Tampilkan postingan dengan label dewasa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label dewasa. Tampilkan semua postingan

Friend or Fiend - Chapter 4

Satu Dunia, Beratus Kisah, Beribu Cerita
Megatron21story





~~ 4 ~~






“Jadi.... ngomong-ngomong kenapa tiba-tiba lo ke sini Ren?” tanyaku.
Reni masih bertelanjang ria di kamar ini, ia dengan riang bersenandung kala tubuhnya sedang menindih tubuhku.
“Yah.... gue lagi ada masalah” jawabnya seraya terus memainkan kedua payudaraku.


“Lu mah masalah mulu di koleksi...”
“Habis mau gimana lagi? Cowo udah dikoleksi, sepatu udah, tas udah, baju... jangan ditanya kalo yang itu hihihi....” ia tersenyum.
“Sombong....”


“Hihihi.... yang gitu deh, lagi ada masalah sama seseorang...” lanjutnya.
“Dimana? Diskotik?” tanyaku.


Reni mengangguk.
“Masalah besar... gue ngak akan balik lagi ke sana...” lanjutnya.
“Lho... trus? Lu mau kerja apa?”
“Gue udah ninggalin dunia itu Nay...” jawab Reni.


“Ohhh bagus deh.... moga-moga lu ngak kaya gitu lagi....”
“Ngak akan kok.... gue udah ngak akan pernah kerja kaya gitu lagi...”


Syukurlah, aku pikir Reni tak akan pernah mau beralih dari profesinya sebagai penjaja tubuh. Aku cukup miris melihat kehidupan yang ia jalani selama aku mengenal sosok Reni. Akhirnya sekarang ia terbebas dari jerat itu dan menjalani hari-hari baru.


“Udah ahh... gue numpang mandi ya...” ucapnya.
“Iya... sono pake aja...”
Reni bangkit, ia menyambar handuk biru milikku dan bergegas menuju kamar mandi.


Tringgg...
Handphoneku kembali berbunyi.


‘Loh... SMS dari Tomi lagi...’ batinku.
Jam di sudut layar handphone telah menunjukkan pukul satu dini hari. Apakah orang ini tidak pernah tidur? Jangan-jangan dia sebangsa kalong atau semacamnya.


‘Nay... sudah baca koran belum?’ tanya Tomi dalam SMS itu.


‘Apa pula maksudnya?’ batinku.
Aku baru ingat bahwa aku membeli koran saat singgah di minimarket tadi malam.
Kantung plastik bergambar logo minimarket itu masih teronggok di atas meja. Roti sobek yang tadi kumakan masih tersisa satu potong.


Aku mengenakan celanaku yang sempat dilepaskan oleh Reni.
Udara malam yang dingin tak boleh membuatku masuk angin, aku harus berjuang mencari pekerjaan baru esok pagi.


Kuraih kantung plastik itu.
Di dalamnya aku mengambil surat kabar yang kubeli.
‘Apa Tomi mau aku baca berita?’ batinku.


Kertas koran berwarna abu-abu itu kubentangkan di hadapanku.
’Halah, pemberitaan soal artis melulu’ gumamku dalam hati saat menemukan berita tentang publik figur yang baru melangsungkan pernikahan di pulau dewata.


Perlahan-lahan aku menyusuri tiap kolom berita utama hingga mataku terbelalak saat memandang ke pojok lembaran kertas abu-abu itu.


‘pihak kepolisian masih mengusut sebuah kasus pembunuhan yang terjadi di diskotik Exotica sebulan yang lalu. Korban yang berjenis kelamin wanita diketahui bernama Reni Anggraeni adalah seorang wanita panggilan yang saat itu sedang menemui seorang klien.


Wanita malang itu dibunuh dengan sadis. Kepalanya terpotong dengan isi otak berceceran, sementara isi perutnya terburai keluar dari luka sayatan pada perutnya yang berlumuran darah.
Pelakunya tak lain adalah sang klien sendiri, yang saat ini masih buron.’


 Crk..crkk..crrk...crrk....
Kedua tanganku yang menggenggam lembaran koran itu bergetar.


’Ngak.... ini gak mungkin...’


Bibirku tiba-tiba ikut gemetar seperti tanganku.
Reni Anggraeni adalah nama lengkap Reni. Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi?
Baru saja aku melakukan permainan panas bersama dirinya, dan sekarang aku mengetahui bahwa nama Reni Anggraeni disebut sebagai salah satu korban pembunuhan.


“lu gemetar karena kedinginan, atau karena sudah tau?” sebuah suara tiba-tiba membuatku tercekat. Aku terlonjak dari posisi dudukku di tepi ranjang.
Lembaran koran itu masih terbentang di hadapanku, dan aku dapat menerka dengan pasti, asal suara itu berada di balik lembaran koran ini.


Deg.....Deg......Deg.......
Jantungku kembali terpacu.


Rasa dingin yang tiba-tiba menyeruak kini menusuk ke dalam kulitku. Tulang belulangku yang tak dapat mentoleransi hawa dingin itu mulai ngilu. Aku benar-benar takut sekarang. Seluruh bulu kuduk kini berdiri serempak. Kulemparkan surat kabar yang kugenggam ke samping.


Di hadapanku, tepat di ambang pintu kamar mandi, sosok Reni yang tanpa kepala sedang berdiri mematung.


“Hhhhhhhh...........” napasku tercekat saat menyaksikan pemandangan itu.


Bercak-bercak darah menghiasi leher hingga busana yang membalut tubuhnya. Benar-benar mengerikan. Perutnya di sobek hingga aku bisa melihat usus dan organ lainnya menggantung keluar. Seumur hidupku, baru kali ini aku menemukan kengerian yang sesungguhnya. Apapun penyebabnya, kau bisa sebutkan satu persatu. Pocong? Kuntilanak? Vampir? Werewolf? Apapun yang bisa kau temui di film layar lebar. Semua itu tak ada apa-apanya dibanding kengerian yang saat ini kualami.


Napasku tercekat, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Aku hanya menggeleng kecil seraya memandang sosok tubuh Reni dengan mata membelalak ngeri.
“Naya......” ia kembali bersuara. Lirih dan dalam. Nada suara itu bergetar seakan menikam jantungku agar berhenti berdetak.


‘T-tapi bagaimana bisa?’ Batinku mulai bertanya-tanya.
Mungkinkah sesosok arwah dapat berbicara tanpa bantuan mulut.


“R-R-Ren....... R-Ren.....” kata-kata itu seakan tak mau keluar. Lidahku yang saat ini kelu menyembunyikan kata-kata itu dengan baik di dalam tenggorokanku.


“Nay.....”


“Hhhhhh...........” aku mencoba mengambil napas sebisaku. Nyali dalam diriku benar-benar sudah mati.
Tubuhku kini benar-benar kaku. Ketakutan yang teramat sangat sudah menyelubungi diriku.
Suara panggilan kedua tadi terdengar cukup dekat, tidak seperti panggilan pertama.


“Dibawah Nay.....”
Aku sontak menundukkan wajah.


“KYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA...............................”


Teriakan itu tak dapat kutahan lagi.
Tepat di depan vaginaku yang terbalut celana jeans, seonggok kepala telah berada di sana, kepala Reni.
Bercak-bercak darah yang menempel membuat seringai yang disuguhkan Reni begitu mengerikan.


Aku meraih handphone yang tergeletak di samping tubuhku dan berusaha merangkak mundur menjauhi kepala itu.


“Nayyy....aaakhhh....Nayyy........” kepala Reni yang teronggok di tepi ranjang mulai memanggil-manggil namaku.
Panggilan itu..... panggilan itu adalah kalimat di mana Reni sangat menginginkan aku.
Aku seketika melompat turun dari ranjang dan berlari ke arah pintu masuk.


“BRAAAAAAK..............”
Kubanting daun pintu dengan keras saat aku keluar dari kamar.


Dengan tubuh gemetar ketakutan, kucoba menggedor kamar Bu Shinta.
“Buu.... bu Shintaaaa.. tolooonnggg.......”
Dokk....dok....dokk.....


Clekk.....  Pintu itu membuka sedikit karena gedoranku, daun pintu itu ternyata tidak dikunci.
Aku meraih handle pintu dengan tergesa-gesa dan mendorongnya.
“Bu Shin......” aku kehabisan kata.


Di hadapanku, kamar Bu Shinta tak ada ubahnya seperti panggung cerita horror.
Darah di mana-mana, Bu Shinta beserta anak-anaknya telah mati. Kepala mereka yang terpenggal berjajar rapi di tengah ruangan, sementara tubuh mereka terbaring kaku tak tentu arah.
“N-n-ngak........ ini......” aku tiba-tiba teringat dengan suara gaduh yang sempat ku dengar dari kamar Bu Shinta. Mungkinkah suara itu tercipta saat mereka binasa?


“Nay..... jangan lari......” sebuah bisikan kudengar.
Aku menoleh dan melihat bayangan Reni mulai muncul dari jendela kamarku.
Aku kembali ke lorong, lalu berlari menuju tangga untuk turun ke lantai dasar dan lari meninggalkan rumah susun ini.


“Nay.......” sayup-sayup suara Reni masih memanggilku.


Aku terburu-buru menuruni tangga hingga nyaris terpeleset karena anak tangga semen yang mulai berlumut.


L-looohhh.......’ mataku, satu-satunya indera yang bisa kupercaya. Kini tak bisa dipercaya lagi.
Kendati aku sudah berada di bawah tangga, namun aku masih berada di lantai tiga. Lorong itu sangat kukenali.


Aku menoleh ke kanan, ke arah pintu kamarku yang kini terbuka dengan cahaya lampu terpancar dari dalam kamar.
“Nayyy....aaakhhh....Nayyy........” sosok Reni yang mendekap kepalanya di pinggang muncul perlahan.


“AAAAAAAAAAAHHHHHHHHH..........” aku berteriak sejadi-jadinya, berusaha membangunkan orang-orang yang telah terlelap dalam kantuk.
Aku segera menghambur turun kembali menuruni tangga.


Tringgg...
Handphone yang kugenggam kembali berbunyi, nyaris saja aku terperanjat oleh benda bergetar di dalam genggamanku.


Aku tak punya waktu untuk melihat SMS dari siapa itu. aku terus berlari menuruni anak tangga itu lagi.
“Nay......MMmmmmmmmmhhhHHHHHH....” suara Reni terdengar semakin dekat. Desahan itu, desahan saat Reni benar-benar hampir menggapai apa yang diinginkannya.


Entah sejak kapan air mataku mengalir membasahi pipi, bibirku bergetar hebat.
Rasa takut yang menyelubungi pikiranku, kini menjadi pemacu adrenalin yang membuatku terus berlari.


Aku kini sudah berada di bawah anak tangga.
Namun sama seperti tadi, aku masih tetap berada di lantai yang sama.


‘Adaa apaaaaaa iniiiiiii.........’ batinku meronta.
Aku makin kehabisan akal. Aku tak mungkin terus berlari berputar-putar.
Aku harus mencari akal.


“Nay..........” suara Reni semakin dekat.
Degup jantung yang kurasakan, seakan ingin membunuh diriku.


Ting.. tring....ting...ting.. Tring..  
Lagu Canon in piano mulai melantun dari handphoneku yang bergetar.
Seseorang sedang menelepon ke nomorku.


Kupandangi sejenak layar handphone itu, nama Tomi terpampang di sana.
“Ha-halo...” aku berdiri terpaku menjawab telepon dari Tomi sambil menoleh ke kiri dan ke kanan.
‘Nay..... jangan banyak berpikir... kamu harus naik ke lantai atas...’ ucap Tomi di ujung saluran telepon sana.


“Nay......MMmmmmmmmmhhhHHHHHH....” suara Reni terdengar kembali.
Kali ini sungguh dekat. Dadaku masih naik turun menggapai udara saat aku kembali menoleh ke kanan dan ke kiri mencari sumber suara itu. Handphoneku masih menempel lekat-lekat di telinga.


‘Nayyyyyy............. lariiiiii.............’ Tomi berteriak.
Saat itu tiba-tiba kurasakan rasa sakit yang teramat sangat dari pergelangan kakiku.
“AAKKHH...”


Sontak aku mengibaskan kaki dan memandang ke sana. “KYAAAAAAAAAAAAAA...............” aku kembali menjerit.
Reni, lebih tepatnya kepala Reni sedang menggigit pergelangan kakiku.
Matanya yang merah menyala benar-benar menyiratkan hasrat untuk membunuh.


Aku meronta, kakiku kukibaskan dengan kuat hingga gigitan kepala Reni terlepas.
Kepala itu sempat terlontar membentur dinding sebelum menggelinding ke arah sepasang kaki yang berdiri kaku.


Tubuh Reni yang tanpa kepala bersimbah darah berdiri di sana.
“Nay.... lo kok jahat sama gue....” Reni berkata dengan sorot mata benci dari kepalanya yang tergeletak di lantai.


“Jangan lari Nayy.... jangan lari.........” Reni berbisik
Saat itu, seluruh pintu yang berada di lorong tiba-tiba terbuka dan menimbulkan suara gaduh.
 BRAKK....BRAKKK...BRAK........
Dari sana, muncul puluhan sosok yang menenteng kepalanya masing-masing.
“Aaaarrrrkkk....kkkrrrkkkkk..... Naaaya.....” suara parau kini bersahutan memanggil namaku.
Raut wajah dari kepala-kepala yang terpenggal itu sangat kukenali. Mereka adalah tetanggaku yang sama-sama tinggal di rumah susun ini. Di antara mereka, aku bisa melihat Bu Shinta beserta anak-anaknya.


“Hiks...hikss.... please... jangan sakitin gue Ren.... p-please.....” air mata ini semakin deras mengalir.
Dadaku sesak, napasku tercekat, kakiku gemetar, sungguh aku tidak ingin mati. Tidak sekarang, tidak di sini.


Aku tak mau membuang waktu lagi. Segera kunaiki tangga untuk kabur dari kejaran Reni.
Aku masih tak mengerti apa sebenarnya yang terjadi pada diriku. Jika benar Reni telah meninggal, mengapa ia menghantuiku seperti ini. Apa sebenarnya salahku padanya, seingatku aku tidak pernah berlaku kasar ataupun memulai konflik dengannya.


“Ggaaaarrrrrhhhh......” puluhan sosok dengan kepala terpenggal itu masih mengejarku.
’Ohh tuhan, dosa apa yang telah kulakukan.’ batinku di sela isak tangis.


Langkah kakiku berderap menaiki tangga semen berlumut itu.
Lututku mulai ngilu, seakan tak sanggup lagi melangkah walau hanya sekali. Kuraih pegangan tangga yang terbuat dari pipa sebesar lengan untuk menyeimbangkan tubuh.


Kepalaku kini menengadah keatas untuk memandang rangkaian anak tangga yang akan kulewati.
“Nay..........” Reni kembali memanggil namaku. “Tunggu aku Nay...........”
Aku tak peduli lagi, aku tak ingin percaya lagi. Mulai detik ini, aku tak akan menaruh kepercayaan pada siapapun. Teman, sahabat, kekasih, bahkan keluarga, semuanya hanya menyimpan kebohongan.


Anehnya, ketika aku menaiki tangga.
Aku bisa berpindah dari lantai tiga ke lantai empat. Aku tak lagi terkurung di sana dan akhirnya menjauh.


“Hihihihihihihi...........” tawa itu begitu mengerikan.
Melengking tinggi seperti suara derit pintu yang berulang-ulang. Reni masih mengejarku.


Sesaat aku menoleh ke bawah tangga sebelum melanjutkan naik ke atap gedung.
Kepala Reni yang sedang di dekap oleh kedua tangannya kini memandang ke atas seraya bibirnya masih mengeluarkan tawa mengerikan.


’Tuhan... biarkan aku hidup.... pleaseee....’
Aku tak dapat lagi menahan racauan dalam hati. Sorot mata Reni benar-benar nampak bersungguh-sungguh. Mungkinkah ia yang menjadi dalang kematian para penghuni rumah susun?


“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.........” saat melewati anak tangga dan menginjakkan kaki di lantai lima, aku kembali menjerit kencang saat beberapa tangan kini melingkar di tubuhku.


“Lepaaaaaaaaassss.... LEPAS...” hardikku.
Bau busuk yang menyegat kini tercium semerbak. Aku menoleh ke balik punggung dan menemukan setidaknya tiga sosok tubuh tanpa kepala berada di sana. Tangan-tangan berlumuran darah itu mencengkeram tubuhku


Aku meronta sekuat tenaga.
Darah yang melumuri tubuh mereka membuat cengkeraman kuat itu terasa licin. Dengan sebuah kibasan kuat, aku melepaskan diri dan kembali berlari.


Aku tak bisa lagi berdiam, atap gedung sudah dekat.
Aku tidak tahu apakah di atas sana aku akan selamat, namun aku tak punya pilihan lain. Setiap kali aku mencoba turun ke lantai bawah, maka aku akan kembali ke lantai tiga.


Clank......
Kubuka pengait pintu besi yang menghalangi langkahku dengan kasar.


Entah apa maksudnya, namun sepertinya Reni ingin menyiksaku dalam ketakutan.
Karena, jika ia memang berniat membunuhku, maka ia tak akan pernah membiarkanku lolos dari kamar kontrakan tempat kami bercumbu.


Aku menghambur ke atap gedung.
Di atas sana, atap gedung itu adalah tempat terbuka dengan lantai beton setebal tiga puluh sentimeter.
Tempat ini jarang sekali didatangi siapa pun. Baik itu penghuni rumah susun atau bukan, atap gedung ini selalu dihindari karena sangat panas di siang hari, dan sangat mengerikan pada malam hari.


Malam ini, suasana jauh lebih mengerikan.
Kendati Jakarta selalu disebut sebagai kota yang tidak pernah tidur, namun saat ini Jakarta seperti kota mati. Tak terdengar suara klakson kendaraan bermotor di kejauhan, tak ada canda gurau para pemabuk di ujung jalan, yang ada hanya langit kelam sepi, sunyi.


Bulan purnama di atas sana bersinar begitu terang.
Entah apakah semua ini karena aku terlalu banyak melihat darah atau memang karena fenomena alam langka. Bulan itu bersinar kemerahan.


“Nay......MMmmmmmmmmhhhHHHHHH....” suara Reni terdengar kembali.


Aku menoleh seketika ke arah pintu masuk atap.
Reni dengan kepalanya yang didekap erat di dada telah berdiri di sana.


“Akhirnya..........” Reni berkata dengan nada puas.





~~Bersambung~~






Satu Dunia, Beratus Kisah, Beribu Cerita
Megatron21story

Friend or Fiend - Chapter 3

Satu Dunia, Beratus Kisah, Beribu Cerita
Megatron21story






~~ 3 ~~





Tok....tok....tok....
Pintu kembali diketuk dari sisi luar. Aku melirik sesaat ke arah jam dinding. Jarum jam di sana menunjukkan pukul 00:13.


Deg...deg...deg...
Jantungku semakin terpacu saat mengingat bahwa saat ini sudah lewat tengah malam.
Air mataku terus bercucuran, namun kali ini jauh lebih deras dibandingkan tangis yang kualami seumur hidup. Mungkin yang bisa menyamai tangis itu, hanyalah air mataku yang mengalir saat ibu dimasukkan ke liang lahat.


Aku duduk bersimpuh, tanganku mengepal erat aku masih memandang penuh ketakutan ke arah pintu kontrakanku. Di bawah celah pintu, aku dapat melihat bayangan kaki seseorang sedang berdiri di sana. Hingga tiba-tiba aku mendengarkan suara dari luar memanggil namaku.
“Naya....”


‘Ehh?? Suara itu....’


Rasa takutku perlahan memudar.
Kendati aku belum pernah mendengar suara Tomi, namun aku yakin bahwa yang sedang memanggil namaku bukanlah dia. Suara di balik pintu itu sangat familiar di telingaku.


“Nay...... lo udah tidur ya?” suara itu kembali memanggil.
“I-iya...sebentar...” jawabku seraya menyeka air mata dan bangkit berjalan menuju pintu.
Kuraih anak kunci yang menancap di sana lalu kuputar untuk membuka kuncinya.
Crekkk....crekkkk.... dua kali kunci pintu itu berbunyi, menandakan bahwa pintu sudah dapat dibuka.


Cekrek.... kuraih handle pintu itu, kutekan ke bawah, lalu kubukakan pintu kamarku untuk orang di luar sana.


“Lohh.... Nay? Lo kenapa? Kok nangis sih??” sesosok perempuan berambut panjang berdiri diambang pintu. Handle travelbag yang ia genggam, seketika terlepas hingga tas itu jatuh ke lantai.
Yang berbicara itu adalah Reni, teman sebangku denganku saat SMA. Dan dialah yang menawariku menjual keperawanan. Reni berperawakan tinggi semampai, kira-kira postur tubuhnya mirip denganku. Hanya saja wajah kami berbeda.


“N-ngak kok Ren... Gue ngak apa-apa” jawabku sekenanya.
Reni segera merangkulkan tangan ke leherku dan mendekap tubuhku erat-erat.
Aku tau, mataku yang masih memerah dengan napas senggukan tidak akan mampu membohonginya.


Kendati Reni adalah gadis yang cukup bisa dikatakan “nakal”. Namun itu semua tidak dapat menyembunyikan fakta bahwa Reni adalah arti sesungguhnya dari kata sahabat. Ia hampir selalu ada di saat aku dirundung masalah, seperti saat ini.


“Ngak apa-apa gimana? Jelas-jelas lo habis nangis...” ucapnya lagi.
Ia meraih pipiku dengan kedua tangannya, lalu menyeka air mata di sana dengan ibu jarinya.
Mata Reni yang berwarna cokelat sungguh membuat pikiranku tenang. Kami berpandangan sejenak sebelum memutuskan untuk duduk di ranjang.
“Iya... gue ada sedikit masalah Ren, gue baru dipecat sore ini...” jawabku
Saat itu Reni sedang menarik travelbag yang berisi pakaian miliknya ke dalam kamarku.


Beberapa menit setelah itu, aku menghabiskan waktu dengan bercerita pada Reni.
Tentang bagaimana aku menjalani pekerjaan, tentang keluhanku terhadap manager yang sok berkuasa, dan lain-lain. Reni adalah pendengar yang baik seperti halnya Tomi.


Tomi???


Aku teringat kembali tentang dua SMS yang dikirimkan Tomi. Dua SMS itu belum sempat kubaca.
Kuraih handphone yang tergeletak di atas bantal. Dalam hati aku bersyukur, jika saja aku melemparkan handphone ini ke dinding, pastilah handphone ini sudah hancur tak berbentuk.


Kubuka handphone itu dan mendapati dua unread message di sana.
‘HAHAHAHA..... Seru udah ngerjain kamu Nay... Iya aku cuma becanda kok... tapi itu beneran fotoku’
‘Nay... kamu marah ya? Maaf udah bikin kamu takut pake foto editan itu’


‘Brengsek... apa-apaan dia?’ batinku.
Seandainya ia ada disini, maka akan kujambak rambutnya.
Bisa-bisanya pria ini mempermainkan aku seperti itu.


Oke, memang salahku tak berani membaca SMS yang dikirimkan Tomi sejak awal. Jika saja aku segera membacanya, mungkin aku tidak perlu ketakutan setengah mati seperti tadi. Tapi mau bagaimana lagi? Aku memang pada dasarnya penakut. Tidak perlu di takut-takuti seperti itu saja aku sudah was-was jika berjalan di keremangan cahaya.
“Jahat kamu.....” balasku pada Tomi.


Tringgg...
yailah…. Becanda kok…becanda… Maaf ya Nay, ngak bermaksud nakut-nakutin. Aku cuma mau menghibur...’


“Siapa itu Nay? Cieee, berapa bulan ngak ketemu udah punya pacar ternyata nih?” Reni memasang raut wajah curiga dengan senyum simpul yang terkesan meledek.
“Ihh... apa si, cuma kenalan doang ngak lebih” jawabku.


“Kenalan apa kenalan?” tanya Reni lagi. Kali ini, tatapannya semakin menusuk tajam.
“S-Suwer deh, cuma kenalan ngak lebih” ucapku lagi. Tapi…. teringat dengan uang lima puluh juta yang ada di dalam rekening, aku berkata “Sebenernya sih ada lebihnya...”


Reni bangkit dan berjalan menuju travelbag besar yang ia bawa ke kontrakanku.
Ketika membuka resleting yang menutup tas itu ia berkata “Tuh kan, ada lebihnya... pasti udah ehem-ehem....”
Reni kini merogohkan tangan kedalam tas itu, sepertinya ia sedang mencari sesuatu.


“Yeeee...... dasar otak mesum” aku mengumpat seraya menimpuk Reni dengan bantal yang tergeletak di sampingku.
“Hahaha.... udah deh, lo ngaku aja” Reni tetap tertawa meledek kendati sebuah bantal baru saja mendarat di wajahnya.


“Gini-gini gue masi perawan, enak aja!!” sebal… ia meragukan aku. Memangnya aku terlihat seperti wanita nakal? Aku menyilangkan tangan di dada seraya memajukan bibirku.
“Mana coba gue liat Nay?” Reni mendekat ke arahku. “Buka celana...” pintanya.


‘Ya ampun… gak percaya amat’


Perlahan aku membuka kancing pengait celanaku. Reni yang berlutut di bawah ranjang membantuku melepaskan celana dengan menariknya menggunakan kedua tangannya.


Saat celana yang kukenakan telah terlepas, aku membuka kedua pahaku lebar-lebar agar Reni bisa melihat dengan jelas lipatan vaginaku yang berwarna merah muda dengan bagian sedikit putih di lubangnya.
Aku sama sekali tidak malu melakukan ini. Aku dan Reni memang sangat terbuka walaupun tentang hal super pribadi sekalipun. Bahkan, hubungan persahabatan kami sudah berjalan lebih jauh dari sekedar sahabat.


“Salut gue.... bisa-bisanya lu tahan ngak di masukin” kata Reni. Ia menggelengkan kepala seraya terus mengamati selaput dara di lubang vaginaku.


Kala itu aku masih memakai kaus dan mencondongkan tubuhku 45 derajat ke belakang dengan kedua tanganku sebagai tumpuannya. Aku mengerling ke arah selangkanganku dan melihat wajah Reni menyembul di sana. “Ya bisa lah... emang elo, kalo liat kontol langsung gelagapan salah tingkah”


‘Hehehe….. sekarang giliran lo yang mati kutu….’


“Halah... Lu kalo di giniin juga ngak mungkin nolak...” sebal dengan argumen yang kulontarkan, Reni membenamkan wajahnya di selangkanganku lalu mulai memainkan lidahnya yang bergerak liar.


“Aaaasssh..shit..... Gue belom siap Ren...” aku menengadahkan wajah membiarkan Reni mengoral vaginaku. Jilatan lidah Reni memang nomor wahid. Hanya dia yang pernah melihat dan merasakan vaginaku selama ini.


“Sssstttt.... udah Ren...g-gue aaaaaaaakkkkkkkkkkhhhh.....” tubuhku menegang seketika, entah kenapa jilatan Reni saat ini begitu nikmat mendarat di klitorisku. Mungkin sudah terlalu lama aku merindukan jilatannya, terlebih karena aku sudah tidak pernah bertemu dengan Reni hampir empat bulan lamanya.


“Yahh... ngak seru ahh, baru juga mulai, belom ada satu menit lu udah ngeden” ucap Reni seraya menjilat bibirnya yang dibasahi cairan kewanitaanku.
“Lu terlalu profesional sih... Hehe” jawabku.


“Nyindir nih ceritanya?” Reni bersungut, ia  mulai melepaskan busananya. Kemeja bermotif kotak-kotak itu ia lemparkan ke atas ranjang berikut dengan celana jeans yang ia kenakan.
Reni beralih ke travelbag miliknya dan mengambil sebuah dildo vibrator di sana.


’Ohh… dari tadi nyari gituan ternyata…’


“Sekarang bantuin gue Nay... gue jadi kepingin gara-gara ngeliat lo nyembur” ucapnya.
Aku hanya tersenyum sambil memandangi raut wajah Reni yang mesum dari sudut mataku.
Kuraih kait bra berukuran 35C yang ia kenakan, kulepas, lalu kulemparkan ke atas ranjang bersama kemeja serta celananya. Tak lupa, celana dalam hitam yang ia kenakan juga kulucuti dengan mudah, menyisakan tubuh semampai Reni telanjang tanpa busana.


Aku masih dalam posisi duduk saat Reni merapatkan tubuhnya padaku.
Dua buah payudara sekal itu menggantung tepat di depan mataku dengan puting berjarak hanya beberapa senti dari bibir ini.


Aku menjulurkan lidah, berusaha menggapai puting susu berwarna cokelat muda milik Reni.
“Aaakhhh...” Reni melenguh pelan, ia merangkulkan kedua tangannya di bahuku lalu menekan wajahku agar terbenam di payudaranya.


“Aahhh.....Nay....mmmhhh...” Reni mulai meracau, desahan-desahan dengan mudah meluncur dari bibirnya sementara aku masih disibukkan dengan kedua puting menantang yang kuhisap bergantian.
Aku mengambil dildo vibrator yang dibawanya dengan tangan kiriku.
Dengan menekan sebuah tombol kunyalakan alat itu.


Rrrrrrrttt.....
Ujung batang replika penis itu bergetar. Tanganku merasakan sensasi getaran yang mulai menjalar. Aku mulai membayangkan, bagaimana rasanya jika benda ini menyeruak ke dalam vaginaku yang masih perawan.


‘Aakkhh.... jangan, aku ngak boleh macam-macam’ batinku.


Reni nampak sudah sangat haus akan belaian, mungkinkah ia sudah lama tidak bersetubuh dengan para kliennya?  Ahh, mana mungkin. Menurut penuturannya, dalam semalam Reni bisa melayani hingga tiga orang pria hidung belang. Dengan reputasi Reni sebagai penjaja tubuh kelas atas, dalam semalam ia dapat mengantungi uang hingga tiga sampai empat juta rupiah.


Sluuurpp...sluuurrpp....
Puting susu Reni memang sangat nikmat, mengacung keras menantang namun tetap lembut ketika berdansa dengan lidahku. Aroma tubuh Reni agak lain dari biasanya, mungkin ia mengganti parfum.


Dildo yang kugenggam dengan tangan kiriku mulai kuarahkan pada selangkangan Reni.
Benda inilah yang selalu membantunya menggapai orgasme saat bermain bersamaku. Yah, Reni adalah seorang bi-sex. Ia pernah bercerita padaku, ketika suatu saat dirinya dipergoki sedang bersenggama dengan seorang klien oleh istri klien tersebut.


Istri klien tersebut bertanya.
“Apa bedanya pelacur macam ini dengan wanita terhormat seperti aku?”
“Mari kutunjukkan nyonya...” jawab Reni singkat.


Ia mulai mencumbu wanita paruh baya itu dengan lidahnya.
Lima menit berselang, istri sang klien sudah meronta ingin dipuaskan. Sementara sang klien sendiri hanya menonton dengan pandangan penuh nafsu saat kedua wanita itu bercumbu seraya mengurut penisnya yang masih tegak berdiri.


~Megatron21~


“Nay.......akkkhhhhhh.....” Reni mulai meracau.
Mengingat cerita Reni membuatku lupa bahwa kami sekarang sedang terlibat permainan yang sesungguhnya. Aku mengerling sejenak dan mendapati raut wajah Reni begitu teduh dalam tiap desahan yang meluncur dari bibirnya. Dildo bergetar yang kugenggam kini kugesek-gesekkan ke mulut vagina milik Reni.


“Mau di masukin...??” tanyaku.
“I-iyaaahhh........” Reni mendekap tubuhku erat. Ia menaikkan sedikit pantatnya agar memudahkanku melakukan permintaannya.


Sleep......
“AAAAKKHHH.......” Reni memekik saat ujung dildo bergetar itu menyeruak masuk ke dalam vaginanya yang sudah basah. Tidak terlalu sulit, Reni bahkan tidak merasa sakit sama sekali. Mungkin karena vaginanya sudah terbiasa menerima sesuatu. Aku mulai berani untuk menggerakkan dildo itu keluar masuk dengan cepat.


“Ssstt... jangan keras-keras....” ucapku ketika menyadari Reni memekik cukup keras.
Reni hampir saja kehilangan kendali. Ia kini mengatupkan bibir dan matanya rapat-rapat.
Wajahnya benar-benar menyiratkan sebuah kenikmatan yang menjalar di seluruh tubuhnya.


Aku iri... sangat iri.
Di saat lawan mainku bebas menggapai orgasme sedahsyat mungkin, aku hanya bisa menggigit jari dengan orgasme tak seberapa yang ku peroleh dari jilatan lidah Reni.
Mungkin suatu saat, aku akan mempertimbangkan ucapan Reni untuk menjual keperawananku.
Menggadaikan harga diriku dengan kemilau harta yang kubutuhkan. Aku tak akan jadi orang yang munafik selamanya.


“Nayyy....aaakhhh....Nayyy........” Reni mulai memanggil-manggil namaku.
Aku tahu, saat seperti ini adalah saat di mana Reni begitu bernafsu akan diriku. Ia tak akan melepaskanku begitu saja sebelum ia mendapatkan apa yang ia inginkan, dalam hal ini kepuasan.


Dildo itu kugerakkan maju-mundur dengan cepat.
Vagina Reni yang sudah terbiasa menerima hujaman tak asing lagi dengan kondisi seperti ini. Ia terlihat sangat menikmati tiap detik ketika benda bergetar itu menancap dalam di vaginanya.


“Nay......MMmmmmmmmmhhhHHHHHH....”
Hampir sampai, racauan Reni sangat khas. Aku bisa mengenali dengan mudah arti dari tiap gumamannya, saat di mana ia bernafsu, saat di mana ia ingin lebih, dan saat di mana ia hampir mendapatkan apa yang ia mau.


Dalam sekali hentakan aku memasukkan dildo itu dalam-dalam.
“AAaaaaaaaakkkhhhhHHHH.....” tubuh Reni menegang dengan cepat. Ia mendekapku erat.
Dapat kurasakan bibirnya yang dingin menempel pada leherku. Di bawah sana, vagina Reni sudah menyemburkan lelehan cairan kenikmatan itu.


Aku sengaja tak mematikan dildo itu dan membiarkannya menancap di sana.
Itulah cara yang disukai Reni untuk menikmati sisa-sisa orgasmenya.
“Fuaaahhhhh....enak banget Nay...” ucapnya santai.
Aku tak habis pikir, bagaimana bisa ia berkata sesantai itu saat ada sebuah benda bergetar hebat di dalam vaginanya?. Reni kemudian merebahkan diri di ranjang, tepat di sebelahku.


“Gila... bisa-bisanya lu rebahan sambil di colok”
“Hihihi.... enak tau Nay... lu mesti cobain kapan-kapan”


Kurenggangkan tubuhku yang sudah berlumuran peluh, lalu kurebahkan tepat di samping Reni.
“Nay.......” ucapnya.
“Hmm... apa cinta...?”


Reni mulai meraba tubuhku dengan sebelah tangan.
“Geli tau.......” ucapku tanpa berusaha menyingkirkan tangannya.
Sesungguhnya aku sangat menikmati sentuhan-sentuhan itu. Seakan mengobati penyesalanku yang tetap mempertahankan kesucian ini.


“Mau nenen Nay.....” Reni merajuk seperti anak kecil.
Tangan yang meraba perutku yang rata kini mulai menyusup di bawah kemeja yang masih kukenakan.
“Ihhhh..... ada-ada aja lu.... isep aja si....” ucapku seraya menyodorkan payudaraku pada wajah Reni.


“Hihihi.... boleh ya....”
Dengan cepat ia menanggalkan kemeja dan braku hingga payudaraku menyembul tepat di hadapannya.
“Iyahh..”


Sluurpp.... ohh, sapuan lidah itu.
“Mmmhh...” kuluman itu.


Payudaraku kini sudah menjadi santapan Reni.
Nikmat sekali sensasi yang ditimbulkan oleh tiap sapuan lidah yang dilancarkan Reni. She is the real pro.
“Nnnggghhhh...... enak Ren... terus” pintaku.


Reni memang selalu mengerti apa yang kuinginkan.
Ia mulai meraih vaginaku dengan jemarinya.


Reni mulai mengusap lembut.
Perlahan-lahan semakin liar, jari tengahnya menyeruak kecelah lipatan daging merah di bawah sana. Mencari letak tonjolan daging dengan berjuta reseptor rangsangan seksual.


Dahiku mulai berkeringat.
Cumbuan Reni sungguh teramat dahsyat.


Di bawah sana, liang keperawananku mulai berkedut lembut.
Aku melemaskan bahu dan tubuhku, membiarkan seluruh hasratku tertuang pada otot vagina di sana.


Rileks.... nyaman sekali.
Aku memejamkan mata menikmati tiap lecutan listrik statis di otakku. Aku sadar, bahwa aku telah menjadi pecandu berat. Kendati hasratku hanya bisa dipuaskan dalam hubungan sesama jenis, namun aku cukup puas dengan semua ini.


“AAAaaaaaaaakkkhhhhhhhhh............”
Lima menit berselang, aku sudah tak mampu lagi menahan denyutan dinding vaginaku yang semakin kuat.


Cairan orgasme itu menyembur dengan hebat, tubuhku menegang seketika.
Itu adalah permainan paling lama yang kulakukan selama aku mengenal Reni. Biasanya aku tak akan bertahan lebih dari dua menit dalam rengkuhan berjuta rangsangan yang dilancarkannya.


“Nahh... udah impas kan?” tanya Reni.
“Iya.....”





~~bersambung~~








Satu Dunia, Beratus Kisah, Beribu Cerita
Megatron21story

Friend or Fiend - Chapter 2

Satu Dunia, Beratus Kisah, Beribu Cerita
Megatron21story






~~~ 2 ~~~






“Tch…. Dasar cewek tolol... bikin masalah aja bisanya” seorang pria dengan perawakan tambun sedang menghisap rokok berwarna putih di ruangannya sendiri.
Kacamata berbingkai kotak yang bertengger di hidung peseknya kembali turun beberapa milimeter.
Ia kini gusar. Kendati sebuah senyum palsu telah dibuatnya untuk mencairkan suasana, namun atasannya tetap saja menyalahkan dirinya terkait dengan kelalaian seorang pramusaji yang telah mencoreng nama baik RichTaste. Ia adalah sang manager restoran.


“Huuuff.....” asap putih kini mengepul dari lubang kecil yang dibuat bibirnya, begitu juga dengan dua lubang yang entah bagaimana bisa tetap ada di hidungnya yang bulat pesek seperti hidung badut.
Dua buah kaki gempal seukuran gelondongan kayu ia naikkan ke atas meja kerjanya.


Tok....tok....tok....
Sang pria tambun yang terhanyut dalam lamunannya sendiri, mengerling ke arah pintu masuk ruangan, di mana suara ketukan berasal.


“Yak.... masookk....”
Entah apakah nada bicara itu sudah terlalu mendarah daging, ia mempersilahkan orang di balik pintu untuk masuk dengan angkuh. Rokok putih yang tersemat di bibirnya kini ia selipkan pada bibir asbak.


Kriieekk......
Pintu itu terbuka.
Seorang gadis berperawakan tinggi langsing baru saja masuk dengan sebuah map berisi lembaran-lembaran kertas tergenggam di tangannya. Ia adalah sekertaris si-pria-tambun.


“Malam bos...” sapa gadis itu.
“Ya... ada apa lagi Mel?” Si-pria-tambun kini menurunkan kakinya dari atas meja. Ia sadar, sikap seperti itu tidak selayaknya ia tunjukkan jika ada orang lain bersamanya.


“Nnngg... ini Bos, berkas-berkas keluhan dan pembukuan hari ini...” jawab sang gadis.
“Oh iya... hampir saya lupa. Ini semua gara-gara kelakuan si cewek tolol itu.... berantakan semua kerjaan saya” si-pria-tambun melambaikan tangan, memerintah sang sekertaris untuk mendekat.


Srekk....Srek.....
Perlahan, ia membuka lembaran-lembaran itu.
Ya, hari ini reputasi RichTaste benar-benar tercoreng. Berkas keluhan yang sedang dibacanya sungguh membuat kulit wajahnya kembali memerah.


“Fuck………”
Si-pria-tambun melemparkan berkas-berkas itu ke udara.
Satu persatu, lembaran demi lembaran kertas itu jatuh dengan gemulai hingga lantai menyapanya. Sang sekertaris, Melly, nampak tak peduli dengan kelakuan bosnya. Ia sudah sangat terbiasa memandang kelakuannya yang seperti itu.


“Kalau sudah ngak ada apa-apa lagi, saya permisi pulang bos… udah malem” ucap Melly.
“ya…ya…ya… pergi sana, hari ini saya lagi gak napsu naikin kamu”


Sang sekertaris hanya bisa mendengus sebal dalam hati.
’Dasar babi tidak tahu diri’ umpatnya.
Bisa-bisanya dia memanfaatkan Melly yang harus menopang hidup ketiga adiknya. Hampir tiap ada kesempatan, Melly tidak akan pulang cepat. Celah sempit dibalik rok mini yang ia kenakan secara teratur akan dijejali sebuah tonjolan daging sepanjang tujuh sentimeter milik si-pria-tambun.


Perempuan binal manapun, tetap saja tidak akan tahan menerima kata-kata yang begitu merendahkan. Terlebih bagi perempuan baik-baik seperti Melly. Dengan berat hati, ia harus merelakan liang vaginanya untuk dinikmati sang manager, yang bahkan belum pernah membuat puting susunya mengeras tegak. Apalagi orgasme.


’Siapa juga yang demen di naekin sama lo… dasar babi umpatnya dalam hati.


Tanpa berpamitan, Melly segera melangkahkan kaki dari ruangan yang menjadi saksi bisu bahwa tubuh gemulainya telah dinikmati oleh si-pria-tambun, minimal tiga kali seminggu.
Setidaknya, hari ini ia akan menggapai puncak kenikmatan yang sesungguhnya bersama Sam, sang kekasih. Tak ada baginya hal yang lebih membahagiakan dibanding membayangkan penis kekasihnya menyeruak masuk, mengisi relung kenikmatan miliknya hingga penuh sesak.
’Mmmhh…. Sampai ketemu sayang’


Kembali ke dalam ruangan.
Pria tambun itu memandang jijik ke arah lembaran-lembaran kertas yang tercecer di lantai.
Ia meraih jas berwarna hitam yang ia letakkan pada sandaran kursi, lalu segera mengenakannya. Tak lupa, kunci mobil berlambang lingkaran warna biru-putih dengan tiga buah huruf ia raih.


Malam ini, restoran sudah sepi.
Tak ada lagi gumam-gumam tak jelas yang riuh rendah bersahutan, tak ada lagi binar mata para pasangan yang menghamburkan uang. Ia kini sendirian, berjalan melewati ruang kosong di antara meja bundar yang tertata apik di bawah naungan lampu kristal yang setia menggantung di langit-langit.


“Malam Boss.....” seorang satpam yang masih berjaga di pintu masuk terlihat membungkukkan badan saat si-tambun melangkah tanpa menoleh atau membalas sapaan itu.


’Dasar babi...’
Ya itulah julukan yang diberikan oleh segenap karyawan yang pernah merasakan pahitnya kata-kata si-pria-tambun. Begitu juga dengan si-satpam. Kalimat umpatan yang sesungguhnya terdengar sangat kasar itu terus terucap dalam hatinya.


’Huh.... siapa lu? lu pikir, karyawan rendahan pantas nyapa gua?’ batin si-pria-tambun.
Ia menekan sebuah tombol pada kunci mobil yang sedang digenggamnya.


Tuitt...tutitt...
Mobil sedan hitam yang terparkir dibalik sebuah plang bertuliskan ’Manager Only’ berbunyi. Lampu sign yang tersemat di keempat sudutnya ikut berkedip sebanyak dua kali.


Mungkin bagi orang yang belum pernah bertemu dengan sang manager, mereka akan takjub ketika memandang si-pria-tambun melangkah masuk ke dalam melewati pintu mobil sedan mewah itu.
’kok muat??’


Tapi begitulah, kenyataan.
Mau tidak mau, batin yang baru saja berucap harus menjilat ludahnya sendiri. Nyata-nyatanya tubuh si-pria-tambun bisa masuk ke dalam mobil walaupun harus bersusah payah menekuk kaki dan memundurkan posisi kursi pengemudi untuk sementara.


Wuuuunnngg....Wuuunnnggg....
Mesin mobil itu meraung halus. Untung saja mobil itu memiliki kapasitas mesin dan kualitas rangka yang mumpuni.
Siapa pun tidak akan bisa membayangkan jika ada sebuah taksi mengangkut si-pria-tambun.
Mereka hanya dapat menduga, beberapa bagian mobil taksi itu harus rela menerima beberapa guratan saat melewati polisi tidur karena strukturnya yang semakin ceper.


Mobil itu mulai melaju.
Pelan namun pasti, si-pria-tambun meninggalkan kawasan parkir gedung RichTaste. Tujuannya saat ini bukanlah pulang untuk sekedar memandang raut wajah anak-anaknya yang masih balita, atau mengecup kening sang istri yang setia menanti. Tujuannya saat ini adalah sebuah hotel, di mana tiga orang wanita panggilan telah bersiap menanggalkan seluruh busana untuknya demi beberapa lembar rupiah.


Malam ini begitu sunyi, dengan awan berarak yang membuat cahaya bulan harus mengintip.
Beberapa kali, si-pria-tambun melirik ke arah spion tengah. Ia merasa sedang diikuti sejak meninggalkan pelataran parkir RichTaste. Tapi siapa? Tidak ada satu mobil atau motor pun yang beriringan dengannya. Kendati ia terus berusaha menenangkan diri, perasaan was-was yang tiba-tiba menyelimuti tetap tak mau pergi.


Dinginnya udara yang disemburkan oleh celah AC tak mampu menghalau butir-butir keringat yang terus berjatuhan di dahinya. Merasa keadaan jalan sudah cukup lengang, ia menoleh ke samping untuk mencari tisu guna menyeka keringat dinginnya.


BRAAAAAAKK.......
Sebuah suara memekakkan terdengar dari bagian depan mobil.


Mobil si-pria-tambun bergoyang hebat, noda merah pekat kini terlihat menutupi hampir dua pertiga kaca mobilnya bagian depan. Ia segera menginjak pedal rem hingga ban mobil itu berdecit memekakkan.
“Bangsat.... apaan tu tadi.....”umpatnya.


Deg...Deg...Deg...


Degup jantungnya mulai terpacu.
Warna merah pekat yang menyelimuti kaca depan mobil itu tak lain adalah darah. Ia menabrak sesuatu.
’G-gawat.... gua harus kabur....harus....’ si-pria-tambun membatin. Ia meraih kunci mobil untuk menyalakan kembali mobilnya yang mati mendadak karena kesalahan kontrol saat menginjak pedal kopling.


Nnnnnggggtt...nggggtttt...nnnggtttt....
Mobil itu tak kunjung menyala. Si-pria-tambun semakin panik. Ia tak mau tertangkap basah karena menabrak seseorang hingga kehilangan nyawa.
’Anjingggg...... kenapa sih ini mobil... bangsat’ umpatnya.


Merasa tak mempunyai pilihan, si-pria-tambun terpaksa turun dari mobilnya dengan susah payah.
Dilihatnya tutup kap mesin mobil itu berlumuran dengan darah jauh lebih banyak dibanding yang ia perkirakan.


Glek...... ia menelan ludah.
Si-pria-tambun menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tidak ada seorang pun yang menyaksikan kejadian itu. Ya, ia sendirian.


Merasa cukup aman, ia kini berjalan mengitari mobilnya mencari sesosok tubuh yang sudah ditabraknya.
Bercak darah terlihat di mana-mana. Ia semakin panik, degup jantungnya semakin terpacu saat bau anyir merebak memenuhi udara malam.


’Pasti mati..... pasti mati....’ gumamnya dalam hati.
Pendapat itu sangat beralasan mengingat jumlah darah yang memenuhi seluruh bagian depan mobilnya. Tapi bagaimana bisa? Mungkinkah tubuh seseorang hancur seketika? Mungkinkah darah segera memancar saat tubuh itu hancur?


’Ngak.... ini gak mungkin.... pasti bukan orang. Ya... pasti bukan....’ pikirnya.
Lagi pula, setelah mengitari mobilnya, si-pria-tambun tak juga menemui sesosok tubuh tanpa nyawa.
Tapi jika bukan makhluk hidup, lantas cairan kental berwarna merah pekat ini apa? Jus?


Teringat akan sebuah kelalaian, si-pria-tambun kini mencoba melihat ke salah satu tempat yang belum ia periksa. Kolong mobil...


Nyali besar yang ia tunjukkan saat menghardik sang gadis pramusaji, kini menguap entah kemana.
Kakinya mulai gemetar. Khawatir jika kenyataan telah membawa seonggok tubuh tak bernyawa ke dalam bayang-bayang badan mobil. Ia kembali menelan ludah, butir-butir keringat yang menghiasi wajahnya kini sudah tak terhitung. Perlahan, ia menekuk sebelah kaki dan menundukkan badan. Kedua tangan gempal dengan cincin berbatu besar kini menyentuh aspal hitam. Ia menundukkan tubuh semakin rendah, sampai akhirnya menoleh dan memandang ke bagian bawah mobil.


Matanya yang membulat, kini nyaris melompat.
Benar saja, di bagian bawah mobil itu tergeletak seonggok tubuh bersimbah darah. Lehernya patah, dan sebelah tangan telah terlepas dari bahunya.


“UUUAAAAHHHHH..........” si-pria-tambun memekik.
Tubuh gempalnya yang seperti gelondongan sapi tanpa kaki, sontak tersungkur ke belakang.
Dengan susah payah, ia mengeluarkan tenaga ekstra yang dihasilkan oleh luapan adrenalin di dalam aliran darahnya untuk merangkak mundur.


Si-pria-tambun nampak tak bisa berkata-kata selama beberapa detik.
Bibirnya gemetar, sedangkan tatapan matanya menyiratkan kecemasan yang teramat sangat.
“Gimana nih??? Gimana nih????” ia mulai meracau.


“A-aa-aaaa-rrrrkkk.......” sebuah suara parau terdengar.
Suara itu berasal dari bibir jenazah yang teronggok di bagian bawah mobil.


Mata si-pria-tambun semakin terbelalak ngeri. Terlebih saat mata jenazah yang memandang kosong ke arah atas kini meliriknya. Entah kekuatan apa, yang pasti kekuatan yang entah dari mana datangnya telah merantai seluruh daya dalam diri si-pria-tambun.


Ia sangat ingin merangkak mundur beberapa meter lagi.
Namun menggerakkan ujung jarinya saja ia tak mampu. Sementara itu, seonggok mayat yang masih terbaring di bagian bawah mobil mulai menggeliat. Bagai sebuah belatung, jenazah dengan sebuah lengan yang terpisah kini merangkak keluar.


“P-pergiiiii........pergiiiiiiii........” si-pria-tambun menghardik.
Entah apa yang sedang bersemayam di dalam raga yang seharusnya mati, jenazah berlumuran darah itu menyeringai kejam. Seringai itu perlahan melebar hingga ujung bibirnya terlihat bersentuhan dengan cuping telinga.


“A-a-a-aaaaa-rrkkkkk” suara parau itu kembali terdengar saat si-jenazah mulai membuka bibirnya yang menyeringai lebar. Bagian dalam mulutnya begitu hitam menakutkan.
Setelah berhasil keluar dari himpitan badan mobil, jenazah itu merangkak dengan cepat seperti laba-laba.


“AAAAAAAAHHHHH.......” si-pria-tambun kembali memekik.
Kali ini, ketakutan sungguh menguasai raganya. Tak henti-hentinya ia bergidik gemetar saat jenazah itu memeluk tubuhnya hingga wajah mereka berhadapan.


TEEEEEEEEEETT............TTTTTEEEEEEEEEEETT............
Sebuah suara memekakkan terdengar, dibarengi dengan kilauan cahaya kuning menyilaukan yang datang dari sisi kiri si-pria-tambun. Tanpa menoleh pun, si-pria-tambun pastilah menyadari. Dari suara klakson yang terdengar, sebuah truk besar sedang melesat ke arahnya.


“Ma-aaa.....ttttiiiiiiii..........”


ZRAAAAAAAAAAAAKK............
Sang pengemudi truk yang sudah menginjak pedal rem dengan sekuat tenaga, nampak tak mampu menghentikan badan truk yang terus melaju. Dari kursi pengemudi, sang sopir truk dapat melihat sosok pria tambun yang sedang berjongkok di tengah jalan raya itu menghilang, masuk ke dalam bagian bawah truk.


Tanpa basa-basi, sang sopir truk segera turun untuk memastikan kondisi sosok yang ditabraknya.
Di sana ia melihat noda darah tercecer di bagian bawah truk. Potongan-potongan daging semakin meyakinkan dirinya bahwa bentuk tubuh sosok yang ditabraknya pastilah tidak utuh lagi.


Ia terus menyusuri jejak-jejak cipratan darah, dan akhirnya ia menemukannya.
Sesosok buntalan daging berbalut jas hitam nampak terjepit pada roda paling belakang.





~Megatron21~



Naya...


Di atas meja kayu yang bersebelahan dengan ranjangku, lampu indikator handphone sudah berkedip merah. Sepertinya ada SMS yang masuk. Dengan tubuh masih agak basah, aku berjalan mendekati handphone itu. Aku meraihnya, dan membaringkan diriku yang hanya terbalut handuk lembab ke atas ranjang.


Kamar kontrakan ini tidaklah mewah. Cat putih yang menghiasi dinding warnanya sudah berubah kekuningan dengan beberapa tempat yang catnya mengelupas. Plafon yang menghiasi pandanganku saat berbaring juga mengalami nasib serupa, hanya saja sedikit lebih mengenaskan. Warna putih di atas sana sudah mulai menghitam diselimuti oleh lumut dan jamur yang merebak saat musim hujan tiba.


Kontrakanku ini bukanlah satu-satunya yang mengalami nasib seperti itu.
Ada lebih dari lima puluh pintu lain yang menyembunyikan ruangan sejenis di kawasan rumah susun sangat sederhana yang kutempati, dan kamar bernomor 21 yang berada di lantai tiga ini hanyalah salah satunya.


Kamarku berada di deret paling pojok, jauh dari tangga yang membawaku naik ke atas.
Tinggallah aku meratapi nasib di kamar berukuran lima belas meter persegi yang di dalamnya tidak ada perabotan apa-apa selain sebuah kompor, meja, ranjang, dan dispenser dengan galon air bertengger di atasnya.


Handphone itu kubuka dengan sebelah tangan, dan kudapati beberapa notifikasi pesan masuk di layarnya. Semuanya dari Tomi.


‘Stress kenapa nona?’
‘Kok ngak dibalas?’
‘Sedang ingin sendiri ya?’
‘Oke, aku ngerti. Selamat tidur ya Naya’
Begitulah isi keempat SMS yang dikirimkan Tomi.


“Iya... sorry Tom, aku baru dipecat dari pekerjaan” balasku saat itu.
Dengan wajah lesu karena teringat kembali tentang kejadian itu, aku menekan tombol untuk mengirimkan SMS balasan.


Tringgg...
Belum sempat aku meletakkan kembali handphone itu, SMS balasan sudah kuterima.
‘Lho? Belum tidur? Maaf ya kalau aku ngeganggu’


“Cepet amat balasnya Tom... iya, ngak apa-apa” jawabku.
Dalam suasana hati gundah seperti ini, biasanya aku tidak suka jika ada yang mengajakku berbicara. Tapi untuk kali ini, aku justru senang dengan SMS yang ia kirimkan. Seolah ada seseorang yang menemaniku dalam sepi, dan meminjamkan pundaknya untuk aku bersandar.


Tringgg...
Kali ini, aku sudah menduga ia akan segera membalas sehingga handphone itu tetap kugenggam seraya merebahkan diri dan meletakkan lenganku di dahi.
‘Semoga cepat dapat kerjaan baru ya Nay... memang kamu lagi butuh uang?’


Aku heran. Mengapa Tomi tiba-tiba bertanya seperti itu. Seperti ia sedang membaca pikiranku.
Tapi itu sangat tidak mungkin, walaupun Tomi adalah seorang ahli psikologis sekalipun. Masih banyak kemungkinan lain yang membuatku gundah, bisa karena bentakan sang manager yang terlalu keras, atau karena sebuah tamparan telak yang meninggalkan rona merah di pipi. Yah, tak bisa dipungkiri, dugaan Tomi yang benar-benar tepat seakan menjadi anak panah yang melesat menuju jantungku.


“Yah... namanya juga hidup, pasti butuh uang. Aku ngak mau jadi orang munafik” SMS balasan segera kukirim pada Tomi.


Tringgg...
‘Aku punya uang... kamu boleh pakai, ngak perlu mikirin kembaliinnya kapan’


Aku sampai bangkit dari ranjangku ketika membaca SMS balasan itu. Mataku terbelalak saat mengamati dengan seksama kata demi kata dalam SMS yang Tomi kirimkan.
Sebenarnya siapa dia? Apakah ia seorang eksekutif muda? Atau anak orang kaya?


Batinku kini mulai diisi rasa penasaran tentang siapa sebenarnya Tomi.
Aku memang tidak pernah menanyakan tentang asal usulnya, atau bagaimana kehidupannya. Aku hanya menganggap Tomi sebagai teman ngobrol semata, tidak lebih.


“Ngak usah repot... makasih udah nawarin, tapi aku fine... aku ngak mau nyusahin siapa-siapa”
Setelah mengirimkan SMS itu, aku mendekap erat hanphoneku di dada. Begitu hinakah hidup ini, sampai-sampai aku harus menyusahkan orang lain karena masalah yang kuciptakan. Hembusan napas ini semakin sesak terasa, sungguh. Aku benar-benar ingin menangis sejadi-jadinya.


Tringgg...
‘Ngak usah sungkan kok, aku senang kok bisa bantu... Bukannya sebentar lagi awal bulan dan kamu harus bayar kontrakan?’ tanya Tomi dalam SMS balasannya.


“Aduhhh.....” gumamku.
Pikiranku yang semakin gundah memaksaku untuk menekan handphone itu ke dahiku. Aku menghela napas sejenak. Yah, bukan salah Tomi jika ia mengetahui betapa sulitnya kehidupanku. Aku telah bercerita tentang bagaimana aku kehilangan sosok seorang ibu, tentang kehidupanku bekerja di restoran sebagai pelayan, dan tentang betapa berat hidup seorang diri di kamar kontrakan.


Selama hampir satu bulan ini, Tomi selalu menempatkan diri sebagai pendengar yang baik.
Mendengarkan keluh kesah dan cerita hidupku yang penuh liku-liku, dan memberi nasihat untuk segala masalahku. Dalam bayanganku, Tomi adalah sosok pria yang baik.


“Jangan Tom... aku ngak enak, kita kan belum kenal lama. Kalau ternyata aku ngak bayar hutangku gimana?” balasku.


Tringgg...
‘Ngak apa-apa... kamu pasti bayar kok, aku percaya... sekarang kirimin nomor rekening kamu’ Tomi kembali membalas.


Hatiku kini semakin berdebar-debar. Ingin aku tersenyum mendengar penawaran Tomi, namun harga diri ini mencegahku.
Akankah masalah keuangan ini selesai begitu saja saat aku mengirimkan nomor rekening pada Tomi.
Ahh... aku terlalu naif, mungkin saja Tomi hanya akan mentransfer beberapa ratus ribu. Setelah berpikir sejenak tentang bagaimana aku akan mengembalikan uangnya, aku mengirimkan nomor rekeningku pada Tomi.


“1234.567.890 bank ABC... Maaf Tom, aku sebenarnya ngak mau nyusahin atau berperan jadi pengemis” balasku.


Sepuluh menit berselang, handphoneku kembali berbunyi.
Tringgg...
‘Jangan bilang begitu, aku senang membantu... sekarang kamu pergi ke ATM’ balasnya


“Hah??” aku terperanjat.
Mungkinkah ia telah mentransfer uang ke rekeningku? Dadaku semakin sesak oleh detak jantung yang menggebu. Aku semakin penasaran, aku segera mengenakan pakaian, menguncir rambutku, dan bergegas keluar mencari mesin ATM.


“Tom... kamu ngak bercanda kan?” balasku seraya berjalan menyusuri lorong dan menuruni tangga. Angin malam yang dingin menandakan malam telah larut. Tak terdengar lagi celotehan pria-pria yang biasa menghabiskan waktu bermain catur di lantai satu.


Tringgg...
‘Aku lebih baik mati daripada menipu’ balasnya.


‘Oh Tuhan... mungkinkah pria bernama Tomi ini malaikat penolong utusanmu’
Langkah kakiku yang semakin bersemangat terus berjalan seiring dengan debar jantung. Meski malam telah larut dan jam di handphoneku menunjukkan pukul 22:00, aku tetap berjalan menuju sebuah minimarket yang berjarak 300 meter dari rumah susun ini. Disana, ada sebuah ATM yang biasa kugunakan untuk menarik saldo rekeningku.


“Selamat datang di NewMart....” sapa seorang pramuniaga saat aku membuka pintu kaca minimarket itu. Aku membalasnya dengan sebuah senyuman tanpa kata-kata. Tidak enak juga rasanya jika aku datang ke minimarket ini tanpa membeli sesuatu, namun jika Tomi berbohong maka aku harus menyiapkan muka tebal untuk menahan malu karena berjalan keluar pintu kaca dengan tangan hampa.


Pip..pip..pip..pip..pip..pip
Kutekan enam digit angka kombinasi, lalu menekan tombol untuk memulai pengecekan saldo. Beberapa detik berlalu dengan kalimat yang memintaku untuk sabar menunggu terpampang di layar ATM berwarna biru.


Mataku benar-benar hampir melompat ketika melihat deretan angka yang seluruhnya berjumlah delapan digit. Kakiku gemetar, aku sungguh sangat rapuh saat ini.
‘Tomi pasti bercanda’ pikirku.


Bagaimana mungkin ada orang yang berani meminjamkan uang lima puluh juta rupiah kepada orang yang bahkan belum pernah ia temui. Kecuali ia seorang konglomerat kelas atas tentunya, yang memiliki aset puluhan miliar, dan uang yang terus mengalir tanpa bisa dibendung.


“Tom.... kamu bercanda ya? Bagaimana bisa aku ngembaliin uang lima puluh juta” balasku pada Tomi.


Tringgg...
‘Kalau aku bercanda, pasti aku kirim lima puluh ribu ke rekening kamu Nay’ balasnya.


’Ya tuhan….. apa sebenarnya rencanamu untuk diriku?’
Aku semakin tak habis pikir. Untuk apa Tomi mempermainkan perasaanku seperti ini.
Di lain sisi, hatiku kini bersorak karena masalah keuanganku telah terselesaikan. Tapi bagaimana bisa? Apakah semudah ini? Mengapa kenyataan selalu berjalan dengan cara yang tidak masuk akal?


Beberapa detik berlalu, dengan aku yang masih menatap layar ATM dengan pandangan kosong.
Berkali-kali aku mencubit pipi dan tangan sendiri, hanya untuk meyakinkan bahwa semua ini nyata.
Sekali lagi, aku meragukan diri sendiri. Aku mencubit begitu keras hingga meninggalkan rona merah di punggung lenganku.


’Oke…. Ini nyata’
Tanpa banyak berpikir, aku segera menarik uang sebanyak dua ratus ribu dari mesin ATM.
Aku sadar, semakin banyak uang yang kugunakan, maka akan semakin sulit pula aku mengembalikannya.


Aku kemudian berjalan menuju deretan rak yang tertata rapi, mengambil sebuah surat kabar, roti sobek dan sebotol teh rasa buah, lalu berjalan menuju kasir untuk membayar belanjaanku.


Surat kabar??


Rasanya aneh juga, mengapa aku tiba-tiba tertarik membaca surat kabar. Padahal sebelumnya aku tidak pernah peduli dengan apa yang terjadi di tengah masyarakat. Beberapa saat aku berpikir untuk mengembalikan surat kabar itu ke tempat semula. Sayangnya, sang kasir sudah terlanjur memindai barcode yang ditempelkan pada plastik pembungkusnya.


“Semuanya 19.700 rupiah, ada lagi mbak?” tanya sang kasir.
“Sudah, itu saja...” jawabku.


Kuserahkan selembar uang kertas berwarna biru untuk membayar. Setelah mencetak struk, kasir itu memberikan kantung plastik putih berlogo minimarket dengan belanjaanku berada di dalamnya, dan uang kembalian yang diletakkan di atas struk.


“Terima kasih sudah berkunjung, selamat datang kembali” kasir itu mengucapkan terima kasih dengan kedua tangan ia tangkupkan di depan dadanya.
“Sama-sama” jawabku.



~Megatron21~



Aku kini sudah kembali berada di dalam kamar. Menikmati roti sobek untuk mengganjal perutku yang mulai lapar. Sebelumnya rasa lapar itu seakan bersembunyi ditelan tekanan batin yang kualami. Namun begitu masalahku terselesaikan, rasa lapar itu meraung keras.


“Tom... kamu baik, terima kasih banyak bantuannya” kukirim sebuah SMS sebagai ucapan terima kasih atas bantuan Tomi.


Tringgg...
‘Sama-sama Nay... aku senang kalau apa yang aku punya bisa bermanfaat untuk sahabatku’


Sahabat??


Aku tersenyum-senyum sendiri di dalam kamar saat membaca pesan balasan dari Tomi. Benarkah ia menganggapku sebagai sahabatnya? Seingatku aku tidak pernah mendengar keluh kesahnya, atau pun membantu Tomi dalam sesuatu apapun. Ahh, masa bodoh. Mungkin baginya, sahabat hanyalah teman ngobrol semata untuk menghilangkan rasa bosan.


Dua jam aku bercengkerama dengannya setelah itu. Membahas hal-hal tidak penting seperti, apa makanan kesukaannya, dan juga hobi. Entah apa yang terjadi pada perasaanku saat ini, aku begitu nyaman dengan kehadiran SMS yang dikirimkan Tomi sebagai balasan percakapan kami.


Tringgg...
‘ngomong-ngomong... Kita belum pernah saling pandang, boleh ngak aku minta foto kamu? Kalau kamu ngak keberatan tentunya...’


Wah…wah... Tomi semakin agresif.
Aku tersenyum lebar, geli karena membayangkan ekspresi Tomi saat mengirimkan SMS itu. Kendati aku belum pernah menjalin sebuah hubungan, namun aku tahu pasti seperti apa raut wajah pria saat otak mereka dipenuhi dengan pikiran kotor.
Aku lalu berpikir foto seperti apa yang akan kukirimkan padanya.


“Aku ini jelek loh... nanti kamu menyesal?” balasku.


Tringgg...
‘Ngak ada kata menyesal buatku. Cowo itu ngak boleh menarik kembali ucapannya’.


‘Hmm...okay.... anggap ini sebagai ucapan terima kasih’ batinku.
Aku mulai berpikir nakal, mungkin aku bisa memberikan sebuah foto yang sedikit sexy sebagai balasan untuk bantuan yang telah ia berikan. Senyum lebar mengembang di bibirku.


Aku menggerai rambutku yang sebelumnya kuikat kuncir kuda.
Rambut hitam berkilau kini menjadi mahkota indah yang tergerai menutupi bahuku.
Dua buah kancing kemeja paling atas sudah kubuka lalu kusibakkan kemeja itu ke samping agar memperlihatkan sedikit belahan dadaku.
’Kurasa cukup’


Kamera handphone sudah mengarah kepadaku.
Aku mencoba menyuguhkan senyum paling manis yang bisa kubuat sebelum menekan tombol untuk mengambil gambar.


BRAK.............
Aku tersentak kaget sehingga tanganku berguncang. Sebuah suara memekakkan terdengar dari balik tembok. Di sana adalah kamar Bu Shinta dan anak-anaknya.


‘ada apa ya?’ tanyaku dalam hati. Sesaat, kurasakan jantungku berdegup kencang.
Aku tak berpikir yang macam-macam. Mungkin hanya sebuah benda yang jatuh karena tersenggol.


Aku mengecek hasil foto itu.
Hasil fotonya buram, mungkin karena guncangan pada tanganku. Hasil foto yang buram dan tidak fokus memaksaku untuk berpose ulang.


Kembali kuarahkan kamera handphone itu, lalu menekan tombol bundar di bawah layar.
Cekreek.. handphoneku berbunyi. Tanda bahwa pengambilan gambar telah sukses.


Aku memandang sejenak ke arah foto itu, foto yang memperlihatkan seorang gadis dengan senyuman indah di dalam sebuah kamar sumpek dan suram. Kali ini gambarnya sudah cukup jelas memperlihatkan siapa aku, lengkap dengan belahan dada menggoda yang sengaja kuperlihatkan.
Tanpa menunggu berlama-lama kukirimkan foto itu pada Tomi melalui MMS.


Tringgg...
‘Wah... kamu cantik banget Nay... serius ini foto kamu? Bukan ngambil di google kan?’ tanya Tomi.


“Ihhh jahat, itu beneran foto aku... Sekarang, kirimin foto kamu dong supaya kita saling kenal” balasku.
Aku jadi semakin penasaran, kira-kira seperti apa ya wajah Tomi.


Tringgg...
Isi MMS itu seharusnya adalah foto Tomi. Aku membuka MMS itu dan mendapati foto seorang pria tampan dengan senyum tipis disana. Ia mengenakan sebuah kemeja bergaya santai yang sangat cocok jika dipadukan dengan tatanan rambutnya yang sedikit berantakan namun menawan.


Namun, saat aku mengamati foto itu dengan seksama, aku mengerutkan dahi.
Tomi sedang berada di dalam sebuah kamar yang cukup suram dengan cat dinding yang mengelupas dan hanya sedikit perabotan yang terlihat di sana.


Beberapa detik berlalu, aku masih tidak menyadari apa-apa. Namun begitu memandang ke balik punggungku, rasa dingin tiba-tiba menjalar di pundakku. Kamar tempat Tomi berfoto, sangat mirip dengan kamarku.


“Tom jangan main-main ahh... itu kan kamarku?” balasku pada Tomi. Aku mengerutkan dahi sejenak, mencoba menerka apa maksud Tomi mempermainkan aku. Oke, kamar seperti ini mungkin banyak yang menyamai. Sejenak aku berpikir, mungkinkah Tomi juga tinggal di rumah susun ini sama seperti aku.


Tringgg...
‘Masa sih kamu ngak sadar? Aku ada di samping kamu...’


Deg....Deg....Deg....
Darah di nadiku berdesir cepat, membuat tubuhku seakan tersedot dalam pusaran halusinasi. Setelah aku mengamati kembali foto yang dikirimkan Tomi padaku, aku baru menyadari bahwa tempat itu memang kamarku. Retakan di dinding, letak cat yang mengelupas, semuanya sama persis.


Wajahku pucat pasi.
Tanganku bergidik gemetar memegang handphone ini hingga aku tak sanggup berkata-kata.
’Please, jangan bilang bahwa Tomi serius mengirim sms ini.’


Seketika, insting membuat kepalaku menoleh ke kanan dan ke kiri.
Aku mulai gugup. Aku tidak ingin mempercayai perkataan Tomi, tapi ketakutan yang sudah menyelimutiku semakin kuat. Aku meringkuk dan memeluk lutut di atas ranjang.


“Tom... janhan berbanda deh, aku rendirian nih... Jangan buav aku takut” balasku padanya. Jemari yang bergetar hebat membuat beberapa kesalahan saat aku mengetik di papan keypad dengan dua belas tombol yang tersemat di bawah layar handphoneku.


Tok....tok....tok.....


Suara pintu masuk yang diketuk benar-benar membuatku kehabisan napas seketika.
Nyaris saja aku terjerembab ke lantai karena terperanjat, namun dengan sigap aku menemukan keseimbangan sehingga tubuhku jatuh dengan perlahan. Tangan kiriku yang mendekap dada, kini merasakan dengan jelas debar jantungku yang terpacu. Hormon adrenalin yang mengalir melewati pembuluh darahku kini membuatku tak dapat menghalau kesadaran yang tetap terjaga.


Tringgg...
Handphone yang kugenggam dengan tangan kananku tiba-tiba berbunyi dan bergetar.
Sontak aku segera melemparkannya ke ranjang dan bersimpuh seraya merangkak mundur di lantai.


Deg...Deg...Deg...
Kutatap lampu LED berwarna merah yang berkedip di sudut handphone. Menandakan sebuah SMS baru saja masuk ke dalam list unread message.


Glek.... aku menelan ludah.
Kukepalkan sejenak jemari tanganku untuk menghilangkan rasa gentar dan gemetar.
Perlahan, kuraih handphone itu dan kubuka layar model clamshellnya.


SMS dari Tomi. Wajahku kembali memucat.
Aku masih belum berani untuk membaca isi SMS itu. aku tak ingin lagi dirundung sebuah ketakutan tak mendasar hanya karena sebuah foto yang sesungguhnya jauh dari kata menakutkan.


Tok...tok...tok... pintu kamarku kembali diketuk.
Bibirku gemetar, ingin sekali aku meraung dalam tangis. Mataku berkaca-kaca, air mata itu mulai mengalir di pipiku.


Dingin, lantai berdebu ini sungguh bersekongkol untuk menyiksaku.
Aku kini kembali terdiam bersimpuh sambil memandang ke arah pintu masuk. Pandanganku buram, bayangan di sana mulai dibiaskan oleh air mata yang berlinang.


Tringgg...
Handphone yang kugenggam kembali berbunyi.


Aku sudah tidak sabar lagi, baru berjalan dua menit namun aku sudah muak dengan semua ini.
Kulempar handphoneku dengan kasar ke arah ranjang. Ia terpental sejenak dari kasur, menabrak tas punggung hitam milikku, dan jatuh di atas bantal.




~~Bersambung~~






Satu Dunia, Beratus Kisah, Beribu Cerita
Megatron21story
 
Copyright © 2014. Warna-warni Cerita - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger