Satu Dunia, Beratus
Kisah, Beribu Cerita
Megatron21story
~~**Hope**~~
BAB 1
ESCAPE
Perjalanan Tomi sudah dimulai.
Tak butuh waktu lama hingga kabar
mengenai kebakaran yang terjadi di rumahnya tersiar di TV. Ia mendengar sekilas
siaran itu ketika sedang duduk menanti kedatangan kereta yang akan membawanya
pergi menjauh.
Ia kini sedang berada di dalam
gerbong kereta yang melaju.
Tomi membeli tiket ke tujuan paling
jauh yang dapat ia temukan di stasiun terdekat.
Dalam hatinya ia senang, dapat
membalaskan dendam kepada orang yang sudah membunuh ayahandanya tercinta. Namun
kenyataan bahwa ia tak mengetahui di mana ayahnya dimakamkan membuatnya gundah.
Ia menghela napas panjang. ‘Naya
pasti udah ngurus semuanya’ pikirnya.
Satu persatu stasiun ia lewati
menjauhi ibukota. Ruang gerbong yang tadinya sesak dijejali ratusan orang, kini
perlahan mulai lengang. Hanya beberapa orang yang terlihat bersamanya di
gerbong itu. seorang pedagang buah yang tertidur, pekerja kantoran, dan yang
lain sepertinya anak kuliahan.
Ia melongok keluar jendela, mencoba
mengusir rasa bosan.
Pemandangan lahan persawahan yang
baru ditanami padi menyejukkan matanya sesaat. Lokomotif kereta berwarna putih
itu terlihat di ujung rangkaian. Mengepulkan asap putih yang membumbung
diiringi bunyi menderu.
Enam jam berlalu. Ia kini
menjejakkan langkah pertamanya di stasiun tempat kereta itu berhenti. Entah di mana
ia sekarang, ia sama sekali tak mengetahui apapun tentang kota tempatnya
berpijak.
Ia sudah mematikan telepon
selulernya. Menghindari kemungkinan jika polisi melacak signal.
‘Moga-moga Naya baik-baik aja...’ kalimat itu entah sudah berapa kali melintas di pikirannya.
Tak banyak uangnya yang tersisa,
sepertinya ia harus berusaha keras untuk menghidupi dirinya selama dalam
pelarian ini.
“Heeeeehhh....” ia menghela nafas
panjang.
‘Oke.... harus kemana sekarang?’ batinnya berbicara.
Tak punya arah tujuan, ia tak boleh
menampakkan diri di depan orang yang ia kenal. Terlalu beresiko jika sampai
keberadaannya diketahui, walaupun oleh saudaranya sekalipun.
Karena itulah ia memilih kota ini
sebagai tempatnya melarikan diri. Alih-alih ada yang mengenalnya, seingatnya ia
tak mempunyai saudara maupun teman di kota ini.
Kruyuuuukkkk......
Perutnya mulai meronta, menagih
makanan.
Tomi memegang perutnya sesaat
dengan tangan kirinya. Sepertinya makan adalah pilihan yang bagus. Ia telah
menetapkan pilihan.
Tak sulit menemukan tempat makan di
daerah stasiun tersebut. Namun mengingat uang yang dimilikinya sangat terbatas,
maka mau tak mau ia harus berusaha hidup sangat-sangat sederhana.
Tak mudah memang bagi seorang anak
muda seperti Tomi, yang terbiasa hidup bergelimang harta, yang setiap
kebutuhannya pasti ada yang melayani. Kini ia harus berjuang sendiri, syukurlah
ia bukan tipikal anak yang manja. Sedikit banyak ia tahu bagaimana harus
bertahan hidup.
Ia melangkahkan kakinya menuju
warung nasi terdekat.
‘Rame juga... mungkin harganya murah’ pikirnya. Ia segera masuk ke dalam.
“Makan mas??” tanya seorang ibu.
“Iya bu.... pakai telor dadar sama
sayur aja bu, minumnya air putih...” jawab Tomi.
Tak lama hidangan yang ia pesan
kini tersaji di piring putih yang ia terima dari ibu penjaga warung.
‘Heeeehhh.... sabar-sabar.... emang uda takdirnya begini kok....’ gumam Tomi dalam hati.
Ia mulai menyendok makanan itu.
Terasa sedikit hambar di lidahnya, mungkin karena ia belum pernah makan
sesederhana itu.
“Anak kuliahan ya mas??” pertanyaan
sang ibu penjaga warung mengagetkan lamunannya.
“Hah?”
“Pesanannya Cuma telor dadar sih...
pasti mahasiswa ya?”
“Ohhh... iya bu..” jawab Tomi
sekenanya.
“Kuliah di mana?”
“Eeemmm......” Tomi sedikit gugup
menjawab pertanyaan itu, mengingat ia tak tau apa-apa tentang kota itu.
“Saya.... masih nyari-nyari bu....
ini hari pertama saya di sini, perantauan....”
“Ohhh.... sebelumnya tinggal di mana?”
“Ahahaa... jauh bu dari sini....
enam jam naik kereta...”
“Ooo.... kok bisa-bisanya nyasar ke
sini?.... orang tuamu tahu?”
“Ngak tau bu... orang tua saya udah
ngak ada... karena di tempat asal saya biaya hidup mahal, ya saya putuskan
pindah.... nyoba-nyoba cari rejeki...”
“Trus.. disini tinggal di mana?”
Tomi hanya menggelengkan kepala
sambil mengunyah makananya.
“Belom tau bu.... saya ga punya
uang....”
“Ya allah dek..... kok nekat
sekali....”
“Namanya juga merantau bu, musti
nekat, kalo ngak, gak bisa makan...”
“Udah dapet kerja?”
Tomi menggeleng.
Ibu penjaga warung juga ikut
menggelengkan kepalanya.
“Dasar anak muda jaman sekarang...
nekat semua.... kamu lulusan apa?”
“Sarjana teknik bu... S1......”
“Waduh.... pendidikannya udah
tinggi to.... trus kenapa mau kuliah lagi”
‘Siall........... salah ngomong gua......’ batin Tomi.
“Yah.... kali aja bisa ngejar S2
bu... siapa tau masa depan saya jadi lebih terjamin...”
“Ck ck ck..... yawdah habisin dulu
makananmu....”
Sang ibu penjaga warung itu meraih
telepon genggamnya.
“Mase.... jek enek lowongan pora?
Iki ono cah perantau golek kerjo.....” ucapnya lewat telepon.
Tomi tak mengerti apa yang
dibicarakannya, ia terus menyendoki nasi yang tinggal separuh di piringnya itu.
“S1 teknik jare...piye”
‘Lha kok bawa2 S1?’ Tomi
mulai penasaran.
“yowes tak kandani.....”
Ibu penjaga warung itu menyudahi
percakapannya di telepon.
“Dek.... kamu beneran sarjana
teknik?”
Tomi mengangguk.
“Gini dek.... suami ibu kan punya
bengkel.. yahh bukan bengkel gede si.. kamu mau gak kerja disana?”
“Ahh serius bu?”
“Yo serius.... masak bercanda.....”
Tomi terdiam sejenak. Tawaran dari
ibu itu sungguh menggiurkan, namun ia khawatir jika ia bekerja maka ia harus
tinggal menetap. Itu bukanlah misinya.
Misinya saat ini adalah
menghilangkan jejak. Tidak boleh ada informasi, tidak boleh ada bekas.
“Bu... maaf ini sebelumnya, ibu kan
baru kenal saya.... saya takutnya mengecewakan.. makasih banyak bu tawarannya,
saya pikir-pikir dulu....”
“Jadi anak muda itu ndak boleh
mikir terlalu panjang dek... jaman saiki
cari duit susah.... ya gak apa-apa sih dek... pesen ibu, kamu jangan nunda-nunda...
kalok udah yakin, udah mantep.... kamu dateng lagi kesini....”
Tomi tersenyum dan mengangguk.
Tuhan memang tak pernah tidur.
Ia akan selalu mengawasi setiap
insan di dunia ini. Memberi karunia bagi dia yang baik dan memberi ganjaran
bagi ia yang jahat.
‘Tapi gue ini udah jadi pembunuh.... emang pantes gue dapat belas kasihan
dari tuhan?’
Tomi sedang mengutuki dirinya
sendiri saat ini. Menjadi pembunuh memang merupakan pilihannya beberapa hari
lalu. Dan kini ia harus siap menerima resiko akan ganjaran apapun yang akan ia
terima.
Seusai makan ia kembali berjalan,
menyusuri jalan-jalan di kota baru itu.
Cukup jauh ia berjalan. Ia kini
tergoda untuk menelepon kakaknya Naya. Menanyakan tentang kabar kakaknya
tercinta. Namun ia cukup dapat mengontrol diri untuk mengabaikan hasratnya itu.
Langit kini mendung. Cuaca mulai
berubah tidak bersahabat.
Rintik hujan mulai turun,
membasahi jalan-jalan yang ia lalui.
Ia berteduh di sebuah pelataran
toko buku. Ia berjongkok sejenak melepaskan rasa lelah yang diderita kedua
kakinya. Butir-butir air yang jatuh itu terciprat tak tentu arah.
Debu-debu yang tadinya beterbangan
kini telah melekat di tanah. Udara berubah menjadi sejuk.
‘Sekarang gue mesti tidur di mana dong.....?’ pikirnya.
Pertanyaan mendasar bagi seorang
pelarian seperti dirinya.
Hujan kembali reda, jam tangan yang
dikenakannya kini menunjukkan pukul empat sore. Ia harus cepat menemukan tempat
bermalam.
‘Tapi dimana..?? aduh kakak.... sengsara banget hidup gue sekarang....’
Kenyataan kontras itu harus ia
telan bulat-bulat. Menyadari bahwa kakaknya kini sedang berada di kamar hotel
yang nyaman dengan segala fasilitas. Sedangkan dirinya harus hidup dalam
pelarian, dengan uang yang terbatas, tanpa bekal, tanpa tempat tinggal.
Sesungguhnya Tomi masih memiliki
banyak uang di rekening tabungannya, mungkin cukup untuk membeli rumah di
daerah pinggiran kota. Namun apa daya, jika ia mengambil uangnya polisi akan tahu
di mana ia berada dan tak lama ia akan segera ditangkap.
Membayangkan menerima vonis 10
tahun penjara sudah cukup membuat Tomi gentar. Kartu ATM berwarna kuning itu
tetap terselip rapi tak tersentuh di dalam dompetnya.
Ia kembali menyusuri jalan-jalan
becek, mencari tempat bermalam.
Menginap di penginapan saat ini
bukanlah sebuah pilihan yang pintar, itu akan menghabiskan banyak uang. Jika ia
memaksakan diri, maka ia hanya akan mampu bertahan hidup dalam jangka waktu
empat hari saja. Pilihan yang sulit.
Satu jam sudah ia berjalan, kini
jam tangannya menunjukkan pukul lima sore.
Matahari sudah sangat condong ke
ufuk barat, menandakan sebentar lagi akan kembali ke peraduannya. Langit sore
berwarna jingga temaram itu menemani langkahnya.
Akhirnya ia berhenti berjalan
setelah sekian lama.
Ia kini duduk termenung di bawah
jembatan penyeberangan. Tomi mengambil tempat duduk di bawah anak tangga menuju
ke atas, berpaling sejenak dari dunia ini, mencari kesendirian.
Ia memutuskan untuk bermalam di
tempat itu malam ini.
Hari berganti malam. Jalan-jalan
yang tadinya ramai kini berubah hening. Tak banyak lagi orang melintas, hanya
sesekali saja ia melihat siluet lampu mobil yang melaju di jalan raya.
Bunyi jangkrik terdengar di sana
sini. Membuat pikirannya yang kalut sedikit teduh.
Tempat ini berbeda sekali dengan
kota tempat tinggalnya dulu.
Ia masih bisa mengingat jelas, di
kota tempat tinggalnya dahulu saat seperti ini tak ada bedanya dengan siang
hari. Banyak sekali orang berlalu lalang. Dunia seakan tak pernah tidur. Terus
berceloteh tanpa henti.
Kantuk mulai menyerangnya. Rasa
lelah yang menumpuk kini telah menjalar dalam aliran darahnya. Matanya mulai
sayu, kelopak mata itu terasa begitu berat.
Ia duduk meringkuk sambil memeluk
tas hitamnya untuk menghangatkan diri.
Matanya kini terpejam.
~Megatron21~
“WOOOYY.... BANGUN..........”
Teriakan itu memekakkan telinganya.
Sesaat kemudian ia merasa lengannya ditarik untuk dipaksa berdiri.
Tomi mengejapkan matanya, berusaha
mencerna apa yang ia lihat.
Berdiri di sana, dua orang pemuda
bertampang sangar dengan setelan khas anak punk.
“ANAK MANA LOO.....”
“Ada apaan nih bang??”
“BANYAK TANYA LO... JAWAB
PERTANYAAN GUA... ANAK MANA LOO.....”
‘Halaaahhh... ni anak punk pake acara cari gara-gara sama gua.....
bangsat..’ batinnya.
Ia menatap tajam kearah mata pemuda
yang berbicara dengannya.
“Apa urusannya sama lo?” tanya Tomi
dengan nada sinis.
Tiba-tiba sebuah tangan mendorong
kepalanya dari belakang. Tomi yang belum juga terbebas dari rasa kantuk hampir
saja jatuh terhuyung ke depan.
Tubuhnya yang terhuyung ditangkap
oleh tangan-tangan kasar yang kini mencengkeram bahunya.
“OOOHHH...........” pemuda yang
mencengkeramnya berbicara.
“Jadi lu mau cari gara-gara sama
gua?.....LOO GA TAU GUA INI SIAPA????”
‘Idih... ada gitu ya orang tolol kayak gini... yang cari gara-gara itu kan
dia.... trus, dia pikir dirinya artis? Selebritis? yang dikenal semua orang?...
cuih....’ batin Tomi.
“Gua ga ada urusan sama lu pada....
lepasin sekarang atau...”
“ATAU APAA???????? LO MAU KITA
HAJAR........” pemuda yang mencengkeram bahunya kembali berteriak.
“Udah lah bos... kita abisin aja
sekarang.....” pemuda yang satu lagi berbicara.
Tomi belum sempat melihat wajah
pemuda yang satu lagi karena ia berdiri membelakangi pemuda itu.
“Mana dompet lu? Kasi ke
gua.......” pemuda di depan Tomi berbicara.
Tomi menepis kedua tangan yang
mencengkeramnya itu kuat-kuat. Kini tubuhnya sudah bebas.
“Coba aja ambil dari gua kalo lo
bisa....” ucap Tomi.
“BANGSATTTTTTTT........”
Sebuah pukulan melesat ke arah
wajah Tomi. Keadaan seperti ini sudah berulang kali ia alami dalam pertandingan
karate. Dengan mudah ia mengelak ke kanan.
Tappp.....
Dengan tangan kirinya Tomi
mencengkeram pergelangan tangan yang melesat ke arah wajahnya, lalu dengan
tangan kanannya yang sudah terkepal ia meninju wajah pemuda itu tepat di
pelipisnya.
Duuuugg....
Hantaman itu tepat bersarang di
wajah pemuda yang sekoyong-koyong terhuyung dan tersungkur di tanah. Pemuda
dengan rambut jabrik berwarna-warni itu tampak berjengit. Ia mengelap sedikit
tetesan darah dari bibirnya yang terluka akibat pukulan dari Tomi.
“ANJIIINGGG......” pemuda di
belakangnya mengumpat dan melayangkan pukulan hook ke arah kepala Tomi.
Hampir saja ia telak terkena,
karena pukulan itu dilancarkan dari titik buta matanya.
Namun refleksnya cukup baik. Ia cukup
bisa menerka apa yang akan dilakukan oleh pemuda itu, sehingga Tomi dapat menghindar
dengan menundukkan tubuhnya.
Kepalan itu melintas di atas
kepalanya. Tomi hanya tersenyum dan membalikkan tubuh menghadap ke arah pemuda
itu.
Kini dengan tangan kanan Tomi, ia
memukul perut pemuda itu keras-keras.
Buuugggg.........
“Aaaaaaakkkhh.....” pemuda itu
memekik ketika tubuhnya terlonjak beberapa senti ke udara.
Sekali lagi Tomi melancarkan
tinjunya yang kini tepat bersarang di rahang bawah pemuda itu.
Buuuuggghh....
Wajah pemuda itu terdongak keatas.
Hanya seper sekian detik setelahnya, pemuda itu jatuh terjengkang sambil memegangi
rahangnya yang terasa berdenyut-denyut.
Pemuda yang pertama jatuh kini
sudah kembali berdiri. Ia mengeluarkan sebilah pisau kecil dari pinggangnya.
Pisau kecil itu mulai ia sabetkan ke arah Tomi dengan liar.
Tomi mengelak dengan memundurkan
tubuhnya satu langkah. Leher dan perut yang menjadi sasaran sabetan pisau itu
nampak bergerak lincah menghindari lengan sang pemuda yang memegang pisau.
Jarak antara ia dan lawannya kini
terlalu jauh untuk ia jangkau dengan kepalan tangannya.
Tomi mengambil kuda-kuda untuk mulai
menyerang. Kali ini kakinya melesat cepat melewati lengan pemuda yang menggenggam
pisau itu.
Duuuaaaggghhhh......
Tendangan itu tepat mengenai wajah sang
pemuda, dan mematahkan hidungnya.
“Aaaadoooww.... Aaarrghh....”
Pemuda itu meringis kesakitan sambil
memegang wajahnya yang berlumuran darah.
Pisau kecil itu terjatuh dari
tangannya. Tomi segera memungutnya dan berlari menjauh meninggalkan kedua
preman kampung yang kini terkapar kesakitan.
Derap langkahnya bergema di tembok
yang ia lalui.
“Hoshh....hosshh...hoshhh...”
nafasnya terengah-engah. Namun ia tak berhenti berlari.
Stamina yang belum juga pulih
menyebabkan Tomi tak bisa berlari terlalu jauh. Ia kini kehabisan napas. Ia
tertunduk, menyandarkan dirinya di sebuah tembok dengan tangan kirinya sambil
memegang dadanya dengan tangan yang lain.
Klontang.... Pluk...
Pisau kecil yang tadi ia bawa kini
ia lemparkan ke dalam selokan.
Ia tak butuh benda seperti itu
untuk mempertahankan diri.
Cahaya keemasan mulai nampak di
ufuk timur, tanda bahwa sang fajar akan segera menemani harinya. Tak terhitung
sudah berapa lama Tomi berjalan menjauh dari insiden itu. lututnya kini mulai
kram. Ngilu sekali rasanya, ia bahkan sudah tak bisa lagi membedakan yang mana
telapak kakinya dan yang mana sol sepatu. Seakan keduanya telah menyatu.
Di sebuah warung rokok kecil
pinggir jalan ia menghentikan langkahnya.
Tomi terlihat masih megap-megap
menggapai napas. Ia memandang ke sekeliling, dan menemukan seorang pemuda di
sana.
Terlihat pemuda pemilik warung itu
sedang membereskan dagangannya. Pemuda itu balik memandang ke arah Tomi.
“Lari pagi kok subuh-subuh gini
mas....” tanya pemilik warung itu.
“Hahaha.... ngak mas... tadi abis
berantem sama preman....”
“Wooooo..... hati-hati mas kalo di
daerah sini malem-malem... kamu bukan orang sini ya?”
“Iya.... mas aku beli roti sama
aqua gelas mas.....”
“Tuh pilih aja rotinya... itu roti
kemaren lho tapinya, jadi pilih yang bener, jangan yang udah berjamur....”
‘Ehhh buset..... udah abis berantem, kebagiannya roti sisa kemaren???’
Tomi melongok dan mulai memilah
roti di keranjang itu dengan sebelah tangan. Pilihannya jatuh pada sebuah roti
isi coklat. Tak apalah, pikirnya. Setidaknya, sang penjaga warung sudah dengan
jujur memperingatkan dirinya untuk memilih dengan baik.
“Ini aja mas.... sama aqua gelas..
jadi berapa?”
“Seribu limaratus....”
Tomi merogoh kantung celananya
mencari selembar uang pecahan dua ribu rupiah untuk membayar roti itu.
“Ini mas... aku ambil aquanya satu
lagi deh biar pas....”
“Yowes.... makasi ya..”
Tomi mengambil dua buah air minum
gelas di dalam box es batu berwarna merah. Ia kini duduk di trotoar jalan
sambil menikmati sarapannya.
Tidak terbayang sama sekali,
hidupnya akan senaas ini. Biasanya, ia tinggal menyantap makanan yang terhidang
rapi di meja ruang makan rumahnya, tapi kali ini ia bahkan harus menyantap roti
sisa kemarin yang rasanya sudah agak tengik. Kasihan, tapi mau bagaimana lagi?
Toh dia tak punya pilihan.
Terlihat di kejauhan cahaya emas menyilaukan
mulai nampak di ujung jalan yang mengarah ke timur. Sang fajar sudah kembali.
Langit biru gelap yang tadinya mendominasi, kini telah berganti dengan langit
biru cerah. Di sisi yang lain, bulan yang tadinya terang benderang kini mulai
memudar.
“Hheeeeehhh...”
Tomi kembali menghela nafas panjang
untuk kesekian kalinya. Mulutnya masih penuh dengan roti yang sedari tadi ia
kunyah. Kerongkongannya tak kuasa menelan makanan itu.
‘Ngak enaaaakkk.....’ begitu umpatnya dalam hati.
Tapi apa mau dimuntahkan?? Tidak
kan. Itulah kenyataan.
Tidak selamanya orang akan berada
di atas. Ada kalanya seseorang harus menelan pil pahit dan asam garam
kehidupan.
Entah sampai kapan, Tomi tak mampu
menjawabnya.
Yang pasti, ia harus tetap
bertahan. Setidaknya, ia dapat mengambil sebuah hikmah yang teramat penting.
Karena dari perjalanan penuh cobaan, ia akan menjadi pribadi yang lebih dewasa,
lebih siap menghadapi kerasnya dunia.
Dendam yang terbalas kini
menyisakan ganjaran penderitaan yang harus ia jalani.
Suka atau tidak suka bukanlah
pilihan, karena mau tidak mau ia harus menyukainya.
Pilihannya saat ini hanyalah bebas
tapi menderita, atau terpenjara dan menderita.
Kalau pembaca jadi Tomi...... anda
mau pilih yang mana????
~~Bersambung~~
HOPE – BAB 1 END
Satu Dunia, Beratus
Kisah, Beribu Cerita
Megatron21story

I FOUND A CoC GAME GEMS GIVEAWAY FOR ALL CLANS! http://clanshelper.com/ - you receive free C-o-C gems instantly! I just tried that with all my clan! (InfK7bb6Ep)
BalasHapus