Satu Dunia, Beratus Kisah, Beribu Cerita
Megatron21story
~~ 3
~~
Tok....tok....tok....
Pintu
kembali diketuk dari sisi luar. Aku melirik sesaat ke arah jam dinding. Jarum
jam di sana menunjukkan pukul 00:13.
Deg...deg...deg...
Jantungku
semakin terpacu saat mengingat bahwa saat ini sudah lewat tengah malam.
Air mataku
terus bercucuran, namun kali ini jauh lebih deras dibandingkan tangis yang
kualami seumur hidup. Mungkin yang bisa menyamai tangis itu, hanyalah air
mataku yang mengalir saat ibu dimasukkan ke liang lahat.
Aku duduk
bersimpuh, tanganku mengepal erat aku masih memandang penuh ketakutan ke arah
pintu kontrakanku. Di bawah celah pintu, aku dapat melihat bayangan kaki
seseorang sedang berdiri di sana. Hingga tiba-tiba aku mendengarkan suara dari
luar memanggil namaku.
“Naya....”
‘Ehh?? Suara itu....’
Rasa takutku
perlahan memudar.
Kendati aku
belum pernah mendengar suara Tomi, namun aku yakin bahwa yang sedang memanggil
namaku bukanlah dia. Suara di balik pintu itu sangat familiar di telingaku.
“Nay......
lo udah tidur ya?” suara itu kembali memanggil.
“I-iya...sebentar...”
jawabku seraya menyeka air mata dan bangkit berjalan menuju pintu.
Kuraih anak
kunci yang menancap di sana lalu kuputar untuk membuka kuncinya.
Crekkk....crekkkk.... dua kali kunci pintu itu berbunyi,
menandakan bahwa pintu sudah dapat dibuka.
Cekrek.... kuraih handle pintu itu, kutekan ke bawah, lalu
kubukakan pintu kamarku untuk orang di luar sana.
“Lohh....
Nay? Lo kenapa? Kok nangis sih??” sesosok perempuan berambut panjang berdiri diambang pintu. Handle travelbag yang ia genggam, seketika
terlepas hingga tas itu jatuh ke lantai.
Yang
berbicara itu adalah Reni, teman sebangku denganku saat SMA. Dan dialah yang
menawariku menjual keperawanan. Reni berperawakan tinggi semampai, kira-kira
postur tubuhnya mirip denganku. Hanya saja wajah kami berbeda.
“N-ngak kok Ren...
Gue ngak apa-apa” jawabku
sekenanya.
Reni segera
merangkulkan tangan ke leherku dan mendekap tubuhku erat-erat.
Aku tau, mataku yang masih memerah
dengan napas senggukan tidak akan mampu membohonginya.
Kendati Reni
adalah gadis yang cukup bisa dikatakan “nakal”. Namun itu semua tidak dapat
menyembunyikan fakta bahwa Reni adalah arti sesungguhnya dari kata sahabat.
Ia hampir selalu ada di saat aku dirundung masalah, seperti saat ini.
“Ngak
apa-apa gimana? Jelas-jelas lo habis nangis...” ucapnya lagi.
Ia meraih
pipiku dengan kedua tangannya, lalu menyeka air mata di sana dengan ibu
jarinya.
Mata Reni
yang berwarna cokelat sungguh membuat pikiranku tenang. Kami berpandangan
sejenak sebelum memutuskan untuk duduk di ranjang.
“Iya... gue
ada sedikit masalah Ren, gue baru dipecat sore ini...” jawabku
Saat itu Reni sedang menarik travelbag yang berisi pakaian miliknya
ke dalam kamarku.
Beberapa
menit setelah itu, aku menghabiskan waktu dengan bercerita pada Reni.
Tentang
bagaimana aku menjalani pekerjaan, tentang keluhanku terhadap manager yang sok
berkuasa, dan lain-lain. Reni adalah pendengar yang baik seperti halnya Tomi.
Tomi???
Aku teringat
kembali tentang dua SMS yang dikirimkan Tomi. Dua SMS itu belum sempat kubaca.
Kuraih
handphone yang tergeletak di atas bantal. Dalam hati aku bersyukur, jika saja
aku melemparkan handphone ini ke dinding, pastilah handphone ini sudah hancur
tak berbentuk.
Kubuka
handphone itu dan mendapati dua unread
message di sana.
‘HAHAHAHA..... Seru udah ngerjain kamu
Nay... Iya aku cuma becanda kok... tapi itu beneran fotoku’
‘Nay... kamu marah ya? Maaf udah bikin kamu
takut pake foto editan itu’
‘Brengsek... apa-apaan dia?’ batinku.
Seandainya ia ada disini, maka akan
kujambak rambutnya.
Bisa-bisanya
pria ini mempermainkan aku seperti itu.
Oke, memang
salahku tak berani membaca SMS yang dikirimkan Tomi sejak awal. Jika saja aku
segera membacanya, mungkin aku tidak perlu ketakutan setengah mati seperti
tadi. Tapi mau bagaimana lagi?
Aku memang pada dasarnya penakut. Tidak perlu di takut-takuti seperti itu saja
aku sudah was-was jika berjalan di keremangan cahaya.
“Jahat
kamu.....” balasku pada Tomi.
Tringgg...
‘yailah…. Becanda kok…becanda… Maaf ya Nay, ngak bermaksud
nakut-nakutin. Aku cuma mau menghibur...’
“Siapa itu
Nay? Cieee, berapa bulan ngak ketemu udah punya pacar ternyata nih?” Reni
memasang raut wajah curiga dengan senyum simpul yang terkesan meledek.
“Ihh... apa
si, cuma kenalan doang ngak lebih” jawabku.
“Kenalan apa
kenalan?” tanya Reni lagi.
Kali ini, tatapannya semakin menusuk tajam.
“S-Suwer deh, cuma kenalan ngak
lebih” ucapku lagi. Tapi…. teringat
dengan uang lima puluh juta yang ada di dalam rekening, aku berkata “Sebenernya
sih ada lebihnya...”
Reni bangkit
dan berjalan menuju travelbag besar
yang ia bawa ke kontrakanku.
Ketika
membuka resleting yang menutup tas itu ia berkata “Tuh kan, ada lebihnya...
pasti udah ehem-ehem....”
Reni kini merogohkan tangan kedalam
tas itu, sepertinya ia sedang mencari sesuatu.
“Yeeee......
dasar otak mesum” aku mengumpat seraya menimpuk Reni dengan bantal yang
tergeletak di sampingku.
“Hahaha....
udah deh, lo ngaku aja” Reni tetap tertawa meledek kendati sebuah bantal baru
saja mendarat di wajahnya.
“Gini-gini
gue masi perawan, enak aja!!”
sebal… ia meragukan aku. Memangnya aku terlihat seperti wanita nakal? Aku
menyilangkan tangan di dada seraya memajukan bibirku.
“Mana coba
gue liat Nay?” Reni mendekat ke arahku. “Buka celana...” pintanya.
‘Ya ampun… gak percaya amat’
Perlahan aku
membuka kancing pengait celanaku. Reni yang berlutut di bawah ranjang
membantuku melepaskan celana dengan menariknya menggunakan kedua tangannya.
Saat celana yang kukenakan telah
terlepas, aku membuka kedua pahaku lebar-lebar agar Reni bisa melihat
dengan jelas lipatan
vaginaku yang berwarna merah
muda dengan bagian sedikit putih di lubangnya.
Aku sama
sekali tidak malu melakukan
ini. Aku dan Reni memang sangat terbuka walaupun tentang hal super
pribadi sekalipun. Bahkan, hubungan persahabatan kami sudah berjalan lebih jauh
dari sekedar sahabat.
“Salut
gue.... bisa-bisanya lu tahan ngak di masukin” kata Reni. Ia menggelengkan
kepala seraya terus mengamati selaput dara di lubang vaginaku.
Kala itu aku
masih memakai kaus dan mencondongkan tubuhku 45 derajat ke belakang dengan
kedua tanganku sebagai tumpuannya. Aku mengerling ke arah selangkanganku dan
melihat wajah Reni menyembul di sana. “Ya bisa lah... emang elo, kalo liat
kontol langsung gelagapan salah tingkah”
‘Hehehe….. sekarang giliran lo yang mati kutu….’
“Halah... Lu
kalo di giniin juga ngak mungkin nolak...” sebal dengan argumen yang kulontarkan, Reni membenamkan wajahnya
di selangkanganku lalu mulai memainkan lidahnya yang bergerak liar.
“Aaaasssh..shit.....
Gue belom siap Ren...” aku menengadahkan wajah membiarkan Reni mengoral
vaginaku. Jilatan lidah Reni memang nomor wahid. Hanya dia yang pernah melihat
dan merasakan vaginaku selama ini.
“Sssstttt....
udah Ren...g-gue aaaaaaaakkkkkkkkkkhhhh.....” tubuhku menegang seketika, entah
kenapa jilatan Reni saat ini begitu nikmat mendarat di klitorisku. Mungkin
sudah terlalu lama aku merindukan jilatannya, terlebih karena aku sudah tidak
pernah bertemu dengan Reni hampir empat bulan lamanya.
“Yahh...
ngak seru ahh, baru juga mulai, belom ada satu menit lu udah ngeden” ucap Reni
seraya menjilat bibirnya yang dibasahi cairan kewanitaanku.
“Lu terlalu
profesional sih... Hehe” jawabku.
“Nyindir nih
ceritanya?” Reni bersungut, ia
mulai melepaskan busananya.
Kemeja bermotif kotak-kotak itu ia lemparkan ke atas ranjang berikut dengan
celana jeans yang ia kenakan.
Reni beralih
ke travelbag miliknya dan mengambil sebuah dildo
vibrator di sana.
’Ohh… dari tadi nyari gituan ternyata…’
“Sekarang
bantuin gue Nay... gue jadi kepingin gara-gara ngeliat lo nyembur” ucapnya.
Aku hanya
tersenyum sambil memandangi raut wajah Reni yang mesum dari sudut mataku.
Kuraih kait
bra berukuran 35C yang ia kenakan, kulepas, lalu kulemparkan ke atas ranjang bersama kemeja
serta celananya. Tak lupa, celana dalam hitam yang ia kenakan juga kulucuti
dengan mudah, menyisakan tubuh semampai Reni telanjang tanpa busana.
Aku masih
dalam posisi duduk saat Reni merapatkan tubuhnya padaku.
Dua buah
payudara sekal itu menggantung tepat di depan mataku dengan puting berjarak hanya
beberapa senti dari bibir ini.
Aku
menjulurkan lidah, berusaha menggapai puting susu berwarna cokelat muda milik
Reni.
“Aaakhhh...”
Reni melenguh pelan, ia merangkulkan kedua tangannya di bahuku lalu menekan
wajahku agar terbenam di payudaranya.
“Aahhh.....Nay....mmmhhh...”
Reni mulai meracau, desahan-desahan dengan mudah meluncur dari bibirnya
sementara aku masih disibukkan dengan kedua puting menantang yang kuhisap
bergantian.
Aku
mengambil dildo vibrator yang dibawanya
dengan tangan kiriku.
Dengan
menekan sebuah tombol kunyalakan alat itu.
Rrrrrrrttt.....
Ujung batang
replika penis itu bergetar. Tanganku merasakan sensasi getaran yang mulai
menjalar. Aku mulai membayangkan, bagaimana rasanya jika benda ini menyeruak ke
dalam vaginaku yang masih perawan.
‘Aakkhh.... jangan, aku ngak boleh
macam-macam’ batinku.
Reni nampak
sudah sangat haus akan belaian, mungkinkah ia sudah lama tidak bersetubuh
dengan para kliennya? Ahh, mana mungkin.
Menurut penuturannya, dalam semalam Reni bisa melayani hingga tiga orang pria
hidung belang. Dengan reputasi Reni sebagai penjaja tubuh kelas atas, dalam
semalam ia dapat mengantungi uang hingga tiga sampai empat juta rupiah.
Sluuurpp...sluuurrpp....
Puting susu
Reni memang sangat nikmat, mengacung keras menantang namun tetap lembut ketika
berdansa dengan lidahku. Aroma tubuh Reni agak lain dari biasanya, mungkin ia
mengganti parfum.
Dildo yang
kugenggam dengan tangan kiriku mulai kuarahkan pada selangkangan Reni.
Benda inilah
yang selalu membantunya menggapai orgasme saat bermain bersamaku. Yah, Reni
adalah seorang bi-sex. Ia pernah bercerita padaku, ketika suatu saat dirinya
dipergoki sedang bersenggama dengan seorang klien oleh istri klien tersebut.
Istri klien
tersebut bertanya.
“Apa bedanya
pelacur macam ini dengan wanita terhormat seperti aku?”
“Mari
kutunjukkan nyonya...” jawab Reni singkat.
Ia mulai
mencumbu wanita paruh baya itu dengan lidahnya.
Lima menit
berselang, istri sang klien sudah meronta ingin dipuaskan. Sementara sang klien
sendiri hanya menonton dengan pandangan penuh nafsu saat kedua wanita itu
bercumbu seraya mengurut penisnya yang masih tegak berdiri.
~Megatron21~
“Nay.......akkkhhhhhh.....”
Reni mulai meracau.
Mengingat
cerita Reni membuatku lupa bahwa kami sekarang sedang terlibat permainan yang
sesungguhnya. Aku mengerling sejenak dan mendapati raut wajah Reni begitu teduh
dalam tiap desahan yang meluncur dari bibirnya. Dildo bergetar yang kugenggam kini
kugesek-gesekkan ke mulut vagina milik Reni.
“Mau di masukin...??”
tanyaku.
“I-iyaaahhh........”
Reni mendekap tubuhku erat. Ia menaikkan sedikit pantatnya agar memudahkanku
melakukan permintaannya.
Sleep......
“AAAAKKHHH.......”
Reni memekik saat ujung dildo bergetar itu menyeruak masuk ke dalam vaginanya
yang sudah basah. Tidak terlalu sulit, Reni bahkan tidak merasa sakit sama
sekali. Mungkin karena vaginanya sudah terbiasa menerima sesuatu. Aku mulai
berani untuk menggerakkan dildo itu keluar masuk dengan cepat.
“Ssstt...
jangan keras-keras....” ucapku ketika menyadari Reni memekik cukup keras.
Reni hampir
saja kehilangan kendali. Ia kini mengatupkan bibir dan matanya rapat-rapat.
Wajahnya
benar-benar menyiratkan sebuah kenikmatan yang menjalar di seluruh tubuhnya.
Aku iri...
sangat iri.
Di saat
lawan mainku bebas menggapai orgasme sedahsyat mungkin, aku hanya bisa
menggigit jari dengan orgasme tak seberapa yang ku peroleh dari jilatan lidah
Reni.
Mungkin suatu
saat, aku akan mempertimbangkan ucapan Reni untuk menjual keperawananku.
Menggadaikan
harga diriku dengan kemilau harta yang kubutuhkan. Aku tak akan jadi orang yang
munafik selamanya.
“Nayyy....aaakhhh....Nayyy........”
Reni mulai memanggil-manggil namaku.
Aku tahu,
saat seperti ini adalah saat di mana Reni begitu bernafsu akan diriku. Ia tak
akan melepaskanku begitu saja sebelum ia mendapatkan apa yang ia inginkan,
dalam hal ini kepuasan.
Dildo itu kugerakkan
maju-mundur dengan cepat.
Vagina Reni
yang sudah terbiasa menerima hujaman tak asing lagi dengan kondisi seperti ini.
Ia terlihat sangat menikmati tiap detik ketika benda bergetar itu menancap
dalam di vaginanya.
“Nay......MMmmmmmmmmhhhHHHHHH....”
Hampir
sampai, racauan Reni sangat khas. Aku bisa mengenali dengan mudah arti dari
tiap gumamannya, saat di mana ia bernafsu, saat di mana ia ingin lebih, dan
saat di mana ia hampir mendapatkan apa yang ia mau.
Dalam sekali
hentakan aku memasukkan dildo itu dalam-dalam.
“AAaaaaaaaakkkhhhhHHHH.....”
tubuh Reni menegang dengan cepat. Ia mendekapku erat.
Dapat
kurasakan bibirnya yang dingin menempel pada leherku. Di bawah sana, vagina
Reni sudah menyemburkan lelehan cairan kenikmatan itu.
Aku sengaja
tak mematikan dildo itu dan membiarkannya menancap di sana.
Itulah cara
yang disukai Reni untuk menikmati sisa-sisa orgasmenya.
“Fuaaahhhhh....enak
banget Nay...” ucapnya santai.
Aku tak
habis pikir, bagaimana bisa ia berkata sesantai itu saat ada sebuah benda
bergetar hebat di dalam vaginanya?. Reni kemudian merebahkan diri di ranjang,
tepat di sebelahku.
“Gila...
bisa-bisanya lu rebahan sambil di colok”
“Hihihi....
enak tau Nay... lu mesti cobain kapan-kapan”
Kurenggangkan
tubuhku yang sudah berlumuran peluh, lalu kurebahkan tepat di samping Reni.
“Nay.......”
ucapnya.
“Hmm... apa
cinta...?”
Reni mulai
meraba tubuhku dengan sebelah tangan.
“Geli
tau.......” ucapku tanpa berusaha menyingkirkan tangannya.
Sesungguhnya
aku sangat menikmati sentuhan-sentuhan itu. Seakan mengobati penyesalanku yang
tetap mempertahankan kesucian ini.
“Mau nenen
Nay.....” Reni merajuk seperti anak kecil.
Tangan yang
meraba perutku yang rata kini mulai menyusup di bawah kemeja yang masih
kukenakan.
“Ihhhh.....
ada-ada aja lu.... isep aja si....” ucapku seraya menyodorkan payudaraku pada
wajah Reni.
“Hihihi....
boleh ya....”
Dengan cepat
ia menanggalkan kemeja dan braku hingga payudaraku menyembul tepat di
hadapannya.
“Iyahh..”
Sluurpp.... ohh, sapuan lidah itu.
“Mmmhh...”
kuluman itu.
Payudaraku
kini sudah menjadi santapan Reni.
Nikmat
sekali sensasi yang ditimbulkan oleh tiap sapuan lidah yang dilancarkan Reni. She is the real pro.
“Nnnggghhhh......
enak Ren... terus” pintaku.
Reni memang
selalu mengerti apa yang kuinginkan.
Ia mulai
meraih vaginaku dengan jemarinya.
Reni mulai
mengusap lembut.
Perlahan-lahan
semakin liar, jari tengahnya menyeruak kecelah lipatan daging merah di bawah
sana. Mencari letak tonjolan daging dengan berjuta reseptor rangsangan seksual.
Dahiku mulai
berkeringat.
Cumbuan Reni
sungguh teramat dahsyat.
Di bawah
sana, liang keperawananku mulai berkedut lembut.
Aku
melemaskan bahu dan tubuhku, membiarkan seluruh hasratku tertuang pada otot
vagina di sana.
Rileks....
nyaman sekali.
Aku memejamkan
mata menikmati tiap lecutan listrik statis di otakku. Aku sadar, bahwa aku
telah menjadi pecandu berat. Kendati hasratku hanya bisa dipuaskan dalam
hubungan sesama jenis, namun aku cukup puas dengan semua ini.
“AAAaaaaaaaakkkhhhhhhhhh............”
Lima menit
berselang, aku sudah tak mampu lagi menahan denyutan dinding vaginaku yang
semakin kuat.
Cairan
orgasme itu menyembur dengan hebat, tubuhku menegang seketika.
Itu adalah
permainan paling lama yang kulakukan selama aku mengenal Reni. Biasanya aku tak
akan bertahan lebih dari dua menit dalam rengkuhan berjuta rangsangan yang
dilancarkannya.
“Nahh...
udah impas kan?” tanya Reni.
“Iya.....”
~~bersambung~~
Satu Dunia, Beratus Kisah, Beribu Cerita
Megatron21story
Satu Dunia, Beratus Kisah, Beribu Cerita
Megatron21story

0 komentar:
Posting Komentar
Jangan cuma baca aja, komen dong.