padat. Itulah kesan
yang tertangkap pada indera peraba saat aku meremas pelan bukit kembar yang
menghiasi dadaku.
Aku memandang sejenak, mencoba meresapi keindahan
lekuk tubuhku, perutku yang rata, ukuran payudaraku, dan warna puting susuku
yang kemerahan.
Tanpa kusadari puting susuku mulai mengeras.
Aku meraih keduanya dengan jari, lalu memilinnya
perlahan.
Lecutan rangsangan pada syarafku membuat kelopak
mata ini terpejam.
‘Mmmhh..... Mereka di luar sana pasti ingin
mengecup dan menghisapnya’ fantasiku mulai terbang entah kemana.
Aku semakin larut dalam khayalanku sendiri.
Membayangkan betapa mudahnya aku menuai lembaran
rupiah dengan menjajakan tubuh suci ini.
‘Ummmmhhh..... nikmati tubuhku wahai para
pria...’ gumamku dalam hati.
Kini perhatianku teralih pada celana dalam berenda
sedikit transparan yang masih kukenakan. Menerawang sejenak, dapat kulihat
siluet hitam dibaliknya.
Aku membungkukkan badan, meraih kedua sisi celana
dalam yang melekat pada pinggangku, dan menariknya ke bawah hingga mata sebatas
lutut. Tenunan yang membalut segitiga erotis itu jatuh hingga mata kaki. Dengan
menginjak celana dalam itu menggunakan sebelah telapak kaki, aku melepaskan
lalu membiarkannya berada di lantai.
Bulu kemaluanku yang tipis kini bercengkerama
bebas dengan udara kamar yang pengap.
Sedikit keringat yang menempel di sana sama sekali
tak mengubah aroma daerah kewanitaanku menjadi tidak sedap.
Seraya tetap memandang ke arah cermin, aku
menyibak lipatan vaginaku dengan dua jari, lalu mulai menggigit bibirku sendiri
seraya menikmati sensasi yang kurasakan.
Di sana, sebuah liang surgawi seorang gadis masih
tersegel oleh selaput dara yang menjadi bukti bahwa aku masih seorang wanita
suci.
‘Kalian menginginkan ini? Mmmhhhh?’ batinku.
Craaazzz....crakk...crakkk...
Suara itu membuatku menoleh.
Khayalan yang melayang di sekitar kepalaku buyar
saat aku mendengar suara air yang meluap keluar dari bak mandi. Rupanya, bak
mandi di dalam sana sudah penuh.
Aku segera meraih handuk berwarna biru yang
menggantung para seutas tali yang kuikatkan pada tembok dan berjalan
melenggak-lenggok bak seorang model menuju kamar mandi dengan tubuh yang tak
berbusana. Kamar mandi memang tempat paling pribadi yang kuketahui. Di sana aku
bebas melakukan hal-hal yang hanya terbayang dalam khayalanku.
Byuurrr....... byurr.........
Air dingin yang membasahi tubuhku sedikit
meredakan gundah. Membawa segala kepedihan mengalir menuju sebuah lubang yang
tersemat di lantai kamar mandi.
Kuputar keran air itu ke arah kanan untuk
menghentikan aliran airnya, setelah itu aku menyibukkan diri dengan sebatang
sabun beraroma mawar.
Selagi bersenandung dalam gundah, aku mengusapkan
sabun itu ke seluruh tubuh.
Aroma mawar kini merebak pada ruangan kecil
berlumut yang berukuran 1.5 x 1.5 meter.
Tubuhku yang licin membuat jemariku meluncur dengan
mudah saat mengusapnya.
‘Mmmhhhhh......’ aku menggumam dalam hati
saat sentuhan-sentuhan tanganku merayap di atas kedua payudara ini. Putingku
yang mengeras semakin menantang jemari ini untuk memilinnya.
“Sssshhhh..mmmhh....” aku mendesis nikmat. Dalam
khayalku, aku membayangkan ada seorang pria yang sedang mengulum kedua
putingku.
Pikiranku yang teramat gundah semakin mendorong
niatku untuk bermasturbasi.
Dengan sebelah telapak tangan yang kurentangkan,
aku menyentuh kedua putingku dengan jari tengah dan ibu jari lalu mulai
menggetarkan kedua puting susuku.
Sementara itu, tanganku yang lain mulai meraba
daerah selangkangan, menyibak lipatan vagina dan memainkan klitorisku dengan
jari tengah. Badai rangsangan yang kulancarkan membuat mataku memejam erat.
Seluruh otot yang merekatkan tubuh ini bergetar, bagai diterpa gelombang baha
dahsyat yang datang bertubi-tubi.
“Mmmhh.... aahh.....”
Dalam pandangan mata terpejam, bayangan pria
tampan di restoran sore tadi kembali hinggap dalam khayalan.
‘Kau suka ini
sayang.....mmmhhhhhhh.............’ aku kembali meracau dalam hati.
Jari tengahku yang bercengkerama dengan klitoris
di bawah sana kugerakkan dengan cepat.
Pikiran jahat mulai merasuki kepalaku. Ingin
sekali aku membalaskan dendam kepada kekasihnya yang telah meninggalkan rona
merah di pipiku. Kupikir tak akan sulit, pria itu laksana seekor kucing yang
selalu mendelikkan mata saat ia melihat seekor ikan. Terlebih jika sang ikan
menggodanya dengan berkata ’aku lezat...’.
“Mmh...ahh..ahh....”
Melakukan masturbasi sungguh nikmat, setelah
bertahun-tahun melakukan hal ini, aku mulai terobsesi untuk melepaskan
keperawananku. Aku ingin merasakan penis menancap di sana, mengisi rongga
kenikmatan ini hingga penuh sesak oleh batang kejantanan pria tampan itu.
“Aaahhhh....aahhh......” racauanku semakin
menjadi-jadi. “Kau lihat wanita tak tahu diri..... kekasihmu sedang menikmati
tubuhku....aaaakkkhhh”
Nikmat sekali sensasi yang kurasakan saat ini,
untuk pertama kalinya kuberanikan diri untuk menusuk liang vaginaku dengan
jari.
“Aauuuww....” aku memekik tertahan. Mataku yang
terpejam erat seketika terbelalak.
Sepertinya jemariku menyentuh selaput dara saat
masuk beberapa sentimeter ke dalam.
Aku segera menariknya kembali. Aku tak ingin kehilangan
keperawanan tanpa mendapatkan apa-apa selain kepuasan. Pada saatnya nanti, aku
akan menjual keperawananku dengan harga tinggi.
“Aaaaakkkkhhhhh......” aku melenguh panjang.
Harus kuterima kenyataan, bahwa aku harus puas
mendapat orgasme ringan dengan mencumbui klitorisku sendiri.
Malam semakin larut, aku tak ingin berlama-lama
kedinginan di sini.
Segera kubasuh sisa-sisa sabun yang hampir
mengering, lalu melilitkan handuk dan keluar dari kamar mandi.
~~Bersambung~~
Satu Dunia, Beratus Kisah, Beribu Cerita
Megatron21story
Satu Dunia, Beratus Kisah, Beribu Cerita
Megatron21story
.jpg)
0 komentar:
Posting Komentar
Jangan cuma baca aja, komen dong.